Breaking News

OPINI Pembantaian di Sigi: Pesan yang Kita Petik 01 Dec 2020 11:31

Article image
Korban pembantaian sadis satu keluarga di Desa Lembatongoa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, pada Jumat (27/11/2020). (Foto: Tribun News).
Teroris masih ada dan tetap menjadi ancaman nyata, musuh bersama kita sebagai bangsa, bahkan musuh kemanusiaan.

Oleh Valens Daki-Soo

 

BEBERAPA kerabat mengirimkan pesan Whatsapp, bertanya mengapa TNI tidak memimpin operasi penanganan teror dalam Operasi Tinombala di Poso dan sekitarnya. Mengapa polisi/Polri yang maju paling depan, bukan tentara/TNI. Mungkin ada kerabat di FB ini yang punya pertanyaan serupa, jadi saya beri sedikit komentar di sini.

Pasca pembantaian sadis satu keluarga di Desa Lembatongoa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, pada Jumat (27/11/2020), pemerintah bertindak cepat. Selain mengutuk peristiwa tragis itu, Presiden Jokowi memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri untuk mengejar dan menindak para pelakunya. Pembantaian tersebut dilakukan oleh kelompok teroris pimpinan Ali Kalora dari Mujahidin Indonesia Timur (MIT). Ali Kalora adalah pengganti Santoso alias Abu Wardah yang sudah ditembak mati di tengah hutan di kawasan pegunungan Poso oleh tim Raider Kostrad beberapa tahun lalu.

Merespons perintah Presiden, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto pun sigap bertindak. Sebuah tim pasukan khusus diberangkatkan ke Sigi pagi tadi dari Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta. Tim itu membawa misi: memburu dan menangkap para pelaku, hidup atau mati.

Kembali ke pertanyaan di awal catatan kecil ini, dapat saya jelaskan bahwa operasi penanganan terorisme memang merupakan ranah kepolisian. Ini adalah domain tugas dan kerja Polri karena merupakan operasi penegakan hukum (Gakkum) serta keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas). Dalam situasi tertentu, misalnya konfliknya berintensitas tinggi, TNI dapat diperbantukan pada Polri. Namun, kalau operasi militer, misalnya melawan separatisme dan pemberontakan bersenjata (armed rebellion) atau insurjensi, maka TNI-lah yang menjadi aktor utama. Semua ini sudah diatur dalam UU terkait, baik UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri maupun UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

Lalu, bagaimana penanganan teroris seperti MIT yang ber-baiat (sumpah setia) kepada ISIS ini? Apakah polisi tetap memegang peran utama dalam operasi melawan kelompok teroris yang bermarkas di hutan lebat di kawasan pegunungan itu?

Hemat saya, memang benar Polri berdiri di garda terdepan dalam penanganan terorisme sebagaimana umumnya berlaku di dunia. Itu kalau operasi masih bersifat Gakkum dan Kamtibmas. Namun kalau sudah berubah corak menjadi operasi Gerilya Lawan Gerilya (GLG), maka itu sudah menjadi mandala operasi militer (Opsmil). Tentu tentara, dalam hal ini TNI, yang menjadi aktor determinan dalam Opsmil.

Poin penting lainnya, kita perlu menangkap "pesan" di balik pembantaian di Sigi itu. Pesan itu adalah teroris masih ada dan tetap menjadi ancaman nyata. Terorisme adalah musuh bersama kita sebagai bangsa, bahkan musuh kemanusiaan. Mengapa? Karena teror(isme) adalah pemuja kultur kematian. Mereka siap mati sebagai syuhada (martir) karena "brainwashing" atau cuci otak yang fatal berdasarkan penafsiran tekstual kitab suci yang keliru: membenarkan penghilangan nyawa orang lain yang tidak seiman dengan janji surga dan para bidadari menanti.

Pesan berikutnya, ini bukan perang (antar)agama. Meski yang dibantai adalah orang Kristen dan pelakunya adalah penganut Islam, itu bukanlah perang agama Islam versus Kristen. Dalam banyak kasus aksi teroris, yang kebanyakan jadi korban adalah orang Islam sendiri. Kita boleh prihatin bahkan marah terhadap aksi pembantaian, namun kita tetap perlu berpikir jernih dan bersikap rasional.

Pesan lainnya, soliditas dan solidaritas antar elemen bangsa mesti diperkuat. Kita perlu berdiri teguh saling bergandengan tangan dalam spirit kebersamaan yang teguh. Sekali lagi, terorisme adalah musuh bersama kita sebagai bangsa dan kemanusiaan universal.
Jika persatuan dan kesatuan kita kokoh-kuat, niscaya kita mampu menghadapi badai apapun.

Salam NKRI.

 

Penulis adalah pengamat masalah pertahanan -  keamanan dan intelijen.

Komentar