Breaking News

BUDAYA Rumah Alang Rutowoghe dan Pintu Surga (Catatan Kenangan Masa Kecil) 17 May 2021 17:34

Article image
“Pintu Surga” merujuk pada peran Bunda Maria sebagai pintu sejarah keselamatan. (Foto: ist)
Bila banyak orang bermimpi bersama, itu awal baru dari sebuah kenyataan.

TAHUN 1973 ayah saya purnabakti dan kami kembali ke Wolorowa. Kami membangun rumah sederhana. Sang arsiteknya kakak saya Yohanes Bate. Rumah alang berdinding bambu, berlantai tanah dan berukuran 8 x 6. Pintu dan jendela dari kayu dadap. Ada pendopo, 2 kamar tidur, 1 ruangan tengah dan dapur kecil. Setiap ruangan dilengkapi bale-bale bambu. Meski sederhana, rumah ini milik sendiri. Istana hasil keringat sendiri.

Saya ingat lagunya Ian Antono "Rumah Kita". Penyanyi low profile Glenn Fredly, sebelum meninggal sempat menyanyikan lagu ini untuk menggalang dana pencegahan Covid-19 bagi kaum jelata Jakarta.

"Hanya bilik bambu tempat tinggal kita. Tanpa hiasan, tanpa lukisan. Beratap alang-alang beralaskan tanah. Namun semuanya punya kita. Memang semuanya ini milik kita sendiri", demikian lirik lagu itu.

Rumah kami terletak di pinggir jalan menuju kampung Bodo. Rumah di pinggir jalan adalah impian ayah. Beliau ingin para sahabatnya mampir. Saya terkenang om Zakarias Dewa dari Solo dan om Mikael Ju dari Nangaroro. Pertama kali saya mendengar dialek Nangaroro dari om Mikael: "Oto kedombo demba ka rade mai (Truk Kolombo sudah datang dari arah timur)". Sebagai anak kecil yang lugu saya pikir om Mikael memaki kami. Maklumlah kata "Rade" amat sensitif untuk kami hoga (orang) Solo, Rowa, Sangadeto dan Sarasedu.

Rumah kami juga menjadi tempat singgah kolega guru kakak sulung saya Emanuel Buku Due. Tidak lupa pula para penjual pakaian dari Manggarai. Saya sering mendapat hadiah "stelan benglon" dari mereka. Ya, rejeki anak soleh.

Kata ayah: "Kalau mau banyak sahabat, tinggalah di pinggir jalan, meski itu hanyalah jalan setapak. Banyak sahabat banyak rejeki. Sahabat tidak membuat kita miskin. Kita justru diperkaya dengan pola pikir, wawasan dan cara pandang baru.

Rutowoghe

Rumah kami berada di kawasan Rutowoghe. Saat ini areal Kantor Desa, Aula, Paud dan Polindes Sarasedu. Kawasan ini disebut Rutowoghe karena dulu berdiri teguh Ruto atau pohon beringin". Pemilik nama Latin Ficus Benyamin ini sangat rindang dan berakar gantung. Kira-kira seperti pada foto di bawah ini. Akar gantung berjuntai membawa pesan agar kami sekampung selalu berakar pada budaya, kekerabatan dan tanah leluhur kami.

Beringin melambangkan keabadian dan persatuan manusia dengan sang Pencipta. Beringin menyimbolkan pengayoman dan keadilan. Beringin melambangkan persatuan rakyat dengan pemimpinnya. Sila ketiga Pancasila dan partai penguasa rezim Orde Baru menggunakan lambang beringin. Saat SD di Wolorowa kami sering mendendangkan lagu "Nunu Golkar Kita" sambil memuliakan "Bapak Kami Yang Ada Di Jakarta".

Beringin di Rutowoghe juga sering terkesan serem. Katanya menjadi tempat tinggal roh-roh halus dan arwah orang-orang mati. Meski demikian, beringin adalah tempat bermain dan berteduh yang menyejukan. Bahkan kami sering bergantung riang pada akar beringin yang berjuntai.

Rutowoghe adalah "kawasan elit" dan menjadi sentrum pelayanan masyarakat desa Sarasedu. Kepala desa Blasius Meo Maghi, wakil kepala desa Thomas Due Soro, pamong desa Moses Kaju dan Ambros Mite juga tinggal di Rutowoghe.

Selain itu ada juga rumah masyarakat lain. Saya ingat baik rumah Theodorus Foa, dukun karismatik oma Kila Nou, bapak Nikolaus Ngabi Welu, bapak Nikolaus Foa Ninu, Albertus Sabu Dhoni, Ignasius Dhogha Masi, Ester Mogi Dhiu dan Dominikus Kadha.

Rutowoghe juga strategis karena menjadi titik perjumpaan pejalan kaki dari Mataloko-Boawae atau sebaliknya. Juga dari arah Watumanu, Wolorowa menuju jalan raya, sekolah, kebun, sawah atau menuju Sangadeto.

Di sebelah atas Rutowoghe juga berdiri megah kapela Wolorowa. Kapela ini hingga awal dasawarsa 80-an menjadi pusat aktivitas religius orang Sarasedu. Di kapela ini kami mengikuti doa yang dipimpin bapak Bernadus Dua Watu atau Thomas Due Soro. Kami menyaksikan juga bapak Blasius Meo Maghi dan guru Paulus Mite Bhoko memimpin ibadat sabda tanpa imam. Bapak Blas dan Guru Polus mengenakan "Alba Putih", melantunkan doa, membaca injil dan membawakan renungan singkat.

Mereka ini tokoh masyarakat, pemimpin politik, guru yang hebat, sekaligus rasul-rasul awam katolik yang hebat. Tuhan membalas jasa kebaikan mereka. Anak-anak mereka banyak yang sukses dalam pendidikan.

Di Kapela ini juga para imam dari paroki dan Seminari Mataloko seperti Rm. Niko Parera, Rm. Chrispi Riberu, Pater Alfons Engels, SVD, Pater Bernadus Bungaama, SVD, Pater Alfons Hayon, SVD, Pater Jeremias Dewa, SVD merayakan ekaristi. Pater Alfons Hayon sering membawa anak-anak Seminari. Mereka bermain gitar sambil bernyanyi. Saya ingat kae Egy Naru dan Lukas Waka. Kehadiran mereka membawa pesona tersendiri.

Di samping gereja ada rumah pastoran. Setiap kali pastor datang, mama-mama kongregasi selalu membakar ayam. Kami orang Rutowoghe selalu mencium aroma ayam bakar. Kami membayangkan pastor makan enak. Paman saya Ignasius Dhogha Masi pernah beritahu saya: "Kau la'a sakola seminari, tau tua ima. Tua ima kia ka dhe benu meja. Nabhe ngata sakola meja benu". Artinya engkau pergi sekolah seminari, sekolah jadi imam, sekolah yang meja makannya selalu dipenuhi makanan dan minuman.

Pintu Surga

Praktik kehidupan rohani orang Rutowoghe luar biasa. Nama Kontas Gabungan (kini Komunitas Umat Basis) saat itu adalah "Porta Caeli atau Pintu Surga". Saya tidak mengerti latar belakang pemberian nama itu. Satu kesempatan saya tanya bapak yang mantan guru agama.

Beliau menjelaskan secara sederhana sesuai pengalaman imannya. Intinya bahwa nama “Pintu Surga” merujuk pada peran Bunda Maria sebagai pintu sejarah keselamatan. Maria adalah “Pintu” yang dilewati Yesus. Maria menjadi pintu surga bagi kita. Setiap kali berdoa rosario, kita minta supaya Bunda Maria membimbing kita masuk surga.

Kami berdoa Rosario dari rumah ke rumah. Saya sangat terkesan dengan lagu “Maria Ine Ngara Ladho”. Syairnya indah: "Mai masa isi nua kita, mai mani ine kita na. Maria ine da ngara ladho (hai marilah kita seisi kampung. Kita memuji bunda kita. Maria adalah ibu maha suci)". Syair yang memiliki daya magis, mengajak seluruh warga kampung untuk memuji Maria, Sang Ibu Maha Suci.

Bapak Dominikus Kadha adalah pemimpin doa rosario kami. Orangnya lucu dan pemilik banyak kisah jenaka. Kata-katanya sering "nyerempet wilayah terlarang". Apalagi bila bersama ipar-iparnya. Tapi beliau sangat khusuk bila memimpin doa rosario.

Satu intensi rosario yang tidak pernah dilupakan adalah meminta panggilan hidup rohani. "Kami ngede Ema Dewa wi enga ana ebu kami wi tau tua, brude ne'e suste. Wi bo mo tewu taba, bhugha moe muku wae” (kami berdoa untuk panggilan imam, bruder dan suster. Semoga panggilan ini terus bertunas seperti tebu dan bertumbuh seperti anakan pisang).

Setelah doa, anggota Kontas Gabungan tanya: "Mengapa selalu doa untuk panggilan rohani?". Beliau menjawab: "Raba wi pedu go ngawu surga atau untuk menyalurkan rahmat surgawi". Harta surga itu tidak lain adalah BERKAT. Bersama Bunda Maria kita meminta supaya Tuhan memilih para penyalur rahmat dari antara kita.

Puluhan tahun kemudian saya sadar bahwa Tuhan mendengar intensi doa bapak Dominikus Kadha dan menjawab harapan umat komunitas Pintu Surga. Panggilan bertumbuh dari rumah-rumah alang berdinding bambu di Rutowoghe. Ada yang menjawabi panggilan Tuhan lewat imamat khusus dan panggilan hidup bakti. Ada yang menjawabi panggilan Tuhan lewat imamat umum yang berkualitas. Rahim Rutowoghe melahirkan "penyalur harta surga dan juru kampanye kerajaan Allah".

Tampilan fisik Rutowoghe saat ini semakin elitis. Rumah alang berdinding bambu telah berlalu. Kini rumah dan gedung beratap seng, berdinding beton dan berlantai keramik. Ada Kapela Santo Yosef, Kantor desa dan aula yang megah.

Beringin megah itu sudah tak berbekas. Tapi nama Rutowoghe tetap abadi. Di sana tumbuh beringin model baru: Sekolah PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Paud ini hendaknya menjadi "Pintu Surga Pendidikan" untuk orang Wolorowa dan Sarasedu Raya pada umumnya. Paud ini tidak sekadar "ada", tapi harus "menjadi". Paud tidak sekadar menjadi "tempat bermain biasa", tapi menjadi oase dasar permainan generasi baru Sarasedu yang luar biasa. Saya sengaja memasang foto sedang membuka pintu.

Ini harus menjadi mimpi bersama. "Wenn eine oder einer alleine träumt, so ist es nur ein Traum. Wenn viele gemeinsam träumen, so ist das der Beginn einer neuen Wirklichkeit (Bila seorang sendirian bermimpi, itu akan tetap sebuah mimpi. Bila banyak orang bermimpi bersama, itu awal baru dari sebuah kenyataan)”, kata almarhum Uskup Oscar Romero.

Hari ini Minggu Komunikasi Sedunia. Temanya menarik “Datang dan Lihatlah: Berkomunikasi Dengan Menjumpai Orang Lain Apa Adanya”.

Saya ingin kembali ke "Rumah Alang Dinding Bambu, Rutowoghe dan Pintu Surga". Dari sana saya terpanggil menjadi saksi kebenaran, untuk pergi melihat dan berbagi.

*RD Stefanus Wolo Itu

(Penulis adalah penghuni rumah alang dinding bambu di Rutowoghe, KUB Pintu Surga Wolorowa 1973-1981, kini menjadi misionarais di Basel, Swiss)

Komentar