KESEHATAN Dukungan untuk Penyintas Bencana, Psikolog: Bencana Tak Boleh Runtuhkan Harapan dan Martabat 05 Dec 2025 18:12
Kerugian yang diderita bukan hanya mencerminkan krisis ekologis dan ekonomi, tetapi juga krisis kemanusiaan serta ancaman serius terhadap kesehatan mental masyarakat.
JAKARTA, IndonesiaSatu.co - Banjir bandang melanda tiga provinsi besar di Sumatera yakni Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Bencana banjir dan longsor ini bukan hanya merusak rumah, fasilitas publik, dan infrastruktur, tetapi juga membawa dampak serius pada kesehatan fisik, emosional, dan psikologis masyarakat. Ribuan korban jiwa dilaporkan hilang, dan sebagian besar belum ditemukan.
Psikolog, Associate Professor Universitas Paramadina, Muhammad Iqbal, Ph.D. mengatakan bahwa kerugian yang diderita bukan hanya mencerminkan krisis ekologis dan ekonomi, tetapi juga krisis kemanusiaan serta ancaman serius terhadap kesehatan mental masyarakat.
”Pengamatan saya di lapangan. Terlihat dengan sangat jelas bahwa dampak psikologis penyintas tidak kalah berat dibanding kerusakan fisiknya. Banyak warga kehilangan orang yang dicintai, harta benda, lahan, ternak, serta penghasilan yang menjadi sumber kehidupan keluarga. Semua itu membentuk tekanan mental yang sangat besar,” ujarnya melalui siaran tertulis di Jakarta, Jumat (5/12/2025).
Menurut Iqbal, dampak psikologis setelah bencana meliputi Acute Stress Reaction, Anxiety Disorders, Prolonged Grief Disorder, dan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). Penelitian menunjukkan bahwa sekitar 30–50% penyintas bencana besar dapat mengalami gejala PTSD dalam tiga bulan pertama (Norris et al., 2002).
UNICEF juga mencatat bahwa anak-anak dan lansia merupakan kelompok paling rentan mengalami dampak psikologis jangka panjang. Dalam observasi lapangan, masyarakat menunjukkan gejala seperti sulit tidur, mimpi buruk, ketakutan terhadap suara hujan atau gemuruh, penurunan minat aktivitas, menarik diri dari interaksi sosial, hingga gejala depresi.
Karena itu, katanya, aspek psikologis ini mutlak harus mendapat perhatian pemerintah untuk ditangan. Pertama, bencana menciptakan stressor ekstrem yang melebihi kapasitas coping seseorang.
Ketika individu merasa tidak berdaya dan situasi dianggap tidak terkendali, muncul kecemasan, ketegangan, dan keputusasaan ((Lazarus & Folkman, 1984).
Kedua, trauma bukan sekadar ingatan buruk, tetapi pengalaman emosional yang terekam dalam tubuh. Muncul dalam bentuk hipervigilansi, ketegangan otot, dan reaksi panik terhadap pemicu tertentu (van der Kolk, 2014).
Ketiga, pemulihan trauma tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial, keluarga, komunitas, kebijakan pemerintah, hingga sistem budaya. Karena itu, dukungan psikososial harus diberikan secara berlapis dan komprehensif.
Pemerintah perlu menangani masalah pasca bencana dengan dukungan profesional. Dukungan psikososial dalam bentuk intervensi yang menangani dua aspek sekaligus: (a) Psikologis, stres, trauma, kecemasan, kehilangan, dan (b) Sosial, relasi, lingkungan, keluarga, komunitas.
Pendekatan Psychological First Aid
Satu pendekatan yang paling banyak digunakan, menurut Iqbal, adalah Psychological First Aid (PFA), yang dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan, relawan, guru, tokoh masyarakat, maupun responden darurat.
Pendekatan PFA berfokus pada tiga prinsip utama. Pertama, protect – memastikan keselamatan fisik dan mengurangi paparan stres tambahan. Kedua, connect – membangun dukungan sosial, empati, dan keterhubungan. Ketiga, empower – membantu penyintas mendapatkan kembali perasaan mampu dan kendali. PFA terbukti menurunkan risiko trauma jangka panjang dan meningkatkan resiliensi komunitas (Hobfoll et al., 2007).
Selanjutnya, katanya, penyintas juga memerlukan beberapa dukungan. Pertama, dukungan psiko-sosial. Dukungan psikososial bersifat berlapis, meliputi dukungan individual yaitu screening stres dan konseling sederhana; latihan grounding dan manajemen emosi; dukungan spiritual untuk memaknai kehilangan.
Kedua, dukungan keluarga, yang meliputi aktivitas keluarga (storytelling, relaksasi); edukasi orang tua tentang respon stres anak; penguatan peran keluarga sebagai unit dukungan utama
Ketiga, dukungan komunitas yang meliputi safe space untuk anak dan lansia; kegiatan berbasis budaya lokal dan tokoh agama; dan kolaborasi puskesmas, sekolah, dan NGO.
Keempat, dukungan sistem dan negara yang meliputi integrasi layanan mental health dalam BNPB dan Pemda; pelatihan massal PFA untuk relawan dan guru; dan anggaran rehabilitasi psikososial jangka panjang.
Iqbal mengatakan, selain kebutuhan dasar seperti makanan, air, selimut, dan tempat tinggal sementara, penyintas juga memerlukan dukungan emosionalberupa ruang aman untuk bercerita, terapi kelompok, aktivitas psikososial.
Kemudian dukungan komunitas yakni solidaritas, interaksi sosial, dan pemulihan struktur sosial. Dukungan ukungan informasi yakni edukasi mitigasi, akses bantuan, dan literasi kesehatan mental. Selanjutnya, penguatan fungsi keluarga yang meliputi membantu keluarga stabil, pulih, dan bangkit
Tujuan akhir dari berbagai dukungan di atas adalah membangun resiliensi jangka panjang, agar penyintas tidak hanya pulih sementara, tetapi mampu menghadapi dan membangun kembali kehidupan pasca bencana.
”Penyintas bencana tidak hanya kehilangan rumah dan harta benda, tetapi juga kehilangan rasa aman, kendali hidup, dan kadang makna keberadaan. Oleh karena itu, dukungan psikososial harus menjadi bagian utama dari penanganan bencana. Bencana boleh merusak bangunan, tetapi jangan sampai meruntuhkan harapan dan martabat manusia,” pungkasnya. *
--- F. Hardiman
Komentar