OPINI Menyoal Pengecualian Dokumen Capres dan Cawapres: Antara Transparansi dan Perlindungan Data Pribadi 17 Sep 2025 19:33

KPU semestinya dapat memberikan penjelasan lebih komprehensif atau melakukan uji konsekuensi ulang dengan melibatkan pandangan-pandangan publik.
Oleh : Handoko Agung Saputro, S.sos*)
JAKARTA, IndonesiaSatu.co - Komisi Pemilihan Umum (KPU) kembali memantik perhatian. Hal ini menyusul terbitnya Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor. 731 Tahun 2025 tentang Dokumen Persyaratan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Sebagaimana diketahui PKPU ini menetapkan 16 (enam belas) dokumen persyaratan calon presiden dan wakil presiden sebagai informasi dikecualikan. Artinya, informasi dan dokumen calon presiden dan wakil presiden dinyatakan tertutup bagi publik.
Keputusan KPU ini memunculkan opini negatif dan spekulatif. Hal ini terekam dalam perbincangan nitizen, termasuk juga mengundang komentar DPR-RI. Anggota Komisi II DPR-RI, Dede Yusuf, melalui pemberitaan berbagai media menyatakan publik berhak melihat data capres dan cawapres. Terhadap respon publik ini, KPU menjelaskan bahwa ada konsekuensi bahaya jika informasi (dokumen calon capres dan cawapres) dibuka dapat mengungkap informasi pribadi seseorang.
Tulisan ini hendak melihat aspek prosedur dan substansi dari PKPU Nomor.731/2025 dalam bingkai UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) beserta pedoman-pedoman teknis terkait. Pandangan-pandangan yang akan diungkap dalam tulisan ini, adalah pendapat pribadi dan karenanya bukan cerminan kelembagaan Komisi Informasi Pusat.
Problem PKPU 731/2025
Keputusan KPU mengecualikan dokumen persyaratan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagaimana tertuang dalam PKPU 731/2025 harus dibaca secara utuh, termasuk dengan memeriksa pertimbangan-pertimbangan dalam naskah hasil uji konsekuensi. Uji konsekuensi itu sendiri adalah prosedur yang wajib ditempuh oleh Badan Publik, termasuk KPU, pada saat menyatakan suatu informasi hendak dikecualikan bagi publik.
KPU menyatakan 16 dokumen persyaratan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagai informasi yang dikecualikan selama 5 (lima) tahun. Namun, ketentuan jangka waktu ini tidak memiliki dasar yang jelas dalam UU KIP, karena undang-undang hanya mengatur kategori informasi yang dikecualikan, bukan lamanya waktu. Lebih jauh lagi, pengecualian total ini kontradiktif dengan klausul “jabatan publik” yang justru menghendaki keterbukaan. Dengan demikian, KPU berpotensi melampaui kewenangannya dan menciptakan norma baru yang tidak sesuai dengan prinsip keterbukaan informasi publik.
Terhadap norma ini, KPU dengan sendirinya menyatakan bahwa 16 dokumen persyaratan pencalonan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagaimana disampaikan oleh (saat itu) calon Presiden Prabowo Subianto dan calon wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka sebagai informasi terbuka dan dapat diakses publik. Hal ini sesuai dengan diktum ketiga huruf b PKPU 731/2025, yaitu pengungkapan berkaitan dengan posisi seseorang dalam jabatan-jabatan publik. Hal ini mengandung resiko, sebab dokumen-dokumen persyaratan pencalonan Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dipastikan beberapa diantaranya dikualifikasikan sebagai dokumen atau informasi yang dikecualikan.
Selanjutnya, dalam pertimbangan yang termuat dalam naskah hasil uji konsekuensi KPU menyatakan ada konsekuensi bahaya jika informasi dokumen persyaratan pasangan calon presiden dan wakil presiden dapat mengungkap informasi pribadi seseorang. Dan sebaliknya, KPU menilai ada kepentingan publik (yang terakomodir) bila informasi tersebut dibuka. Yaitu 1) mengetahui keabsahan dokumen publik demi menjamin integritas proses demokrasi, 2) untuk mengetahui apakah KPU sudah menerima berkas secara lengkap dan benar, 3) untuk mengetahui apakah KPU sudah melakukan proses validasi ijazah dengan benar dan hasilnya benar, dan 4) untuk digunakan sebagai bukti asli atau palsu ijazah Joko Widodo di persidangan.
Terhadap pertimbangan ”untuk digunakan sebagai bukti asli atau palsu ijazah Joko Widodo di persidangan” menunjukkan adanya kelemahan serius dalam uji konsekuensi. Penyebutan nama individu secara eksplisit menjadikan uji konsekuensi tidak netral, seolah-olah PKPU 731/2025 diarahkan pada satu kasus khusus. Padahal, peraturan seharusnya berlaku umum dan abstrak bagi semua calon, bukan ditujukan untuk merespons polemik tertentu. Hal ini mengindikasikan bahwa KPU keliru dalam perumusan nomenklatur dan berpotensi mencederai asas imparsialitas penyelenggara pemilu.
Terlepas daripada itu, pertimbangan dalam naskah uji konsekuensi ini sejatinya KPU mengakui bahwa lebih banyak manfaatnya apabila dokumen pencalonan persyaratan pasangan calon presiden dan wakil presiden dibuka bagi publik. Sebab dengan demikian publik dapat menilai sendiri profesionalitas dalam penyelenggaran Pemilu 2024 lalu. Mengapa demikian? Sebab dalam uji konsekuensi, hal pokok yang wajib dipertimbangkan adalah apakah membuka informasi yang dikecualikan memberikan dampak positif atau manfaat yang lebih besar bagi masyarakat. Hal ini sejalan dengan maksud dari Pasal 2 ayat (4) UU KIP, bahwa informasi publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan Undang-Undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya.
Problem berikutnya berkaitan dengan kewenangan, yang menyatakan bahwa beberapa dokumen persyaratan calon presiden dan wakil presiden KPU dimana data/informasi tidak dikuasai/diluar kewenangan KPU. Dalam hal ini KPU wajib memperhatikan hal yang diatur dalam Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (2) UU KIP, bahwa informasi publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/ atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/ atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik. Artinya, KPU tidak dapat mendalilkan tidak menguasai atau menyatakan di luar kewenangan terhadap data dokumen pasangan calon presiden dan wakil presiden. Sebab hanya KPU yang menerima, mengelola, menyimpan dokumen persyaratan persyaratan calon presiden dan wakil presiden yang diserahkan oleh suatu Badan Publik, dalam hal ini partai politik pengusung.
Kealpaan Prosedur
Saat melakukan uji konsekuensi, suatu Badan Publik wajib memperhatikan prinsip yang diatur dalam Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Standar Layanan Informasi Publik (Perki SLIP). KPU tampaknya alpa memperhatikan hal tersebut. Perki SLIP ditetapkan prinsip bahwa dalam hal seluruh Informasi dalam suatu dokumen informasi publik dinyatakan sebagai informasi yang dikecualikan, PPID dilarang membuka dan memberikan salinannya kepada publik.
Ketentuan ini memberikan hak kepada KPU untuk tidak membuka 16 dokumen persyaratan pencalonan bila seluruh dokumen dinyatakan dikecualikan. Pada faktanya, tidak seluruh dokumen dikategorikan dikecualikan sebagaimana dimaksud Pasal 17 UU KIP. Terdapat dokumen-dokumen yang semestinya terbuka dan telah diumumkan sendiri oleh KPU. Misalnya saja dokumen surat pernyataan kesetiaan kepada Pancasila sebagai dasar negara, UUD 1945 (Formulir BB-1 PPWP) surat pernyataan belum pernah menjabat sebagai presiden dan wakil presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan (Formulir BB-1 PPWP). Termasuk dokumen daftar riwayat hidup pasangan calon presiden dan wakil presiden yang oleh KPU pernah dibuka kepada masyarakat.
Faktanya, tidak seluruh dokumen masuk kategori dikecualikan. Karena itu berlaku ketentuan Pasal 50 ayat (2) Perki SLIP, yang mewajibkan PPID untuk hanya menghitamkan atau mengaburkan bagian tertentu yang dikecualikan, bukan menutup keseluruhan dokumen. Dengan menutup seluruh 16 dokumen, KPU telah melanggar prinsip “maximum access, limited exemption” yang diatur dalam UU KIP dan Perki SLIP. Kesalahan ini jelas menunjukkan bahwa KPU tidak membedakan antara informasi yang memang rahasia (misalnya hasil pemeriksaan kesehatan) dengan informasi yang semestinya terbuka (misalnya daftar riwayat hidup atau surat pernyataan). Selanjutnya, dalam ayat (3) PPID dilarang menjadikan pengecualian sebagian fnformasi dalam suatu salinan dokumen fnformasi publik sebagai alasan untuk mengecualikan akses publik terhadap keseluruhan salinan dokumen informasi publik.
Dengan demikian, semestinya KPU hanya melakukan penghitaman atau pengaburan terhadap informasi-informasi yang dikecualikan menurut Pasal 17. Misalnya, informasi berkaitan hasil pemeriksaan kesehatan. Dan selanjutnya KPU wajib memberikan akses kepada publik untuk mendapatkan salinan dokumen-dokumen persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden. Sebab yang dikecualikan adalah informasi, bukan dokumen.
Sengketa Informasi
Dengan beberapa catatan prosedur dan substansi PKPU 731/2025 sebagaimana dibahas di atas, KPU semestinya dapat memberikan penjelasan lebih komprehensif atau melakukan uji konsekuensi ulang dengan melibatkan pandangan-pandangan publik. Sebab sebagaimana tertera dalam naskah uji konsekuensi yang menjadi bagian tak terpisahkan dari PKPU 731/2025, uji konsekuensi tersebut dilakukan sepihak oleh jajaran internal KPU tanpa melibatkan atau setidak-tidaknya mengakomodir pendapat publik dan juga stakeholders terkait. Dengan melakukan uji konsekuensi ulang, diharapkan KPU dapat menemukan pertimbangan-pertimbangan lain yang dapat menjadi dasar untuk merevisi atau bahkan membatalkan PKPU 731/2025.
Publik dapat membawa PKPU 731/2025 ke Mahkamah Agung untuk dimohonkan Uji Materiil. Dalam hal ini, substansi PKPU dapat diuji karena kedudukannya berada di bawah UU KIP. Artinya, bila terjadi pertentangan, UU KIP yang harus didahulukan. Sementara jika ada pertentangan informasi dapat mengajukan sengketa informasi ke Komisi Informasi melalui putusannya dapat memerintahkan keterbukaan penuh, atau lebih realistis, keterbukaan parsial dengan mengaburkan data pribadi yang dikecualikan. Pada akhirnya, proses sengketa ini menjadi ujian konsistensi Indonesia dalam menjunjung asas demokrasi yang transparan dan akuntabel
*) Handoko Agung Saputro, S.sos adalah Komisioner Komisi Informasi Pusat
--- F. Hardiman
Komentar