Breaking News

HUKUM Soal Revisi UU KPK, Melki Laka Lena: Harus Cegah Politisasi Penegakan Hukum 13 Sep 2019 10:01

Article image
Ketua DPD I Golkar NTT, Melki Laka Lena. (Foto: Ist)
"Sinergisitas semua pihak dilakukan demi kepentingan rakyat, bangsa dan negara Kesatuan Republik Indonesia," tandas Melki.

KUPANG, IndonesiaSatu.co-- Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Melki Laka Lena mengatakan bahwa untuk mencegah adanya politisasi penegakan hukum, diperlukan sinergisitas bersama semua pihak. Sebab, Politik dan hukum selalu bertalian dan berhubungan erat yang sukar dipisahkan.

“Semangat pemberantasan korupsi yang melahirkan KPK, sejatinya tidak melumpuhkan penegak hukum lain tanpa terus saling menyerang antar lembaga negara,” kata Melki kepada awak media, Kamis (12/9/19).

Melki menerangkan bahwa perjalanan 17 tahun pemberantasan korupsi yang dipimpin oleh KPK, saat ini tengah dibahas untuk dievaluasi oleh DPR RI melalui revisi UU KPK. Bahkan Presiden Jokowi  telah memberikan persetujuan dengan menugaskan Menkumham dan Menpan untuk membahas hal tersebut bersama DPR RI.

Melki mengatakan pemerintah melalui Panitia seleksi (Pansel) telah memutuskan 10 anak bangsa terbaik untuk dipilih DPR RI menjadi 5 komisioner KPK. Saat ini pula, proses uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) di Pansel pada DPR RI sepertinya menimbulkan pro dan kontra dari berbagai kalangan.

"Namun bagi pihak yang kepentingannya tidak tercapai, reputasi tim Pansel yang kredibel dengan berbagai latar belakang tetap saja jadi persoalan. Pro dan kontra yang terjadi semacam ini, dikhawatirkan terjadi juga pada tubuh KPK," nilai Melki.

Salah satu contoh Perdebatan pendapat yang terjadi, kata Melki, yakni terkait sanksi bagi petinggi Polri antara mantan orang KPK yang saat ini lolos 10 besar, Firli dan 2 Wakil Ketua KPK (Saut Situmorang dan Alexander Marwata). 

Interen KPK paling tidak diwakili oleh Saut, ingin Firli tidak lolos seleksi di DPR RI. Sedangkan Alex yang adalah kompetitor komisioner KPK justru berbeda pendapat.

Gonjang-ganjing perdebatan soal Firli disebutnya menjadi contoh nyata dan terang, bahwa urgensi KPK perlu dibenahi kembali sebagai motor penggerak pemberantasan korupsi yang solid dan efektif.

Melki menambahkan, KPK juga seperti kebetulan memanggil petinggi Parpol dan jaringannya, misalnya dari PAN, Golkar dan PKB untuk diperiksa dalam kasus korupsi, yang selalu disertai dengan cerita menarik. Petinggi parpol dan jaringannya dari berbagai parpol dipanggil, di saat bersamaan dengan revisi RUU KPK dan pemilihan komisioner KPK.

"Hal ini sangat mudah dibaca sebagai bagian dari upaya penggunaan kewenangan KPK untuk mempengaruhi, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam dua agenda yang sedang berjalan di senayan," imbuhnya.

Indikasi Politisasi Penegakan Hukum

Bahkan para Pengamat dan kebanyakan rakyat dengan mudah memberi penilaian semacam ini sehingga semakin menguatkan stigma bahwa KPK sedang melakukan politisasi penegakan hukum.

“KPK sebagai bagian dari sistem hukum dan sistem pemerintahan di Indonesia harus menyatu dan tidak terpisah dengan institusi hukum atau lembaga negara lainnya. Revisi UU KPK dan pemilihan komisoner KPK yang melibatkan pemerintah, DPR RI dan masyarakat sipil melalui tim Pansel, mestinya membuat semua komponen bangsa tanpa kecuali bersama-sama melalui proses ini secara dewasa dan tenang,” katanya.

Anggota DPR RI Terpilih periode 2019-2024 Dapil NTT ini berharap semua pihak dapat menjalankan tugasnya dengan baik, tidak saling sandera, duduk bersama musyawarah mufakat guna mencari solusi terbaik tanpa harus saling menyerang dan berprasangka.

"Karena jika masing-masing pihak unjuk kekuatan, malah yang dikorbankan adalah masa depan dan nasib rakyat Indonesia dalam hal pemberantasan korupsi dan penegakan hukum," timpalnya.

Oleh sebab itu, nilai Melki, pembahasan revisi UU KPK dan pemilihan komisioner KPK dalam waktu yang tersisa, harus berjalan terbuka dan akuntabel oleh DPR RI dan pemerintah. Masukan dan catatan kritis apapun dari masyarakat sipil termasuk KPK, wajib didengar untuk diakomodasi oleh DPR RI dan pemerintah.

"KPK tidak perlu berprasangka negatif terhadap masyarakat sipil dengan membiarkan DPR RI dan pemerintah berjalan sendiri mengambil keputusan terkait dua isu penting pemberantasan korupsi," tegasnya.

Pengawasan dan Sinergitas Bersama

Untuk mencegah lahirnya UU KPK oleh DPR RI dan pemerintah yang memberi ruang politisasi penegakan hukum, KPK seharusnya memberi ruang kepada masyarakat sipil untuk aktif terlibat mengawal proses pembahasan di parlemen.

Selain itu, KPK tetap menjalankan tugas penegakan hukum secara apa adanya, dengan tidak terkesan melakukan politisasi hukum tatkala memanggil petinggi parpol dan jaringannya pada saat ini dalam rangka mempengaruhi langsung atau tidak langsung proses di senayan.

"Debat publik (pro-kontra) terbuka dan rasional dari berbagai pihak terkait isu pemberantasan korupsi dan penegakan hukum lebih efektif bagi publik daripada saling sandera dan unjuk kuasa kewenangan. Mengingat Penegakan hukum yang terkesan sekedar sebagai upaya politisasi, hanya melahirkan respon serupa dari berbagai lini," sorotnya.

Sejatinya, lanjut alumni PMKRI ini, pemberantasan korupsi harus menjadi spirit dan praktek di semua lini baik aparat hukum KPK, Polri, Jaksa, Hakim dan Pengacara, termasuk pemerintah serta legislatif di semua tingkatan, pihak swasta maupun masyarakat sipil.

Melki meminta agar semua pihak harus segera duduk bersama, bersinergi satu sama lain dengan kepala dingin sehingga proses politik di DPR RI dan proses hukum di KPK, dalam hubungan kerjasama dengan institusi hukum serta lembaga negara lainnya bisa berjalan sesuai rel.

"Sinergisitas semua pihak dilakukan demi kepentingan rakyat, bangsa dan negara Kesatuan Republik Indonesia," tandasnya.

--- Guche Montero

Komentar