Breaking News

REGIONAL Terkait Reaksi Penolakan Umat Muslim di Nangahale-Sikka, TPDI: Ini Negara Hukum Bukan Negara Agama! 10 May 2020 19:41

Article image
Umat Muslim di Nangahale, Kabupaten Sikka saat mendengarkan arahan petugas keamanan di Masjid Baitul Sadil, Rabu (6/5) malam. (Foto: suarasikka.com)
"Karena negara kita adalah Negara Hukum, hukumnya adalah hukum Nasional dan bukan Hukum Agama manapun," tegas Petrus.

MAUMERE, IndonesiaSatu.co -- Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus, menyikapi reaksi penolakan oleh umat Muslim saat hendak melakukan sholat berjamaah dan tarawih di Masjid Baitul Sadik Nangahale, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka, Rabu (6/5/2020).

Dalam keterangan tertulis kepada media ini, Minggu (10/5/20), Petrus menilai sikap yang ditunjukkan oleh umat Muslim di Nangahale tersebut bertentangan dengan Protokol Kesehatan nasional di tengah situasi pandemi Covid-19.

"Ini negara hukum, bukan negara agama. Hukum yang berlaku adalah hukum nasional, bukan hukum agama manapun. Institusi TNI-Polri tidak boleh kecolongan dan lengah dan harus waspada dalam menegakkan Protokol Kesehatan Covid-19 sehingga tidak boleh tunduk pada dalil agama tertentu," kata Selestinus.

Ia menambahkan, tindakan ini sudah meremehkan hukum nasional dan institusi Negara (TNI-Polri) dan dikhawatirkan ada potensi terpapar ideologi radikal dengan dalil menegakkan hukum agama dan mengabaikan hukum negara.

Menurutnya, pemberitaan sebuah media Lokal di Sikka dengan judul "Aparat TNI Polri Dipukul Mundur Umat Muslim di Nangahale" menggelitik dan menggoda nalar pembaca, karena berangkat dari sebuah realita, di mana puluhan aparat TNI-Polri gagal menegakkan hukum bagi kelompok agama tertentu yang jelas melangggar Protokol Kesehatan Covid-19, dengan alasan mereka hanya mau patuh kepada perintah Allah.

"Narasi yang berkembang ke publik yakni bahwa hukum negara seolah tunduk pada hukum agama. Ini kondisi paradoks di tengah Protokol Kesehatan dan instruksi pemerintah serta institusi negara, guna memutus mata rantai penyebaran Covid-19 ini," ujarnya.

Ia menilai, dengan tetap menjalankan sholat dan tarawih berjamaah meski sudah diperingatkan aparat, hal itu sebagai sikap kontra terhadap kebijakan Social Distancing, Physical Distancing, PSBB, Karantina, dan protokol kesehatan lainnya.

"Padahal, adalah sebagai ketentuan hukum positif negara yang mengikat semua pihak tanpa kecuali. Karena negara kita adalah Negara Hukum, hukumnya adalah hukum Nasional dan bukan Hukum Agama manapun," tegasnya.

Negara Jangan Kalah!

Menurut Advokat Peradi ini, aparat TNI-Polri adalah alat negara sebagai garda terdepan dalam menegakkan Protokol Kesehatan Covid-19.

Karena itu, sikap tegas dan terukur harus dikedepankan dalam menghadapi perilaku anarkis dari kelompok manapun juga, karena Negara telah berkomitmen mengatasi bahaya Covid-19 melalui Protokol Kesehatan yang mengikat semua pihak tanpa kecuali.

"Maka, perlu ada tindakan tegas dari aparat TNI-Polri berupa proses hukum terhadap sekelompok warga Nangahale, karena sikap mereka jelas melanggar hukum, bertentangan dengan ketertiban umum dan mengancam keselamatan nyawa warga lainnya, hanya dengan dalil taat kepada hukum agama. Ini bentuk intoleransi kemanusiaan di tengah ancaman pandemi Covid-19 di depan mata, tanpa memandang latar belakang apapun," katanya.

Sikap anarkis beberapa warga Nangahale, lanjut dia, tidak boleh dipandang sekedar melanggar Protokol Kesehatan dan melecehkan institusi TNI-Polri, tetapi lebih dari pada itu, perilaku tersebut adalah embrio-embrio radikalisme dan intoleransi dengan dalih perintah agama, hal mana mirip dengan perilaku dan ideologi Hizbut Tahir Indonesia (HTI).

Petrus mengingatkan agar Forkopimda Sikka harus mewaspadai sikap Imam Masjid Abraham di Nangahale yang berpotensi mengganggu keamanan. Karena untuk sementara Nangahale sebagai salah satu daerah yang menyumbang jumlah reaktif paling besar di Kabupaten Sikka, berdasarkan hasil rapid test Covid-19.

Dari total 70 yang reaktif, 9 di antaranya adalah warga Desa Nangahale dengan rincian 5 orang dari Klaster Gowa dan 4 orang dari Klaster Lambelu.

"Jangan biarkan benih-benih radikalisme dan intoleransi di dalam kehidupan warga Sikka oleh sikap para tokoh yang hendak menunjukkan eksistensinya di saat seluruh warga masyarakat dan aparat TNI-Polri hampir berada pada titik jenuh menghadapi ancaman Covid-19. Ini taktik dan tester 'tunjuk hidung' dengan memasukkan argumentasi hukum agama contra Protokol Covid-19 sebagai strategi dan dalil. Negara jangan kalah!" pungkasnya.

--- Guche Montero

Komentar