Breaking News

HUMANIORA Bedah Buku 70 Tahun, Komaruddin Hidayat: Peradaban Bermula dari Imajinasi 09 Nov 2023 20:42

Article image
Acara Bedah Buku “Imajinasi Islam: 70 Tahun Komaruddin Hidayat” yang diselenggarakan di Auditorium Nurcholish Madjid Universitas Paramadina, Selasa (7/11/2023). (Foto: Ist)
Dr. Reza Wattimena, pendiri Rumah Filsafat, melihat dalam buku ini menggambarkan cakrawala ilmu yang sangat luas. Metode yang digunakan sangat rasional, kritis, komprehensif, dan emansipatoris. Imajinasi Islam bagi Komaruddin Hidayat sebagai pencerah dan

JAKARTA, IndonesiaSatu.co - Pemikiran tentang Islam adalah bagaimana bertingkah laku, beragama tidak dengan marah-marah, berpolitik dengan gembira, dan bersikap kritis tetapi tetap ramah.

Demikian disampaikan Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini, M.Sc., Ph.D.,  dalam sambutan pada acara Bedah Buku “Imajinasi Islam: 70 Tahun Komaruddin Hidayat” yang diselenggarakan di Auditorium Nurcholish Madjid Universitas Paramadina, Selasa (7/11/2023).

Acara yang dimoderatori Dr. M. Subhi Ibrahim ini diselenggarakan oleh Universitas Paramadina bekerja sama dengan Bank Syariah Indonesia (BSI), serta didukung oleh Paramadina Center for Religion and Philosophy (PCRP) dan Paramadina Graduate School of Islamic Studies (PGSI).

Penulis buku, Prof. Komaruddin Hidayat mengatakan bahwa peradaban bermula dari imajinasi, dan imajinasi itu melampaui bahasa.

“Kelebihan dari Nabi Muhammad adalah nabi yang paling terang benderang, sama halnya dengan agama Islam. Agama merupakan bagian dari peradaban. Ketika berbicara tentang agama maka dia dipengaruhi oleh mindset sedangkan mindset kita dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Kekuatan manusia bukan terletak pada dirinya, tapi pada kerja samanya,” katanya.

Inisiator Gerakan Indonesia Bahagia, Rani Anggraeni Dewi, MA melihat Komaruddin Hidayat adalah profesor zaman now.

“Prof. Komaruddin Hidayat dalam ceramahnya seperti bercerita membuat hati tenang. Ketiga bukunya menggunakan pendekatan wilayah studi psikologi, menggunakan bahasa yang populer, ringan, universal, dan dapat mengakomodir selera banyak orang menyentuh seluruh kalangan,” terangnya. 

Menurut Rani banyak orang depresi ingin bunuh diri, karena dianggap sebagai jalan menuju kebebasan. Tetapi Rani merasa terbantu dengan buku Komaruddin Hidayat dengan terminologi kematian itu seperti pulang, mudik, atau menyambut panen untuk naik tingkat.

Giving and Serving merupakan sumber kebahagiaan dan puncak prestasi kehidupan. Sedangkan dalam buku Psikologi Kematian jalan agama dan spiritualitas adalah jalan menuju kebahagiaan,” ujarnya.

Pembahas lainnya Dr. Reza Wattimena, pendiri Rumah Filsafat, melihat dalam buku ini menggambarkan cakrawala ilmu yang sangat luas. “Metode yang digunakan sangat rasional, kritis, komprehensif, dan emansipatoris. Imajinasi Islam bagi Komaruddin Hidayat sebagai pencerah dan pembebas. Dalam filsafat, kritik adalah tanda cinta,” ujarnya.

Reza menjelaskan teori tipologi agama melihat dengan kritis, ada agama kehidupan dan agama kematian.

“Agama kematian cenderung dipaksakan untuk dipercaya serta mendorong perilaku kekanak-kanakan yang cenderung egois, sensitif, dan manja. Elemen perusak dengan mengorbankan manusia, bersifat tidak koheren, penuh takhayul, cenderung memaksa, berobsesi dengan kematian, intoleransi, kekerasan dan terorisme,” ucapnya.

Lebih lanjut ia menyatakan bahwa agama kehidupan adalah agama yang berpijak pada pengetahuan tentang kehidupan dengan dewasa, kebebasan, dan riang-gembira.

“Ajarannya cenderung koheren, berpijak pada pengetahuan, dapat memilih dengan dewasa, memelihara kehidupan, keberagaman budaya, mendorong kebaikan dan keadilan bersama, sederhana, dan rendah hati,” imbuhnya.

Dr. Rossalina Wulandari, Co-Founder GlobaNastra memaparkan cara mengatasi krisis identitas, ditemukan dengan siapa dan bagaimana cara mengatasinya.

“Ada fenomena meningkatnya konservatisme agama, ada yang mengarah pada gairah beragama dan ada pula yang mengarah pada meningkatnya intoleransi. Jawaban atas pencarian makna yang didapatkan adalah memenuhi kebutuhan, validasi oleh orang lain, dan panduan yang jelas ketika menghadapi ketidakpastian,” terangnya.

Dalam sikap intoleransi beragama Rossalina mengatakan adanya kecenderungan untuk menolak dan menganggap inferior, keyakinan dan ideologis apapun yang berbeda dari keyakinannya.

“Intoleransi beragama pada dasarnya adalah sikap dan perilaku yang ditampilkan dalam upaya melindungi pandangan hidup individu atau kolektif dengan cara yang diskriminatif dan mendiskreditkan orang lain. Tiga faktor yang memprediksi sehingga menjadi bayangan intoleransi dalam beragama yaitu ketidakpastian, kerugian signifikansi, dan tekanan psikologis atau stres,” pungkasnya. ***

--- F. Hardiman

Komentar