Breaking News

NASIONAL Diskusi dengan Apkasi, Ketua Komisi II DPR RI Usung Kabupaten Merdeka Fiskal 21 Aug 2025 15:17

Article image
Diskusi terbatas hybrid dengan Dewan Pengurus Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) dari Kantor Apkasi Jakarta, Rabu (20/8/2025). (Foto: Ist)
Konsep “Kabupaten Merdeka Fiskal” yang ia usung bukan berarti memutus hubungan dengan pusat, melainkan membangun fondasi pendapatan yang kokoh.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co – Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, menyoroti dua agenda besar bangsa yang saling berkait yaitu kemandirian fiskal daerah dan desain demokrasi elektoral pasca putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi (MK).

Sorotan ini disampaikan dalam diskusi terbatas hybrid dengan Dewan Pengurus Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) dari Kantor Apkasi Jakarta, Rabu (20/8/2025).

Rifqi, sapaan akrab Ketua Komisi II DPR RI tersebut, membedah jantung persoalan otonomi daerah dan masa depan pemilu serentak 2029. Ia membuka presentasi dengan data yang mencengangkan. Sebanyak 90,3% daerah di Indonesia—atau 493 dari 546 daerah—masih bergantung pada transfer pusat dengan kategori kapasitas fiskal lemah. Hanya 26 daerah (4,76%) yang mampu berdiri di atas kaki sendiri, dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD)lebih besar dari dana transfer.

“Kondisi ini menjadi tantangan serius dalam optimalisasi BUMD, BLUD, dan pengelolaan aset daerah. Ruang fiskal untuk berinvestasi dan berinovasi sangat terbatas,” tegasnya melalui pernyataan pers di Jakarta, Kamis (21/8).

Konsep “Kabupaten Merdeka Fiskal” yang ia usung bukan berarti memutus hubungan dengan pusat, melainkan membangun fondasi pendapatan yang kokoh sehingga transfer pusat berfungsi sebagai stimulan, bukan napas utama. Strateginya meliputi diversifikasi PAD, reformasi total BUMD, optimalisasi aset daerah, dan pemanfaatan transfer yang lebih efektif.

Salah satu langkah konkret yang sedang digarap Komisi II adalah RUU Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). "Kami bersama Kemendagri, merancang undang-undang ini agar didesain untuk menciptakan tata kelola korporasi modern: memisahkan penugasan layanan publik dari bisnis komersial, seleksi direksi yang profesional dan bebas intervensi politik, serta pengawasan yang ketat,” katanya.

Ia menambahkan, namun harus ada pemisahkan yang jelas antara tugas sosial (public service obligation/PSO) dan bisnis. ”Dan khusus PSO, harus ada kompensasi yang jelas agar tidak terjadi subsidi silang yang membebani BUMD,” katanya.

 

Ibarat Gempa Konstitusional

Terkait isu implikasi Putusan MK Nomor 135/PUU–XXII/2024 yang memisahkan Pemilu Nasional (Pilpres, Pileg DPR, DPD) dengan Pemilu Lokal (Pilkada dan Pileg DPRD), Rifqi menyatakan putusan ini ibarat “gempa konstitusional” yang merobek desain pemilu serentak yang telah dibangun.

Ia menyoroti tiga masalah utama dari hal tersebut. Pertama, soal tumpang tindih norma, dengan pemisahan waktu hingga 2,5 tahun yang dinilai bertentangan dengan roh Pasal 22E UUD 1945 yang mengamanatkan pemilu lima tahunan yang serentak.

Kedua, krisis masa jabatan, dengan Pemilu Lokal 2024 yang sudah digelar berpotensi membuat masa jabatan kepala daerah dan DPRD harus diperpanjang hingga 2031, sebuah langkah tanpa dasar hukum yang jelas dan melanggar prinsip periodisasi.

Ketiga, ada kecenderungan pergeseran fungsi MK, yakni MK dinilai telah melampaui kewenangannya sebagai negative legislature (penguji UU) dan beralih menjadi positive legislature (pembentuk norma baru), yang sejatinya adalah kewenangan DPR dan Pemerintah.

“Ini adalah problematik kenegaraan yang serius. Posisi DPR sebagai pembentuk UU seolah dipotong,” ujarnya sambil menambahkan jalan keluar yang bisa diusulkan, di antaranya kodifikasi besar-besaran menuju Pemilu 2029.

Meski ia mengakui usulan solusi ini terbilang ambisius namun dianggap perlu mengkodifikasi seluruh undang-undang terkait pemilu dan politik ke dalam satu payung hukum tunggal, mungkin melalui metode omnibus law.

RUU Kodifikasi ini akan mengintegrasikan setidaknya enam UU: UU Pemilu, UU Pilkada, UU Partai Politik, UU Pemerintahan Daerah, UU MD3, serta hukum acara penyelesaian sengketa. “Tujuannya adalah menciptakan kepastian hukum, menyederhanakan regulasi yang tumpang-tindih, menghemat anggara, dan yang terpenting, menyiapkan desain Pemilu 2029 yang terintegrasi dan sistemik,” jelasnya.

Rifqi menegaskan bahwa pimpinan DPR dan seluruh fraksi akan terus bersinergi mencari jalan keluar terbaik. “Kita harus mencari titik tengah. Yang utama adalah menjunjung tinggi Konstitusi UUD 1945 sebagai hukum tertinggi, sambil tetap berusaha menghormati putusan MK,” pungkasnya.

 

Manfaatkan Event Apkasi Otonomi Expo 2025

Sementara itu Ketua Umum Bursah Zarnubi mengapresiasi Ketua Komisi II DPR RI yang berkenan diskusi dengan para bupati.

"Kita akan membangun komunikasi dan konsultasi untuk membahas masalah-masalah politik, ekonomi dan pembangunan di daerah. Ini bertujuan agar kita ini bisa mengawal program strategis nasional secara baik, dengan kecepatan penuh. Cuman kalau ada yang mengganggu kapasitas fiskal kita, ini tentu akan mengganggu sumber daya kita juga," tukas Bupati Lahat ini.

Di akhir sesi, Bursah mengingatkan kepada para Bupati untuk mengingatkan dan memanfaatkan event Apkasi Otonomi Expo 2025 yang akan berlangsung 28-30 Agustus di ICE BSD, Kabupaten Tangerang.

"Pameran ini merupakan kontribusi Apkasi dalam menggerakkan ekonomi daerah. Tidak hanya seremoni semata, mari jadikan momentum ini untuk menggalang kerjasama antar kabupaten, kita gerakkan ekonomi dari daerah," katanya bersemangat.

Diskusi terbatas dimoderatori oleh Sekjen Apkasi Joune Ganda (Bupati Minahasa Utara) dan dihadiri jajaran Dewan Pengurus dan Ketua Korwil Apkasi. (*)

--- F. Hardiman

Komentar