Breaking News

NASIONAL Indonesia Harus Diisi oleh Generasi yang Tidak Memolitisasi Agama 30 Jan 2024 18:55

Article image
Diskusi “Fatsoen Politik & Agama: Membendung Politisasi Agama & Menuju Politik yang Religius Melalui Penguatan Etika-Politik Umat Beragama” yang diselenggarakan Pondok Pesantren El-Karim, Pandeglang, Banten secara hibrid , Sabtu (27/1/2024). (Foto: Ist)
Tetapi agama sebagai nilai dalam berpolitik menjadi fondasi, tak boleh agama diturunkan derajatnya menjadi alat menjadi instrumen menjadi pemuas daripada nafsu kekuasaan.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co - Terdapat problem politik religius jika kita membincangkan interaksi politik dan agama di Indonesia. Pasalnya, mayoritas penduduk Indonesia adalah kaum muslim.

Hal ini  disampaikannya Ketua The Lead Institute, Universitas Paramadina Dr. Phil Suratno Muchoeri dalam diskusi “Fatsoen Politik & Agama: Membendung Politisasi Agama & Menuju Politik yang Religius Melalui Penguatan Etika-Politik Umat Beragama” yang diselenggarakan Pondok Pesantren El-Karim, Pandeglang, Banten secara hibrid , Sabtu (27/1/2024).

“Sebagai mayoritas muslim, statistik pelakunya otomatis juga banyak dari kalangan Islam, sehingga akan tampak ada masalah dengan keberagamaan atau keberislaman kita,” katanya.

Dia mengatakan, praktik politisasi agama seperti manipulasi ajaran agama, hanya diorientasikan kepada kelompok agama atau kelompok politiknya saja. “Kebencian, black campaign, fitnah, hoax sudah tahu dilarang agama tapi tetap dilakukan demi kepentingan politik dan kekuasaan menunjukkan adanya ambiguitas etika,” ujar Suratno.

“Makarimal akhlaq bisa kita terapkan dalam kontestasi pilpres 2024. Hadits Nabi Muhammad menyebutkan innama buistu liutammima makarimal akhlaq. Artinya, Aku tidak diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak. Jadi etika religius sangat penting termasuk dalam politik,” paparnya. 

Sementara itu, dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia, Dr. Ahmad Suaedy, menyinggung perihal liberalisme dan modernisme. “Di barat sekalipun mengakui bahwa agama tidak lagi bisa disingkirkan dari ruang publik. Ini masalah cara pandang bukan hanya pilpres,” katanya.

Ia juga menyinggung adanya fenomena oligarki. “Tidak semua partai terlibat dalam sistem oligarki, dinasti, feodalisme dan sebagainya. Bagi saya tidak ada dasar etika yang bisa dipakai untuk mengkritik,” ujarnya. 

Menurutnya masalah etika politik ini sudah lama. “Apakah ada partai yang lebih baik saya kira semua terlibat sehingga kita perlu mencari yang terbaik dari kita. Misalnya good governance yang ditawarkan barat pada kita tidak relevan, misalnya tidak ada item adil,” terangnya. 

Dia mengatakan, kerusakan etika publik di era pilpres tidak ada obatnya lagi, siapapun yang  jadi presidennya. Karena itu, kita perlu berpikir lebih dalam dan lebih konsisten. 

“Saya tidak ragu ketika Islam masuk ke ruang publik maka bisa membangun etika publik yang lebih baik. Mistik sintesis sama dengan bhinneka tunggal ika, bagaimana cara Islam melakukan internalisasi dengan budaya nusantara sehingga tidak muncul kekerasan. Pertemuan Islam dengan Pancasila itu hasil dari 'tabrakan', terjadi kompromi, sikap kompromi itu harus terus-menerus terjadi,” ungkap Suaedy.

 

Fenomena Dinasti Politik dan Kemunduran Demokrasi

Dalam kesempatan yang sama  Dr. Yayah Khisbiyah, Dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta memaparkan bahwa banyak analis yang betul-betul terkejut dengan fenomena dinasti politik atau set back demokrasi.

“Banyak analis (tadinya) menganggap bahwa Jokowi adalah solusi dari problem mandeknya demokrasi sejak orba. Dia yang berangkat dari rakyat jelata, tapi kemudian dalam kurun waktu hampir 10 tahun kita dikejutkan dengan berbagai macam manuver yang memberangus demokrasi,” ujar Yayah.

Indikatornya, kata Yayah, ada banyak. Misalnya terjadi kemunduran demokrasi atau meningkatnya demokrasi liberal, bahkan ada kata-kata yang sangat keras, antara lain ditujukan rektor Paramadina yakni mengenai masalah kebebasan berpendapat.

“Indikator pertama adalah pembatasan  kebebasan berpendapat dan kritik dari masyarakat, mereka yang mengkritik diberi label radikalisme tak Pancasilais dan ancaman pemenjaraan,” tegasnya.  

Menyinggung masalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), banyak pengamat mengatakan korupsi dan oligarki sekarang menguat. “Hasil dari korupsi dan oligarki adalah aset yang harusnya jadi milik bersama tidak terdistribusi secara adil. Distribusi SDA berlangsung timpang, sosial ekonomi tidak adil dan berimbang,” terang Yayah.

Dekan Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, Pendeta Izak Y.M. Lattu, Ph.D, menyatakan bahwa pemilu dalam konteks demokrasi tak bisa dilupakan dari tujuan berbangsa dan ber-Pancasila. Dalam konteks multikultural seperti Indonesia, kita harus meyakini bahwa Pancasila merupakan pengikat sosial.

“Fatsun politik kita harus betul berdiri tegas bahwa kita ingin pemimpin bersama yang betul menjaga tatanan kebangsaan kita. Dia tak boleh kompromi dengan kelompok radikal, fundamentalis yang berpotensi menggunakan demokrasi untuk tujuan yang tidak demokratis,” jelasnya. 

“Proses rekrutmen politik dan demokrasi di Indonesia tak boleh hanya menguntungkan satu kelompok, cukup di era kolonial saja, sebab kalau kembali lagi kita akan mengalami kolonialisme baru dengan menggunakan struktur baru,” kata Lattu. 

Narasumber lainnya KH Aan Subhan Aziz, S.Ag, M.Ag, Pengasuh Pesantren El-Karim Pandeglang Banten mengingatkan pentingnya menolak politisasi agama.

“Tetapi agama sebagai nilai dalam berpolitik menjadi fondasi, tak boleh agama diturunkan derajatnya menjadi alat menjadi instrumen menjadi pemuas daripada nafsu kekuasaan, agama harus menjadi pembimbing,” ujarnya.

Dia mengatakan, Indonesia ke depan harus diisi oleh generasi yang memang tidak memolitisasi agama. “Tapi ia hidup bersama etika sebagai nilai dasar yang terus-menerus kita tanamkan dalam keseharian,” pungkasnya. ***

--- F. Hardiman

Komentar