Breaking News

NASIONAL Kemendagri: Sistem Noken di Papua di Pilpres 2019 Hormati Budaya Lokal dan Hindari Konflik 12 Sep 2018 10:03

Article image
Mendagri Tjahjo Kumolo. (Foto: Ist)
KPU Papua yang menentukan daerah mana saja yang menggunakan noken dengan harapan tiap pemilu jumlah daerahnya berkurang. Secara teknis pengaturan noken, lanjut Bahriar, akan diatur di dalam PKPU.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co -- Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo memberikan komentar tentang penggunaan Noken yang selama ini dilakukan dalam Pemilu khusus untuk wilayah di Papua. Menurut Mendagri, dalam UU Pemilu itu juga tidak ada ruang untuk penggunaan noken.

Sementara Kepala Pusat Penerangan Kemendagri, Bahtiar, menambahkan, bahwa sistem noken telah disahkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 47/81/PHPU.A/VII/2009 dengan menyesuaikan budaya masyarakat asli Papua. Sistem ini sudah diberlakukan lama, bahkan pada Pemilu 2014 juga sudah menggunakan noken.

“Penggunaan sistem noken mengakomodir putusan MK Nomor 47/81PHPU.A/VII/ tahun 2009 untuk menghormati budaya lokal dan menghindari konflik,” jelas Bahtiar.

Disampaikan pula bahwa UU Pemilu tidak dinormakan terkait noken karena ini sifatnya kasuistik. KPU Papua yang menentukan daerah mana saja yang menggunakan noken dengan harapan tiap pemilu jumlah daerahnya berkurang. Secara teknis pengaturan noken, lanjut Bahriar, akan diatur di dalam PKPU.

Seperti apa sistem yang kerap digunakan di masyarakat pegunungan di Papua ini? Ada dua sistem noken yang biasa digunakan masyarakat di pegunungan Papua, yaitu pola big men atau suara diserahkan dan diwakilkan kepada ketua adat, dan pola noken gantung dimana masyarakat lain dapat melihat suara yang telah disepakati masuk ke kantung partai yang sebelumnya telah ditetapkan.

Praktik noken masih terdapat di beberapa wilayah pegunungan di Papua. Ini dikarenakan faktor geografis dan ketersebaran masyarakat di wilayah pegunungan itu sendiri atau mereka yang hidup tanpa akses informasi, transportasi, atau pun komunikasi.

Tidak mudah untuk menjangkau distrik-distrik dan sebaran masyarakat pegunungan. Biaya yang tidak sedikit dikeluarkan bagi para caleg untuk mensosialisasikan visi-misinya. Pola sosialisasi yang diterapkan tentu berbeda dengan kampanye pada umumnya. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan upacara Bakar Batu (upacara dimana terdapat babi yang dimasak di atas bara batu). Cara ini dinilai efektif dalam merangkul masyarakat untuk datang dan memperkenalkan diri.

Dalam upacara ini pula mereka bernegosiasi dengan para kepala suku untuk menentukan pilihan. Bisa jadi siapa yang sering bakar batu dialah yang berkesempatan dipilih meski mayoritas pemilih tidak paham dengan maksud si caleg, karena suara mereka diwakilkan oleh ketua suku.

--- Redem Kono

Komentar