Breaking News

MAKRO Memahami Tax Amnesty, Deklarasi dan Repatriasi 30 Sep 2016 13:55

Article image
Penerapan Tax Amnesty di sejumlah negara. (Foto: Ist)
Perkembangan program tax amnesty bagaikan dua sisi mata uang yang disatu sisi pencapaainya fantastis, di sisi lain ada penilaian ketidakadilan dari program ini. Namun apa sejatinya program Tax Amnesty ini?

BELAKANGAN ini, Tax Amnesty atau Amnesty Pajak menjadi topik pembicaraan dan headline pemberitaan media baik dari sisi kegunaan dan suksesnya program tersebut, maupun aksi protes dari sejumlah kalangan yang menolak program tersebut. Terlepas dari perkembangan program tax amnesty yang bagaikan dua sisi mata uang itu, mungkin perlu mengenal lebih dekat mengenai apa sejatinya program Tax Amnesty ini.

Mengutip dari laman resmi Direktorat Jenderal Pajak (http://www.pajak.go.id) mendefenisikan  Amnesti Pajak atau Tax Amnesty sebagai instrumen pemerintah yang tidak semata-mata berfungsi sebagai sumber pendapatan negara (budgeter), namun juga memiliki fungsi lebih untuk memindahkan harta (regulern) dari orang kaya kepada orang miskin, memindahkan harta dari negara lain ke Indonesia (repatriasi), dan menaman modal (investasi) baru yang akan menciptakan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Bagi pemerintah, amnesti pajak memberikan ruang bagi wajib pajak yang selama ini sulit menyelesaikan masalah pajak maupun yang mau merepatriasi dana mereka ke Indonesia. Keuntungan bagi Indonesia, pengampunan pajak bisa menarik capital inflow dari aset-aset WNI di luar negeri.

Dana yang masuk sebagai dampak pengampunan pajak melalui repatriasi modal dan aset dapat mendorong pertumbuhan dan mendukung stabilitas ekonomi. Yang juga penting, implementasi kebijakan tax amnesty merupakan momentum untuk membangkitkan semangat nasionalisme.

Singkat kata, Tax Amnesty adalah insentif yang  diberikan oleh pemerintah Indonesia kepada wajib pajak. Insentif ini meliputi penghapusan pajak terutang, penghapusan sanksi administrasi perpajakan, serta penghapusan sanksi pidana.

Hanya saja, untuk mengikuti program Tax Amnesty, wajib pajak diharuskan membayar uang tebusan. Uang tebusan tersebut tidak dapat dibayarkan ke KPP. Wajib pajak harus membayarkan lunas uang tebusan ke Bank Persepsi (bank yang ditunjuk pemerintah menampung setoran pajak) yang ditunjuk sesuai dengan tarif yang berlaku pada periode pelaporan sebelum Surat Pernyataan untuk Pengampunan Pajak disampaikan.

Kementerian Keuangan mengatur besaran tarif tebusan untuk program Tax Amnesty. Besaran tarif tebusan ini juga dibagi menjadi dua kelompok, yaitu wajib pajak yang melakukan repatriasi atau mengalihkan asetnya ke dalam negeri dan wajib pajak yang hanya melakukan deklarasi aset-asetnya di luar negeri tanpa mengalihkan ke dalam negeri.

Menurut situs www.pajak.go.id, berikut besaran uang tebusan Tax Amnesty.

Pertama, Repatriasi atau Deklarasi Dalam Negeri. Ini merupakan besaran tarif uang tebusan atas harta yang berada di dalam negeri atau harta di luar negeri yang dialihkan dan diinvestasikan ke dalam negeri. Harta ini tidak boleh dialihkan ke luar negeri lagi selama 3 tahun sejak diterbitkan surat keterangan.

Tarif uang tebusan repatriasi atau deklarasi dalam negeri adalah sebagai berikut:

  • 2% untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak undang-undang ini berlaku atau mulai 1 Juli 2016 sampai dengan September 2016.
  • 3% untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan keempat terhitung sejak undang-undang ini berlaku atau mulai dari 1 Oktober 2016 sampai dengan 31 Desember 2016.
  • 5% untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak 1 Januari 2017 sampai dengan 31 Maret 2017.

Kedua, Deklarasi Luar Negeri. Ini merupakan besaran tarif uang tebusan atas harta di luar negeri dan tidak dialihkan ke dalam negeri. Tarifnya adalah sebagai berikut:

  • 4% untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga terhitung sejak undang-undang ini berlaku atau mulai 1 Juli 2016 sampai dengan 30 September 2016.
  • 6% untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan keempat terhitung sejak undang-undang ini mulai berlaku atau mulai dari 1 Oktober 2016 sampai dengan 31 Desember 2016.
  • 10% untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak 1 Januari 2017 sampai dengan 31 Maret 2017.

Ketiga adalah tarif uang tebusan bagi wajib pajak yang peredaran usahanya sampai dengan Rp4,8 miliar pada tahun pajak terakhir adalah sebesar:

  • 0,5% bagi wajib pajak yang mengungkapkan nilai harta sampaidengan Rp10 miliar dalam surat pernyataan
  • 2% bagi wajib pajak yang mengungkapkan nilai harta lebih dari Rp10 miliar dalam surat pernyataan, untuk periode penyampaian surat pernyataan pada bulan pertama sampai dengan 31 Maret 2017.

Lebih jauh, ruang lingkup pengampunan yang diberikan kali ini lebih luas, di mana Tax Amnesty memberikan pengampunan atas kewajiban perpajakan, termasuk pidana pajak. Menteri Keuangan RI, Bambang Brodjonegoro juga menjamin data yang masuk tidak dapat dijadikan dasar untuk penyelidikan dan penyidikan tindak pidana lainnya.

Fasilitas Amnesti Pajak yang akan didapat oleh Wajib Pajak yang mengikuti program Amnesti Pajak antara lain:

  • Penghapusan pajak terutang (PPh dan PPN dan/atau PPn BM), sanksi administrasi, dan sanksi pidana, yang belum diterbitkan ketetapan pajaknya;
  • Penghapusan sanksi administrasi atas ketetapan pajak yang telah diterbitkan;
  • Tidak dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan;
  • Penghentian pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, dalam hal Wajib Pajak sedang dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan; dan
  • Penghapusan PPh Final atas pengalihan Harta berupa tanah dan/atau bangunan serta saham.

Lantas siapa saja yang boleh dan tidak mengikuti program Tax Amnesty?

Peserta Tax Amnesty

Dalam UU Tax Amnesty, pihak-pihak yang dapat memanfaatkan kebijakan pengampunan pajak, antara lain Wajib Pajak Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan, Wajib Pajak yang bergerak di bidang Usaha Mikro Kecil dan Menengan (UMKM), Orang Pribadi atau Badan yang belum menjadi Wajib Pajak.

Kebijakan Tax Amnesty juga dapat dimanfaatkan oleh golongan yang luas. Antara lain wajib pajak (WP) yang belum terdaftar, WP yang belum menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT), WP yang belum membayar pajak, WP yang belum melaporkan penghasilan atau kurang melaporkan penghasilannya, termasuk WP yang dalam penyampaian SPT-nya terdapat kesalahan.

Ada juga pihak-pihak yang tidak boleh mengikuti kebijakan Amnesti Pajak, yakni WP yang sedang dilakukan penyidikan dan berkas penyidikannya telah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan, WP dalam proses peradilan, atau menjalani hukuman pidana Atas Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.

Untuk pihak yang diperbolehkan untuk tidak mengikuti program tax amnesty, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Pajak Nomor Per-11/PJ/2016 tentang Pengaturan Lebih Lanjut Mengenai Pelaksanaan Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty.

Dalam Perdirjen Nomor 11 Tahun 2016, di Bab I Pasal I Ayat (2), disebutkan orang pribadi seperti petani, nelayan, pensiunan, tenaga kerja Indonesia atau subjek pajak warisan yang belum terbagi yang jumlah penghasilannya di tahun pajak terakhir di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dapat tidak menggunakan haknya mengikuti tax amnesty. Adapun plafon atau batasan PTKP saat ini adalah Rp 4,5 juta per bulan atau Rp 54 juta setahun.

Subjek pajak lain yang dibolehkan tidak mengikuti tax amnesty tertuang pada ayat (3). Yakni Warga Negara indonesia (WNI) yang tidak bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dan tidak mempunyai penghasilan dari Indonesia merupakan Subjek Pajak Luar Negeri dan dapat tidak mengikuti tax amnesty.

"WP tersebut tidak berlaku Pasal 18 ayat (2) UU Nomor 11 tentang Pengampunan Pajak," bunyi ayat (4) Perdirjen Nomor 16 tahun 2016. Itu artinya, pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebesar 200 persen dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang bayar sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (2) tidak berlaku bagi WP yang diperbolehkan tidak ikut tax amnesty, seperti pensiunan, nelayan, petani dan TKI dengan penghasilan di bawah PTKP.

Sementara untuk objek pajak yang bukan merupakan objek pengampunan pajak, antara lain: Ayat (2) harta warisan apabila diterima oleh ahli waris yang tidak memiliki penghasilan atau memiliki penghasilan di bawah PTKP. Serta harta warisan yang sudah dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan pewaris.

Kemudian Ayat (3) harta hibahan juga bukan objek pengampunan pajak dengan ketentuan yang sama dengan harta warisan. Namun di ayat (4) jika ahli waris dan penerima hibah menggunakan haknya untuk menyampaikan harta waris dan harta hibahan dalam Surat Pernyataan di tax amnesty, maka tidak bisa diterapkan ketentuan Pasal 18 UU Nomor 11 tentang tax amnesty.

"Bagi WP yang tidak ikut tax amnesty di atas bisa menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh atau membetulkan SPT PPh," bunyi Bab II, Pasal 3 Ayat (1) Perdirjen Nomor 11 Tahun 2016.

Terhadap harta yang diperoleh dari penghasilan yang telah dikenakan PPh atau harta yang diperoleh dari penghasilan yang bukan objek PPh dan belum dilaporkan dalam SPT berlaku dua ketentuan. Jika sudah dilaporkan, WP dapat melakukan pembetulan SPT tapi jika belum, WP dapat melaporkan harta di SPT.

"Apabila WP yang boleh tidak mengikuti tax amnesty ditemukan data atau informasi atas harta oleh Dirjen Pajak sejak 1 Januari 1985 sampai 31 Desember 2015 yang belum dilaporkan SPT, maka pasal 18 ayat 2 UU Nomor 11 berlaku," tegas ayat (3) ini.

Deklarasi dan Repatriasi Pajak

Dalam program Tax Amnesty, dikenal pula istilah Deklarasi dan Repatriasi Pajak. Lantas apa sebenarnya dua istilah tersebut? Nah, untuk menjelaskan perbedaan antara kedua istilah di atas, saya akan menggunakan contoh yang sangat sederhana sebagai berikut.

Pada April 2016 yang lalu, katakanlah si A yang berstatus sebagai pemilik usaha melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak untuk periode 2015 dengan perincian sebagai berikut: Total pendapatan tahunan Rp 600 juta, harta senilai Rp 2,1 miliar yang terdiri dari 1 Unit Ruko di Jakarta dengan harga pembelian Rp 2 miliar, dan investasi reksa dana campuran senilai Rp 100 juta.

Namun sebenarnya kondisi di atas tidak sesuai dengan situasi yang sebenarnya. Kondisi yang lebih riil adalah total pendapatan tahunan Rp 2 miliar, dan harta senilai Rp 3,1 miliar. Harta itu terdiri dari 1 Unit Ruko di Jakarta dengan harga pembelian Rp 2 miliar, Deposito di Singapura senilai SGD 50.000 atau setara Rp 500 juta, Investasi reksa dana campuran senilai Rp 100 juta, dan Investasi reksa dana saham senilai Rp 500 juta.

Jika dibandingkan, sebenarnya terdapat pendapatan senilai Rp 1,4 miliar (Rp 2 miliar – Rp 600 juta) dan harta senilai Rp 1 miliar (Rp 3.1 miliar – Rp 2.1 miliar) yang seharusnya dilaporkan dalam SPT tapi ternyata tidak disertakan. Dalam kondisi normal, apabila hal tersebut diketahui oleh petugas pajak, maka si A sebagai wajib pajak perlu membayar 30% atas Rp 1,4 miliar penghasilan dan hingga 30% untuk harta apabila tidak mampu membuktikan bahwa harta tersebut diperoleh dari penghasilan yang telah dibayarkan pajaknya.

Dengan adanya Tax Amnesty, maka ibaratnya si A “diampuni” (namanya juga pengampunan pajak) dan cukup membayar dengan persentase tebusan yang lebih rendah daripada tarif normal. Meski angkanya terus berubah-ubah, kemungkinan akan berkisar antara 2% hingga 8% untuk harta.

Dengan kata lain, jika kita melakukan revisi SPT pada pendapatan, maka atas selisih pendapatan tersebut kita perlu berhati-hati karena nilai pajaknya mungkin tidak seperti untuk harta. Apakah ini berarti yang direvisi hanya harta saja dan bukan penghasilan? Pertanyaan ini sangat tergantung pada integritas, hati nurani, kondisi kocek dan saran dari konsultan pajak. Tapi setidaknya untuk tahun-tahun yang akan datang, seharusnya sebagai warga negara yang baik perlu dilaporkan seperti apa adanya.

Lantas, apa yang membedakan antara deklarasi dengan repatriasi? Untuk ilustrasi di atas, deklarasi adalah si A melakukan pembetulan SPT Pajak 2015 untuk posisi harta yang tadinya Rp 2,1 menjadi Rp 3.1 miliar (jika anda hanya melakukan pengkinian pada harta saja). Sementara yang dimaksud dengan repatriasi adalah anda melakukan deklarasi, dan khusus untuk aset yang berada di luar negeri menjualnya dan membawa masuk ke Indonesia.

Untuk porsi harta dari luar negeri yang “direpatriasi” ke Indonesia, maka sesuai perkembangan yang dibahas di media diberikan diskon 50% dari tarif tebusan yang ada. Misalkan jika deklarasi dikenakan tarif 4%, maka untuk repatriasi dikenakanya hanya 2% saja. Hal ini diharapkan harta WNI di luar negeri dapat ditarik ke Indonesia dan turut membantu pembangunan dalam negeri.

Apa definisi dana tersebut sudah dibahas di Indonesia? Dalam berbagai pemberitaan di media, disebutkan bahwa harta yang direpatriasi dari luar negeri harus masuk ke instrumen tertentu mulai dari deposito di Bank BUMN, Obligasi Pemerintah, Investasi Sektor Riil, Manajer Investasi yang ditunjuk Bank BUMN hingga Reksa Dana Penyertaan Terbatas. Belakangan juga disebutkan saham juga bisa dijadikan sebagai sarana repatriasi.

Namun, sebenarnya Deklarasi berbeda dengan Repatriasi. Nama-nama instrumen yang disebutkan di atas hanya diperuntukkan untuk repatrasi saja. Apabila memiliki harta di dalam negeri yang belum dilaporkan dalam SPT dan berniat untuk melaporkannya, tidak perlu memindahkan harta tersebut ke instrumen yang disebutkan di atas, kecuali harta tersebut berada di luar negeri dan kita berminat mendapatkan diskon.

Singkat kata, tarif repatriasi ini tentu harus murah atau bahkan jauh lebih murah daripada deklarasi karena untuk membawa harta pulang dari luar negeri itu tidak mudah. Ada 4 alasan. Pertama, karena hartanya harus diinvestasi di instrumen dalam negeri, maka harus dijual dulu, kemudian diuangkan, dikurskan ke Rupiah dan kemudian investasi ke instrumen di Indonesia. Dalam proses tersebut, belum tentu menguntungkan. Apalagi kondisi perekonomian dunia saat ini juga belum terlalu baik.

Kedua, penjualan dalam jumlah besar tentu akan membuat harganya semakin anjlok, jadi meskipun tarif repatrasi murah, tapi sudah rugi belasan persen dalam prosesnya tentu membuat para wajib pajak untuk berpikir.

Ketiga, instrumen investasi di dalam negeri seperti deposito dan obligasi pemerintah sekarang dalam kondisi BI Rate yang terus menurun. Apakah masih menarik jika dibandingkan instrumen luar negeri yang kursnya relatif stabil?

Keempat, memang ada wacana bahwa perpajakan Indonesia akan bekerja sama dengan lembaga keuangan di luar negeri sehingga harta di luar juga bisa dilacak, tapi apakah pada prakteknya bisa demikian? Tentu negara tujuan juga akan berusaha menjaga kondisi perekonomiannya. Berbicara praktek hukum internasional tentu prosesnya tidak mudah.

Bagaimana dengan investasi reksa dana yang kita miliki? Sebenarnya contoh di atas sudah sangat jelas. Sebagai warga negara yang baik, adalah merupakan kewajiban untuk melaporkannya ke dalam SPT Pajak. Untuk tata cara pelaporan, telah pernah saya bahas dalam tulisan Pelaporan Reksa Dana Dalam SPT Tahunan.

Tembus 3000 Triliun

Total jumlah harta yang terkumpul dalam program amnesti pajak di hari terakhir periode pertama mencapai Rp3.195 triliun yang terdiri dari deklarasi harta dalam negeri Rp2.177 triliun, deklarasi harta luar negeri Rp888 triliun, dan dana repatriasi Rp131 triliun.

Berdasarkan laman resmi Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan di "www.pajak.go.id/statistik-amnesti" yang diakses Jumat (30/9/2016) pukul 07.00 WIB, total Surat Pernyataan Harta (SPH) yang disampaikan mencapai 303.025 SPH dengan total harta Rp3.195 triliun.

Total harta yang dilaporkan pagi ini bertambah sekitar Rp400 triliun dalam waktu kurang dari 24 jam, dibandingkan dengan total harta per 29 September 2016 pukul 14.00 WIB yang sebesar Rp2.798 triliun.

Jumlah harta tersebut dipastikan masih akan bertambah mengingat hari terakhir program pengampunan pajak periode pertama dengan tarif tebusan 2 persen akan berakhir hari ini.  Sementara itu pada periode kedua dan ketiga tarif tebusan akan lebih besar dibanding periode pertama. Sementara uang tebusan yang diterima dari seluruh harta yang dilaporkan atau berdasarkan Surat Pernyataan Harta yang disampaikan sebesar Rp79,7 triliun.

Adapun penerimaan dari tebusan dari Surat Setoran Pajak (SSP) beserta tunggakan pajak lainnya mencapai Rp93,5 triliun. Komposisi penerimaan tersebut terdiri dari Surat Setoran Pajak (SSP) atau uang tebusan sesuai Pasal 8 ayat 3 b UU Pengampunan Pajak sebesar Rp90,1 triliun, pembayaran seluruh tunggakan pajak peserta tax amnesty sebesar Rp3,06 triliun, dan pembayaran pajak yang sedang dalam pemeriksaan bukti permulaan atau penyidikan sesuai Pasal 8 ayat 3 d sebesar Rp337 miliar.

Dengan catatan tersebut, Indonesia memecahkan rekor sebagai negara tersukses dalam menyelenggarakan program pengampunan pajak dengan total laporan harta wajib pajak lebih dari Rp3.000 triliun.  Sebelumnya pencapaian laporan harta tertinggi hasil program pengampunan pajak dicatatkan oleh Italia pada 2009 dengan total Rp1.179 triliun hingga akhir periode.

***

--- Sandy Javia

Komentar