OPINI Menyongsong Indonesia Emas 28 Dec 2022 08:19
Menurut penulis, mimpi Indonesia emas tidak akan pernah terwujud jika kita gagal memandirikan industri manufaktur dalam negeri.
Oleh Dr. Ignas Iryanto
Bagian kedua
Mimpi Indonesia menjadi 4 besar ekonomi dunia pada 2045 mendatang, tepat pada moment peringatan 100 Tahun Merdeka, hanya bisa dicapai jika industri manufaktur kita mampu mandiri 10 tahun sebelumnya.
Oleh karena itu, penulis mengusulkan agar manufaktur menjadi prioritas utama presiden mendatang sebagai pengganti infrastruktur di masa Presiden Jokowi. Jelas ini merupakan kontinuitas dari proses transformasi era Jokowi dengan beberapa langkah perbaikan berikut ini:
Pertama, kebijakan yang mendorong industri ekstraktif untuk naik kelas memasuki juga industri material; penyiapan bahan bahan baku bagi industri manufaktur, tidak sekadar mengoperasikan smelter. Hal ini sedang dipersiapkan oleh satu group perusahaan ekstraktif yang akan menjadi produsen aluminium di masa depan. Kebutuhan jenis material lain juga harus didorong: berbagai jenis baja, kawat tembaga, berbagai jenis isolator, jenis-jenis pipa, dan lain-lain. Begitu juga berbagai perusahaan perkebunan yang menghasilkan komoditi seperti karet serta berbagai jenis kayu dan rotan, idealnya juga naik kelas mengolahnya menjadi bahan-bahan setengah jadi dari karet, sawit, rotan, berbagai jenis kayu termasuk cendana dan gaharu.
Kedua, kebijakan yang berpihak pada industri manufaktur dalam negeri: sudah banyak kebijakan yang dikeluarkan yang menunjukkan betapa kuatnya keberpihakan Jokowi pada industri dalam negeri.
Salah satunya yakni dengan mendorong peningkatan TKDN dari produk-produk dalam negeri, dan berdasarkan nilai tersebut mewajibkan penggunaan produk-produk dengan TKDN tinggi untuk dimanfaatkan dalam proyek-proyek APBD, APBN maupun dengan dana hibah/utang luar negeri.
Terdapat tiga catatan penting yang seyogyanya menjadi masukan bagi pemerintah, khususnya kementerian perindustrian terkait dengan TKDN ini, yakni:
(a) seluruh peraturan mengenai sertifikasi TKDN saat ini hanya cocok untuk industri-industri yang diproduksi secara massal dan kurang cocok untuk produk-produk high tech yang customized/yang harus diproduksi sesuai dengn kebutuhan pelanggan. Untuk produk-produk yang customized, tidak mungkin ada produk yang persis sama dengan produk sebelumnya yang sudah pernah diproduksi. Oleh karena itu sangat disarankan agar khusus untuk produk-produk yang customized, verifikasi dan sertifikasi TKDN dilakukan post supply, setelah produknya diproduksi. Di awal, di masa pra-tender dan tender, produsen dibolehkan mengajukan klaim TKDN berdasarkan model prototype digital yang secara teori bisa dihitung nilai TKDN-nya. Jika setelah produksi nilai TKDN tidak sesuai dengan klaimnya, industri tersebut mesti diberi sanksi keras. Tentu kepercayaan pada klaim pre-supply pun harus didasarkan pada pengalaman sebelumnya serta adanya fasilitas produksi yang dimiliki oleh produsen tersebut. Jadi tidak setiap produsen boleh mengajukan klaim.
(b) pesoalan ini, saat ini diperparah dengan adanya kewajiban bahwa produk yang diverifikasi untuk pengajuan sertifikat TKDN harus produk yang diproduksi tidak lebih dari tiga tahun. Aturan ini sangat tidak realistis untuk produk-produk yang customized tadi dan hanya bisa diterapkan untuk produk-produk massal.
(c) hal ini diperburuk lagi dengan adanya duopoli, yaitu hanya dua lembaga yang ditunjuk pemerintah untuk melakukan verifikasi terhadap perhitungan TKDN yang dilakukan oleh industri manufaktur kita. Beban kerja dua lembaga ini sangat tinggi karena banyaknya industri yang masing-masingnya memiliki produk yang sangat banyak tipenya, apalagi yang customized produknya. Pemerintah sudah selayaknya untk segera membuka kesempatan kepada lembaga lembaga lain untuk juga mendapatkan izin melakukan proses verifikasi TKDN ini. Pendidikan untuk assessor perhitungan TKDN ini sebaiknya dibuka seluas-luasnya dengan biaya terjangkau dan diberikan sertifikat resmi dari Kementerian Perindustrian agar para assessor internal di setiap produsen juga bisa mendaapatkan sertifikat tersebut, begitu juga para assessor swasta, yang nanti akan menjadikan skill ini menjadi bidang profesinya, yang dibuka oleh pemerintah. Era duopoly oleh Sucofindo dan Surveyor Indonesia sudah saatnya dihentikan.
Catatan lain yakni tidak adanya komponen modal intelektual dalam perhitungan TKDN. Kontribusi manusia hanya dihitung dari tenaga kerja yang dikonversi dari standard upah per jam, jadi tenaganya yang dihitung; sementara komponen inovasi dan rekayasanya yang justru sangat tinggi nilainya tidak ada dalam komponen TKDN tersebut. Cara perhitungan TKDN secara umum sebaiknya ditinjau kembali dengan memasukkan komponen modal intelektual yang menghasilkan inovasi produk dalam negeri ini.
Keempat, kebijakan pemerintah yang juga ditujukan untuk mendorong industri dalam negeri adalah dengan membuka banyak kawasan industri. Berbagai regulasi telah dikeluarkan untuk mengatur hal ini, baik tata kelola kawasan industri maupun mengenai usaha pengelolaan kawasan industri, yang intinya bertujuan untuk memberikan kepastian penggunaan lahan bagi usaha industri nasional; juga menyediakan berbagai fasilitas pendukung secara terpadu bagi industri seperti berbagai utilitas seperti listrik, air, infrastruktur transportasi, pengurusan perizinan, dan lain-lain.
Dalam praktiknya, saat ini terjadi berbagai masalah di beberapa kawasan industri di tanah air, yang sempat viral di media sosial yakni persoalan di kawasan industri.
Penulis melihat ada desain yang kurang tepat di sini. Jika badan pengelola kawasan industri berbentuk BUMN atau BUMD dengan kewajiban memberikan deviden pada negara atau daerah, unit bisnis pengelola kawasan akan mengupayakan langkah apapun untuk menghasilkan profit. Jika fase pembangunan sudah selesai dan seluruh industri di kawasan sudah mulai beroperasi dengan tenang, unit pengelola akan kesulitan untuk menghasilkan profit. Maka diusahakanlah berbagai upaya yang dilihat sebagai pemerasan oleh industri yang berada di kawasan.
Kasus-kasus di PT Kima di Makassar, PT KIEC di Cilegon dan PT JIEP di Pulo Gadung, sangat mungkin terjadi di berbagai kawasan industri yang lain, yang tentu saja akan menjadi faktor penghambat tumbuhnya industri nasional, karena praktik seperti itu akan menaikkan biaya produksi dari industri nasional.
Akan lebih bagus jika para penghuni kawasan diberi kesempatan untuk mengorganisasikan sendiri pengelolaan dan penataan kawasan lewat unit yang dikelola bersama. Pemerintah cukup berdiri sebagai regulator dan pengawas saja yang bisa menunjuk inspektur pengawasa kawasan industri yang secara periodik melakukan monitoring atas pengelolaan kawasan tersebut. Di fase awal, pemerintah berfungsi sebagai enabler yang mengadakan kawasan industri ini, namun setelah itu biarkan industri-indutri dalam kawasan itu mengelola sendiri kawasan berdasarkan regulasi yang ada.
Menurut penulis, mimpi Indonesia Emas tidak akan pernah terwujud jika kita gagal memandirikan industri manufaktur dalam negeri. Karena itu, kebijakan yang berpihak secara mendasar pada industri ini semoga menjadi prioritas di masa depan. Keberpihakan pada UMKM sudah cukup lama dijalankan, ini merupakan hal yang juga jangan dihentikan.
Begitu pula keberpihakan pada industri pertanian/pangan harus diteruskan dan ditingkatkan; karena bersama manufaktur, dua jenis industri ini yang mampu memandirikan bangsa secara hakiki. Namun dalam konteks persaingan dengan produk-produk luar negeri, sepertinya jenis produksi dari UMKM dan Pertanian tidak terlalu mengalami tantangan. Itu adalah hal yang berat yang dialami oleh industri manufaktur dengan basis teknologi tinggi. Mereka juga berhak untuk mendapatkan politik keberpihakan dari pemerintah, selain UMKM dan Pertanian. ***
* Penulis merupakan Sekjen Archipelago Solidarity Foundation, tinggal di Jakarta.
Komentar