OPINI Berpikir Sistemik Menuju Solusi Sistemik 23 Oct 2025 23:32
Dominasi partai di parlemen lewat DPR harus dihentikan dengan memberikan penguatan pada DPD.
Oleh: Dr. Ing. Ignatius Iryanto*
Sejak rangkaian demo ke DPR RI di Jakarta serta beberapa Gedung DPRD di daerah, yang disusul dengan menyantroni beberapa anggota DPR bahkan rumah Ibu Srimulyani (mantan Menteri Keuangan) di bulan Agustus lalu, negeri ini tidak pernah benar-benar tenang. Dari minggu ke minggu selalu muncul issue-issue baru yang menyita perhatian publik, memicu debat baik kusir maupun berkualitas di berbagai media, baik media mainstream maupun media-media online serta sosial media, tanpa menghasilkan suatu perubahan signifikan terhadap kehidupan bangsa dan negara kita. Apa yang salah?
Penulis ragu, apakah issue-issue serta berbagai solusi itu menyentuh akar masalahnya? Jangan-jangan kita semua sebenarnya hanya reaktif terhadap symptom dan tidak pada penyakit sesungguhnya yang menjadi akar masalahnya.
Paling akhir, kehebohan yang ditimbulkan oleh beberapa langkah dari Menkeu yang baru, Purbaya Sadewa; mulai dari soal Makan Bergizi Gratis (MBG), Whoosh, kemudian issue soal ekspor illegal mineral kita. Itu semua ranahnya eksekutif.
Saya bertanya-tanya; apa semua masalah ada di eksekutif? Begitu seriuslah persoalan ini sehingga muncul berita ada ancaman terhadap pak Purbaya dan keluarganya, bahkan Presiden Prabowo Subianto menugaskan satuan elit Republik Indonesia (Kopassus) untuk menjaga keluarga pak Purbaya?
Juga viral rangkaian statement dari Pak Purbaya yang salah satunya berbunyi: “Saya tidak pernah berniat menyerang siapa pun, tetapi kalau kebanaran dianggap serangan, mungkin kita terlalu lama hidup dalam kebohongan.”
Ada statement tersirat dalam kalimat Pak Purbaya, yaitu bahwa selama ini kita hidup dalam sistem yang merawat kebohongan.
Jika dilihat dari substansi yang dimaksud Pak Purbaya, tembakannya lebih mengarah pada aspek implementasi dari program tersebut yang sudah ada dalam ranah eksekutif, serta turunannya termasuk BUMN dan pihak swasta yang terlibat.
Pertanyaan Penulis: "apakah keputusan terkait MBG, Whoosh, tambang dan ekspor mineral, hanya ada dalam otoritas eksekutif? Apakah tidak ada kontrol legislatif sama sekali di sana? Begitu kuatkah eksekutif atau begitu lemahkah legislatif? Apakah mekanisme check and balance dalam sistem politik kita tidak berjalan effektif?
Jika kita sepakat ini pertanyaan kunci, maka kita harus masuk pada sistem politik yang kita anut.
Sejatinya, kalau kita mau jujur, rangkaian demo dan penjarahan di bulan Agustus lalu merupakan puncak ketidakpuasan rakyat kepada legislatif, khususnya DPR.
Rumah-rumah yang dijarah adalah rumah-rumah anggota DPR.
Rumah ibu Sri Mulyani salah satu yang didatangi, mungkin karena kekecewaan rakyat atas beban pajak yang makin tinggi, yang ditumpahkan ke Ibu Mulyani.
Padahal, sejatinya regulasi apa pun termasuk pajak diterapkan setelah mendapat persetujuan dari legislatif.
Desain Legislatif Bikameral
Salah satu hasil reformasi yang merubah sistem politik kita yakni dibubarkannya fraksi utusan daerah dan utusan golongan, diganti dengan Dewan Perwakilan Daerah atau DPD.
Sejak itu, negara kita resmi menganut sistem Parlemen dua kamar seperti Kongres dan Senat di Amerika Serikat, atau Bundesrat dan Bundestag di Jerman, atau House of Commons dan House of Lord di UK.
Latar belakang berdirinya sistem ini berbeda-beda di masing-masing negara.
Jika di UK dan Jerman ada tuduhan dan kritik bahwa House of Lord di UK dan Bundesrat di Jerman itu dibuat untuk mempertahankan pengaruh dari para bangsawan dalam mengimbangi suara dari perwakilan partai-partai di House of Commons dan di Bunstag yang dipilih langsung oleh rakyat, maka di Indonesia muncul dari kesadaran bahwa aspirasi daerah juga harus didengar khusus dari perwakilan daerah yang dipilih tidak dalam kontek partai politik, namun dalam konteks perwakilan daerah.
Dibandingkan dengan sistem sebelum reformasi, utusan daerah itu menjadi bagian dari DPR hanya berbeda fraksinya namun hak-haknya sebagai anggota DPR tetap sama.
Yang kita lakukan adalah membentuk satu kamar baru dalam parlemen kita dengan nama DPD, namun membonsai kewenangannya jauh di bawah DPR.
Sebenarnya, ini merupakan satu kesalahan mendasar sekali, seolah-olah aspirasi daerah tidak penting dibandingkan dengan aspirasi partai. Orang partai akan mengatakan bahwa anggota DPR pun berasal dari daerah, jadi dia juga membawa aspirasi daerah.
Apakah benar DPR yang berasal dari partai juga membawa aspirasi daerah? Secara ideal memang seharusnya demikian.
Namun sayang sekali, hal itu sering mengecewakan daerah, karena faktanya partai dikuasai oleh Oligarkhi partai yang merupakan lingkaran elit partai yang memberlakukan partai sebagai milik pribadi atau keluarga atau kelompoknya.
Itulah yang membuat mekanisme perwakilan dengan aspirasi daerah sering macet, yang lancar hanya aspirasi yang disetujui dan didorong oleh elit partainya.
Kalimat yang terkenal dari politisi PDI Perjuangan, Bambang Pacul terkait RUU Perampasan aset misalnya, menjadi bukti adanya fakta ini.
Negeri kita dikuasai oleh oligarki ekonomi yang menguasai aset-aset ekonomi bangsa dan oligarki politik yang menguasai partai-partai politik. Situasi kita semakin buruk jika kedua jenis oligarki itu berkelindan dan berkonspirasi. Rakyat hanya jadi pelengkap penderita dalam sistem seperti ini. Dan ini harus diluruskan.
Yang ingin penulis kemukakan di sini adalah bahwa yang dikejar dan mau dilawan oleh Pak Purbaya hanyalah sebagian dari masalah kita dan isu-isu itu hanya smptom ekonomi. Kita perlu meninjau juga persoalan ke hulu ketika seluruh kebijakan dan regulasi itu diputuskan oleh legislatif, bukan hanya pada fase kebijakan itu diekesekusi oleh lembaga eksekutif.
Penguatan DPD Adalah Solusi Sistemik
Menurut hemat penulis, kekecewaan pada DPR yang bermuara pada turunnya tingkat kepercayaan pada DPR, tidak akan diselesaikan hanya dengan menjarah rumah anggota DPR atau menuntut partai memecat anggotanya, atau bahkan dengan memperketat syarat untuk menjadi anggota DPR.
Namun secara ssstem, sebaiknya dilakukan dengan menambah kewenangan pada DPD sehingga DPD bisa menjadi faktor yang menyeimbangkan dominasi elit partai dalam pengambilan keputusan dengan membawa aspirasi murni dari daerahnya.
Saking lemahnya DPD, ada yang memplesetkan bahwa DPD bukan Dewan Perwakilan Daerah, namun Dewan Pengusul Doang, sementara keputusannya diambil oleh anggota DPR. Kelemahan ini disampaikan oleh salah satu anggota DPD kepada penulis sebagai berikut:
Pertama, dalam Konteks Legislasi, DPD RI ikut membahas Rancangan Undang-Undang bersama Pemerintah dan DPR RI (Tripartit), tetapi DPD RI hanya ikut membahas sampai pada Tingkat pertama. Pembahasan tingkat dua, DPD RI sudah tidak lagi dilibatkan hingga pengambilan keputusan. Inilah kelemahannya secara politik, DPD RI tidak bisa memberi kontribusi pada sikap setuju atau menolak.
Kedua, jika terjadi perbedaan pandangan yang signifikan sekalipun, contoh pelucutan kewenangan daerah dalam UU Omnibus Law, sekencang apa pun penolakan DPD, di pembahasan tingkat satu sekalipun, DPD RI dalam pengambilan keputusan selalu dianggap sebagai fraksi, suara DPD sama dengan suara Fraksi di DPR. Ini juga menjadi persoalan serius.
Ketiga, hasil pengawasan DPD RI, dilaporkan ke DPR RI, kalaupun ada yang langsung ke kementerian, respon kementerian tentu akan sangat berbeda, karena DPR RI juga melakukan pengawasan. Jika ada item pengawasan yang sama, pemerintah secara umum akan cenderung mendengar masukan pengawasan DPR RI dan agak mengabaikan pengawasan dari DPD RI.
Keempat, fungsi anggaran, yang hanya sampai pada tahapan pertimbangan. DPD RI sejak dulu selalu diminta untuk hanya fokus pada satu mata Anggaran yakni terkait dengan TKD. Tetapi DPR RI selalu melihat pertimbangan DPD RI itu hanya sebuah syarat formal. Sehingga selalu saja dalam proses pembahasan RAPBN, DPD RI terlambat memberikan pertimbangan, karena proses pembuatan pertimbangan di DPD RIselalu paralel dengan pembahasan di DPR RI. Mestinya pembahasan Di DPR RI jangan dulu dimulai sebelum pertimbangan DPD RI masuk. Ini terkait dengan aturan internal parlemen yang memang dibuat untuk membonsai DPD.
Kelima, dalam kaitan dengan kewenangan dalam pengajuan perubahan UUD, DPD RI sudah dikunci duluan dengan jumlah Anggota yang tidak boleh lebih dari 1/3 jumlah Anggota DPR RI, sementara syarat pengajuan perubahan UUD harus minimal 1/3 +1 anggota MPR RI.
Lima poin di atas yang menyebabkan sistem bicameral kita lumpuh dan tidak berfungsi. Itu membuat partai dan penguasa partai lewat DPR menguasai secara mutlak proses legislasi di parlemen.
Sementara itu, jika ada implementasi yang dijalankan oleh eksekutif merugikan rakyat, rakyat cenderung menyalahkan eksekutif dari bawah hingga Presiden. Dominasi partai di parlemen lewat DPR harus dihentikan dengan memberikan penguatan pada DPD.
Namun bagaimana itu dilakukan jika penguatan itu harus dilakukan lewat UU yang mekanisme pngusulan dan pembahasannya sudah dikunci oleh DPR sendiri?
Penguatan DPD ini hanya bisa dilakukan lewat parlemen jalanan, lewat ekstra konstitusional. Ini juga sah jika secara sistem hal ini sudah dikunci, jika rakyat menuntut penguatan DPD dari jalan juga dengan strategi viral, memanfaatkan sosial media. Ini jauh lebih strategis daripada menjarah rumah para penjahat berbaju parlemen itu.
Oleh karena itu, sambil menanti ujung dari gebrakan Pak Purbaya serta impaknya pada kesejahteraan rakyat, penulis ingin mengusulkan kepada para aktivis untuk juga melihat hulu dari seluruh implementasi berbagai program tersebut, yang jelas tidak bisa disentuh oleh Menkeu.
Jelas membutuhkan strategi khusus agar implementasi sistem bicameral kita berjalan optimal sehingga selain legislatif efisien menjalankan fungsi check and balance terhadap eksekutif yang sering didominasi oleh kepentingan oligarki ekonomi, DPD pun menjalankan fungsi penyeimbang dalam proses legislasi di parlemen sehingga tidak didominasi oleh oligarki politik dari elite-elit partai.
Jika tidak dilakukan, sampai kapan pun rakyat tetap akan menjadi pelengkap penderita dari praktek kenegaraan kita.
* Penulis adalah Sekjend Archipelago Solidarity, Diaspora Flobamora.
Komentar