REFLEKSI Sepenggal Kisah Bersama Jenderal Gories Mere 17 Nov 2025 11:57
Oleh : Valens Daki-Soo*
Suatu ketika, 2001, saat saya menjadi staf khusus (non-organik) Wakil Kepala Staf TNI AD Letjen TNI Kiki Syahnakri, HP saya berdering. Di ujung sana seseorang berbicara, "Ini dengan Bung Valens ya? Saya Gories Mere. Kita bisa ketemu malam nanti di Tebet?"
Singkat kisah, untuk pertama kalinya saya bertemu dengan Komisaris Besar Polisi (KBP, biasa disebut Kombes) Gories Mere, nama yang populer di kepolisian tapi saya gak pernah lihat wajahnya. Padahal ayah Om Gories, begitu saya lalu biasa menyapanya, berasal dari Nangaroro sama seperti saya (berkerabat dekat pula), dan ibundanya orang Tana Toraja.
Oleh karena lahir di Medan dan besar di Makassar, sesuai tempat tugas ayahnya yang tentara, Om Gories tidak tahu atau tak bisa berbahasa daerah Nangaroro, Flores.
Boleh disebut, saya orang pertama asal Flores yang masuk ring dalam, "inner circle" Om Gories sebagai staf khusus beliau (sejak 2001 hingga hari ini). Belum ada orang Flores, termasuk orang Nangaroro, yang beliau kenal dekat sekali. Teman-temannya lebih banyak orang Makassar yang kebanyakan teman semasa SMP dan SMA di Makassar.
Ketika itu beliau baru bergeser dari jabatan Wakapolda NTT menjadi Direktur IV/Narkoba Bareskrim Mabes Polri berpangkat Brigjen Pol. Saya mulai ikut dan terbawa pola kerjanya: siang di kantor Bareskrim Mabes Polri, malam kami beredar dari satu tempat ke tempat lain.
Pola operasi Pak GM tak bisa Anda tebak. Semuanya dalam kesenyapan. Kami bisa bergonta-ganti mobil dalam satu hari. Masuk satu hotel atau restoran dengan mobil ini, keluar dari sana ke tempat lain dengan mobil berbeda. Ketika naik mobil yang sama pun, plat nomor polisi mobil pun berubah-ubah. Anda tak bisa melacak kami. Tak akan pernah.
Ketika tragedi Bom Bali I meledak pada 12 Oktober 2002 di Legian, Kuta, Bali, dunia terhenyak dan Indonesia pun panik. 202 orang tewas, banyak warga Australia tewas. Saat itu belum ada Densus 88/Antiteror Polri. Maka Kapolri perintahkan Pak Gories membentuk Satgas Bom Bareskrim Polri. Pak Gories sendiri yang memimpin operasinya di lapangan, Bali.
2004 Pak Gories merintis pendirian Densus 88/AT Polri, dibantu FBI (Amerika Serikat). Pak Gories adalah Kepala Densus atau Kadensus yang pertama.
Saya yang biasanya hobi nonton film-film perang atau film "action" akhirnya bisa ketemu agen-agen FBI (Federal Bureau of Investigation) dan CIA (Central Intelligence Agency). Ini dua lembaga top Amerika Serikat yang mendunia dan legendaris.
Berbagai aksi teor yang terjadi ditumpas oleh Densus 88 yang dipimpin langsung Pak Gories. Dia tipe perwira lapangan, bukan komandan di balik meja di gedung ber-AC dingin. Saya pernah kritik beliau, "Om, sudah berpangkat Brigjen bahkan Irjen kenapa mesti turun langsung memimpin operasi? Kan bisa perintahkan perwira menengah saja."
Pak Gories menjawab, "Lens, saya harus ada bersama tim saya. Harus terlibat langsung dalam dinamika di lapangan. Saya bukan tipe bos di belakang meja yang hanya tunggu laporan."
Karirnya melejit cepat. Setelah menjabat Wakil Kepala Bareskrim (Wakabareskrim) berpangkat Irjen atau bintang dua, Pak Gories dipromosikan menjadi Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) berpangkat Komjen Pol atau bintang 3.
Pada masa beliau, BNN disetarakan dengan kementerian.
Pak Gories mengkaderkan cukup banyak perwira berprestasi. Termasuk Jenderal Tito Karnavian, Jenderal Idham Azis, Komjen Rycko Dahnial, Komjen Petrus Golose, Komjen Martinus Hukom dan lain-lain.
Semua mereka eks Densus 88.
Sebuah catatan historis: Pak Gories adalah orang Asia pertama yang dipercayakan menjadi Ketua Asosiasi Lembaga-lembaga Antinarkotika se-Dunia. Dengan begitu, beliau pernah mengkoordinasi juga Drug Enforcement Administration atau DEA, BNN-nya Amerika Serikat yang hebat dan melegenda itu.
Banyak pihak sempat memprediksi, Komjen Gories Mere akan menjadi Kapolri. Nama beliau sempat diusulkan Mabes Polri kepada Presiden SBY sebagai salah satu kandidat Kapolri. Namun, ini saya buka: Pak SBY gentar dengan tekanan Front Pembela Islam (FPI) yang mengancam akan mendemo Istana tanpa henti jika Jenderal Gories menjadi Kapolri.
Memang ada anggapan dan tudingan keliru di kalangan tertentu bahwa Pak Gories anti Islam. Itu salah total. Pak Gories itu datang dari keluarga campuran Katolik-Islam di Nangaroro, Flores. Adik-adik dari ayahnya beragama Islam. Banyak keluarganya yang Muslim.
Pak Gories bukan anti Islam, tapi anti terorisme. Jadi, apapun agamanya, jika Katolik sekalipun akan kami sapu, kalau teroris atau pengacau NKRI. Gak ada itu perhitungan agama dan suku bangsa. Anda Flores tapi teroris ya, kami angkut.
Terakhir, di ujung pengabdian formalnya, Pak Gories diangkat menjadi Staf Khusus Presiden Bidang Intelijen dan Keamanan oleh Pak Jokowi, 2016-2019. Beliau begitu dipercaya Pak Jokowi dan saya tahu itu karena termasuk tim kecil yang membantu beliau di lingkaran Istana. Namun, ketika Pak Jokowi mendorong putranya Gibran menjadi Capwares, Pak Gories beda pendapat dan mendukung Ganjar Praanowo.
Banyak kisah yang tentu tak bisa dan tidak boleh saya tuangkan semua. Namun, sedikit kisah ini bisa menggambarkan potret seorang putra bangsa sejati asal Nangaroro, Nagekeo, NTT.
Kami 100 persen Katolik, 100 persen Indonesia.
BAGIMU NEGERI, JIWA RAGA KAMI.
Selamat Ultah hari ini, 17 November 2025, Om Gories.
Terima kasih atas dedikasi total bagi Indonesia tercinta ini.
Selamat menikmati hari-hari di masa purnabhakti.
Hidup NKRI!!!
***
*) Penulis adalah Pendiri dan CEO PT Veritas Dharma Satya, Staf Khusus Letjen TNI Kiki Syahnakri (1998 hingga kini), Staf Khusus Komjen Pol Gories Mere (2001 hingga kini)
Komentar