OPINI Steph Tupeng Witin Tidak Layak (untuk) Dipercaya 09 Dec 2025 07:22
Kita tidak antikritik. Tapi bukan berarti kita diam terhadap provokasi dan fitnah. Mendiamkan sebuah kejahatan berarti menyetujuinya. Karena itu, saya meminta masyarakat untuk tidak terpengaruh fitnah, tuduhan, dan pembunuhan karakter GM. STW tidak layak
Oleh: Valens Daki Soo*
MEMBACA tanggapan dari Steph Tupeng Witin (STW) terhadap konferensi pers saya di Mbay, pada 4 Desember 2025, saya tiba pada dua kesimpulan awal:
Pertama, STW sengaja menampilkan dirinya sebagai korban. Ia tidak fokus untuk membantah argumentasi, narasi, dan klarifikasi publik yang saya sampaikan, tetapi sibuk membangun persepsi dan opini publik bahwa “ia dicaci dan dimaki” dalam konferensi pers terbuka tersebut.
STW memang jago dan licik "playing victim". Dengan memposisikan diri sebagai korban, STW ingin meraih simpati, perhatian, atau dukungan dari publik. Ia tidak fokus membantah narasi substansi dari konferensi pers yang saya sampaikan.
Dalam ilmu logika, STW sengaja membangun sesat pikir yang dinamakan "Argumentum ad misericordiam" artinya berargumen untuk mengundang rasa kasihan. STW tampak ingin memenangkan argumen dengan membangkitkan simpati, iba, atau rasa bersalah alih-alih memberikan bukti logis yang relevan, seringkali dengan menceritakan kisah sedih atau keadaan menyedihkan untuk menghindari inti masalah. Hal ini jelas mulai dari awal tulisannya, STW berulangkali menyebut dirinya “dimaki” dan “dicaci” – dua hal yang sama sekali tidak saya lakukan dalam konferensi pers saya.
Dalam konferensi pers tersebut, saya tidak mengeluarkan “cacian dan makian”. STW -yang mengklaim dirinya penulis dan wartawan senior – harus membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Dalam KBBI, cacian dan makian merujuk pada kata-kata keji, kotor, atau kasar. Coba ditanyakan kepada para wartawan, apakah saya mengeluarkan cacian dan makian? Saya menyewa videografer profesional untuk merekam jumpa pers secara utuh.
Justru dalam konferensi pers tersebut, saya mengeluarkan enam pokok substansi konferensi pers – dan ini tidak dijawab tuntas oleh STW dalam tanggapannya. Ia hanya membangun opini untuk meraih empati publik.
Misalnya, pertanyaan saya tentang integritas STW – sinis terhadap bantuan sosial tetapi rutin menagih "jatah uang bulanan" dari Gories Mere (GM); ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu; dan paling penting adalah tuntutan saya terhadap bukti nyata keterlibatan dan keterkaitan GM dengan “mafia waduk Lambo”. Hal ini sengaja dihindari oleh STW. Dia justru fokus membangun framing dirinya dicaci dan dimaki, padahal hal ini tidak saya lakukan.
Kedua, alih-alih membantah substansi konferensi pers saya, STW sengaja terus menyebut dirinya “Imam Katolik”, “Wartawan Senior” dan “pejuang orang-orang kecil”. Ini adalah teknik yang sengaja untuk membentengi diri dari kekalahan dan ketidakmampuan berargumentasi. Ia bahkan mengutip ayat-ayat Suci di Alkitab untuk menguatkan penokohan dirinya sendiri (glorifikasi diri). Dia membangun citra, tidak menanggapi narasi; tanggapan maupun bukti konkret keterlibatan GM.
Dan, STW terjebak lagi dalam sesat pikir logika "argumentum ad verecundiam". Artinya, STW sengaja membangun taktik agar pernyataan atau tulisannya dianggap benar hanya karena diucapkan/ditulis oleh dirinya yang dianggap ahli atau berwibawa, bukan karena bukti atau alasan yang relevan. STW bersembunyi di balik otoritas yang sengaja dibangunnya, karena ia pasti berhitung bahwa publik akan lebih mempercayai otoritas dirinya.
Yesus Kristus, selama hidup dan pengajaran-Nya secara terbuka mengkritik para pemuka agama jenis ini, seperti dalam rupa orang Farisi dan ahli Taurat, karena kemunafikan dan perilaku buruk mereka.
Para pemuka agama sengaja melakukan perbuatan baik hanya untuk dilihat dan dihormati, bukan untuk memuliakan Tuhan dan menjalankan ajaran-Nya.
Yesus menyebut mereka munafik karena sengaja mengenakan "topeng" kesalehan, padahal yang dikejar adalah kepentingan (citra) diri. Dari Yesus, kita belajar bahwa kebenaran adalah nilai, bukan (pengklaiman) dari tokoh.
Dengan teknik viktimisasi diri dan penokohan sekaligus, STW berharap ia dapat memenangkan persepsi atau opini publik. Namun, kenyataan di masyarakat berjalan sebaliknya. Apalagi sebagian masyarakat sudah tahu STW adalah imam yang "bermasalah", sehingga dirinya menjalani "istirahat mandiri" di Lewoleba. Pater Mill (Pastor Paroki Rendu) dalam sebuah artikelnya menyebut STW diduga menyalahgunakan dana biara SVD.
Masyarakat sudah tidak percaya lagi dengan narasi-narasi yang dibangun STW karena tidak mendapatkan bukti-bukti konkret dari setiap tuduhan dan fitnah. Setiap tulisannya kini lebih sebagai agitasi, insinuasi, tuduhan, dan fitnah semata, sehingga ia seharusnya tidak berani menyebut dirinya imam Katolik, wartawan senior ataupun penulis. STW tidak layak untuk dipercaya.
Karena itu, secara psikologis, saya menilai STW sepertinya mengidap gangguan psikopatologis dengan suka menyerang orang lain secara verbal. Dapat dikatakan, Anda mengalami semacam "sadisme verbal": merasa puas ketika menyerang orang lain dan merasa menang atas mereka.
Itu hasil amatan saya secara awam saja.
Saran saya: Anda, STW, perlu meluruskan cara berpikir Anda, menempa kembali hati Anda agar lebih punya rasa hormat dan sikap positif terhadap sesama.
Saya tidak mengatakan Anda tidak boleh melontarkan kritik korektif terhadap situasi atau masalah sosial apapun. Namun, perlu perbiasakan menempatkan diri dalam posisi yang lebih empatik dan menunjukkan respek kepada orang lain.
Kritik sosial pun perlu dibangun di atas fondasi kebenaran faktual, bukan semata bergantung pada masukan dan opini orang-orang yang punya kepentingan tertentu. Mereka yang frustrasi secara politis maupun menderita dari segi ekonomi (kehilangan bisnis dari penguasa) akan cenderung kehilangan obyektivitas dan independensi dalam berpikir. Tidaklah elok jika Anda bersedia dipakai sebagai corong "vested interest" atau kepentingan kelompok tertentu di Nagekeo.
Saya jatuhkan aksentuasi pada satu hal ini: bagaimana bisa Anda menuduhkan sesuatu, entah mafia atau apapun, tanpa investigasi langsung di lapangan dan hanya mengandalkan para informan.
Saya Harus Menyuarakan Kebenaran
Alih-alih membantah substansi argumentasi saya, STW justru bersibuk membangun narasi yang menyerang personal seperti saya menepuk dada sebagai “Staf Khusus dari Staf Khusus”. Saya memang menjadi staf khusus beberapa petinggi negara (sejak 1994) jauh sebelum saya menjadi staf Pak GM, seperti saya tulis di atribut penulis di akhir artikel ini.
Sebutan STW didasarkan pada jabatan terakhir GM sebagai Staf Khusus Presiden Bidang Keamanan dan Intelijen. Di sini STW lagi-lagi menunjukkan dirinya “asal bunyi” (asbun) tanpa data – sekaligus membuktikan bahwa ia tidak mengenal GM.
Sejak 2001, saya sudah menjadi Staf Khusus GM.
Berturut-turut saya mendampingi beliau sejak pindah jabatan dari Wakapolda Nusa Tenggara Timur (NTT), lalu berturut-turut menjabat Direktur IV/Narkoba Bareskrim POLRI, Kepala Tim Penyidik Bom Bali I dan II, Perintis dan Kepala Densus 88/Antiteror Polri, Wakil Kepala Bareskrim, Kepala BNN, dan Staf Khusus Presiden Bidang Intelijen dan Keamanan.
Setelah pensiun, karena integritas, kapasitas, dan profesionalitasnya, GM masih diminta masukan dan pendapatnya oleh negara sebagai pembicara, dan ahli. Ia juga menjadi komisaris di beberapa perusahaan. Artinya, kapasitas Pak GM masih terus dibutuhkan negara juga di masyarakat.
Karena sudah bekerja sangat lama, saya memiliki pengalaman eksistensial dan orisinal tentang GM. Pak GM tidak seperti tokoh dalam halusinasi STW – dia adalah figur Katolik yang sangat cinta pada agamanya, hormat pada hierarki, memiliki integritas pribadi.
Sebagai staf, saya menyaksikan langsung integritas dan profesionalitas GM. Sambil menjadi stafnya, saya mendirikan bisnis saya sendiri, PT Veritas Dharma Satya (VDS Group).
Hal ini harus saya utarakan untuk membantah kecurigaan STW terhadap hubungan saya dengan GM. Saya mendirikan media IndonesiaSatu.co. Media ini menjadi cerminan integritas dan kritisisme kami, dengan melalukan pemberitaan yang jernih, akurat, dan kredibel.
Saya juga mendirikan VDS Law Firm untuk memberikan bantuan layanan hukum untuk pejuang kebenaran dan keadilan. Kami memberi bantuan hukum secara gratis (pro bono) dalam sejumlah kasus selama ini.
STW menuduh saya asbun dan sebagainya, dan dengan cara itu mendegradasi kualitas pribadi saya.
Saya tidak tahu prestasi STW waktu di STFK Ledalero dulu. Namun, saya perlu sampaikan, tahun 1990 saya sudah disiapkan Rektor Seminari Tinggi Ledalero dan Ketua STFK Ledalero Pater Dr. Hubert Muda, SVD untuk dikirim sebagai frater SVD ke Chicago, Amerika Serikat guna melanjutkan studi di sana.
Namun, karena alasan kesehatan, saya mengundurkan diri dari Seminari Tinggi Ledalero.
STW adalah mantan wartawan media lokal Flores Pos, sebuah media berkualitas yang didirikan SVD. Boleh Anda banggakan profesi jurnalis dan penulis itu.
Namun, saya perlu buka fakta ini ke Anda:
Saya menulis di media lokal "Dian" dan majalah Katolik "Hidup" sejak masih di Ledalero. Bahkan, pada tahun 1992 saya menulis artikel opini di koran terbesar dan terkemuka Indonesia, KOMPAS. Judul artikel itu "Urgensi Transformasi Kultural di Indonesia".
Dengan begitu, saya adalah mahasiswa STFK Ledalero pertama dalam sejarah sekolah ini yang menulis opini di KOMPAS.
Nama-nama besar di dunia keilmuan dan jebolan STFK Ledalero, seperti Dr Ignas Kleden dan Dr Daniel Dhakidae, menulis di KOMPAS setelah mereka menamatkan pendidikan sarjana ataupun masternya.
Poin saya, Anda perlu berpikir sedikit lebih cerdas sebelum meremehkan kualitas orang lain, siapapun itu.
Kembali ke poin sebelumnya: Saya sangat prihatin, mengapa STW yang selalu memamerkan dirinya sebagai imam Katolik justru menuduh umatnya sendiri dengan tuduhan yang jahat dan mengerikan seperti ini? Sebagai pemuka agama, STW harus mencari kejelasan atau kebenaran suatu berita/informasi dengan cara meneliti, mengklarifikasi, dan memverifikasi hingga jelas benar keadaannya, sebelum menerima atau menyebarkannya.
Mengapa STW hanya rutin menagih jatah bulanan dari GM tetapi tidak sekalipun bertanya langsung terkait Waduk Lambo untuk mendengarkan penjelasan GM? Mengapa STW berani mengeluarkan tuduhan dan fitnahan tanpa bukti atau investigasi langsung di lapangan?
Saat konferensi pers di Mbay, saya sudah menjelaskan kepada para wartawan bahwa kegiatan hari tersebut murni adalah inistiaf pribadi saya. Nalar dan nurani saya mengusik dan menggerakan saya untuk menyampaikan sikap dan pengetahuan saya terhadap tuduhan STW. Jadi saya pun tidak bermaksud melakukan glorifikasi terhadap GM, tetapi saya hadir untuk menceritakan apa yang saya lihat, saya dengar, dan saya alami dari GM. Maka tuduhan STW -saya sengaja mengglorifikasi GM – terbantahkan dengan sendirinya.
Prinsip ini saya pegang teguh: "Satyam-eva jayate", artinya kebenaran akan selalu menang. Orang benar tidak akan takut menyuarakan kebenaran, Orang benar tidak takut pada tuduhan, fitnahan, dan manipulasi.
Karena temanya “konferensi pers”, maka saya mengundang sejumlah wartawan di Mbay untuk hadir dan meliput. Yang hadir belasan orang, bukan cuma 2-3 orang seperti dikatakan STW. Untuk ukuran Mbay, belasan wartawan itu sudah termasuk banyak.
Justru saya heran, STW tidak hadir di lokasi tetapi berdasarkan cerita dua wartawan yang hadir, bisa mengomentari konferensi pers saya. Jika dia “wartawan sejati” dan “penulis investigasi” sebagaimana ditulisnya sendiri, STW seharusnya ada di lapangan/konferensi pers tersebut. Karena tidak berada di lokasi, dia tidak layak memberikan penilaian apapun, dan tidak layak dipercaya alias asbun!
STW menuduh saya "pakai cara mafia" karena memberikan sedikit uang bensin bagi rekan-rekan wartawan yang dimasukkan ke dalam amplop, dan di luar amplop tercetak nama saya: VDS. Saya perlu infokan STW bahwa dari dulu saya punya amplop, kop surat dan lain-lain bertuliskan VDS.
Pemberian uang bensin kepada wartawan adalah murni penghargaan saya terhadap profesi wartawan dan jerih payah mereka. Dan ini resmi dan lumrah dalam sebuah konferensi pers.
Sekarang saya tanyakan STW, apakah saya mafia atau pakai cara mafia ketika menolong banyak orang selama ini tanpa perlu gembar-gembor? Saya tidak perlu menyampaikan sudah berapa ratus juta yang saya sumbangkan untuk pembangunan gereja, taman bacaan dan lain-lain.
Bantuan pribadi saya kepada banyak orang cukuplah Tuhan, saya dan penerima bantuan yang tahu.
Membongkar Framing Jahat STW
Saya amati dan teliti dari tulisan-tulisan STW, dia sengaja menggunakan teknik repetisi (pengulangan) untuk meyakinkan asumsi, tuduhan, dan fitnahannya. Ia menyebut “Mafia Waduk Lambo” tetapi sampai sekarang STW tidak mampu membuktikan pola, kejahatan, intervensi, dan lain-lain. Dengan berulang-ulang, STW pun “memaksakan” tuduhan kaitan antara antara GM dan AKP Serfolus Tegu, meskipun tidak didukung investigasi lapangan yang presisi dan akurat.
Teknik repetisi (pengulangan) dalam tulisan opini STY adalah taktik retoris untuk memperkuat argumen, dan memastikan pesan penulis melekat kuat dalam pikiran pembaca. Tujuannya bukan sekadar mengisi ruang, tetapi untuk menciptakan dampak psikologis dan persuasif. STW sengaja menyebut berulang-ulang agar pembaca menganggap mafia itu ada, dan GM terlibat dalam mafia. Belakangan, dalam tulisan terakhir, STW pun menuduh saya terlibat dalam mafia.
STW, Anda mesti tahu bahwa saya tidak pernah menginjakkan kaki di waduk Lambo karena saya rasa tidak perlu. Saya menunggu saja dia jadi dan bisa dimanfaatkan. Saya hanya membantu meredam penolakan warga pada awalnya.
Bukankah Anda pernah meminta bantuan kepada saya? Maaf, Anda keji sekali menilai orang yang berbuat baik kepada Anda.
Secepat itukah kerja “wartawan senior” menyimpulkan sesuatu yang tidak jelas dan tanpa bukti?
Karena STW menggunakan teknik ini, maka saya juga menggunakan teknik yang sama: mengulangi penjelasan saya dalam konferensi pers tersebut.
Keterlibatan Pak GM dalam urusan Waduk Lambo hanya dalam upaya meredam penolakan warga (yang gagal dilakukan pemerintah daerah saat itu).
Saat tahun 2016 sebagai Staf Khusus Presiden, Pak GM melihat bahwa dari pembangunan 7 Waduk di NTT, hanya ada penolakan oleh warganya terjadi di Lambo, Kabupaten Nagekeo.
Setelah terjadi penolakan kuat oleh sebagian warga Lambo, sampai membakar alat berat pemerintah serta adanya demo penolakan ibu-ibu warga Lambo yang bertelanjang dada di depan aparat keamanan, Pak GM bersama Jenderal Jacki Uly turun ke lokasi yang sudah tidak mau menerima Bupati/Pemda dan Polres Ngada, menemui para warga penolak dibangunnya waduk Lambo.
Akhirnya dalam tatap muka dengan warga Lambo penolak pembangunan waduk Lambo, ditemukan kesimpulan bahwa warga setempat belum mendapat sosialisasi tentang manfaat pembangunan bendungan dan apa saja yang terdampak dari pembangunan tersebut.
Setelah itu berulang kali sampai 30-an kali sejak tahun 2017 Pak GM turun ke lokasi Lambo mengajak berbagai pihak untuk melakukan sosialisasi menemui warga di lokasi Lambo, bahkan sampai mengajak perwakilan warga Lambo (yang menolak pembangunan waduk Lambo) ke Jawa meninjau bagaimana pembangunan bendungan Jatiluhur dan bendungan Jatigede di Jawa Barat. Juga diajak bertatap muka dengan Menteri PUPR dan memperoleh penjelasan langsung dari Menteri tentang manfaat bendungan.
Saat itu wilayah waduk Lambo masih menjadi wilayah hukum Polres Ngada. Oleh karena itu kebetulan Kasat Intel Polres Ngada Iptu Serfolus Tegu adalah putera Nagekeo, Pak GM meminta agar Iptu Serfolus Tegu bersungguh sungguh untuk membantu dengan sepenuh hati mendampingi dan mengawal warga di kawasan waduk Lambo sampai terwujudnya pembangunan waduk tersebut. Apalagi ST adalah orang Nagekeo yang diyakini tahu adat Nagekeo dan cara mendekati warga setempat.
Jadi peran Pak GM hanya di situ. Tidak lebih! Justru STW “memaksakan diri” untuk menghubungkan segala sesuatu agar halusinasinya dipercayai publik.
Saya menolak pengaburan isu yang menghubungkan masalah/urusan personal AKP Serfolus Tegu dengan Pak GM. Urusan pribadi AKP Serfolus Tegu terkait Kafe Coklat dan lain-lain tidak ada hubungan dengan Pak GM. Pak GM malah tidak tahu adanya kafe itu. Itu hak ST untuk berbisnis, dan jika ada masalah tidak mesti dikait-kaitkan dengan Pak GM. Begitu juga dalam urusan pembangunan di waduk Lambo, jika ada masalah di sana itu urusan pemerintah atau otoritas terkait. Tidak perlu dan tidak mesti ditaut-tautkan dengan Pak GM.
Itu sebabnya, saya perlu bertanya, atas dasar apa STW menuding Pak GM sebagai "orang kuat di Jakarta" yang jadi backing (beking) "mafia Waduk Lambo"? Sekali lagi, dengan catatan tegas: STW harus mampu menujukkan evidensi kuat tentang mafia yang dituduhkan itu.
Kepada saya, Pak GM menegaskan dirinya tidak tahu apa itu "mafia waduk Lambo" dan sama sekali tidak ada kaitan dengan apapun itu. Dalam chat WA beliau kepada saya, Pak GM menulis, "Lens, saya tidak tahu apa itu mafia waduk Lambo dan tidak ikut-ikutan dengan itu."
STW Tidak Layak (untuk) Dipercaya
STW menuduh orang lain mafia tanpa dasar dan bukti yang teruji di ranah hukum, tapi cara kerja atau modus operandi serta dalang dan para informan STW justru menunjukkan mereka adalah mafia.
STW adalah orang luar yang tidak memahami dinamika lokal Nagekeo secara utuh. Sekarang ia tinggal di Lembata, namun menulis tentang Nagekeo tanpa investigasi langsung di lapangan.
Saya simpulkan, STW menulis berdasarkan masukan dari orang di Nagekeo dan/atau orang Nagekeo tertentu di diaspora yang apapun motifnya memiliki kekecewaan, bahkan mungkin frustrasi politik. STW hanya dijadikan corong yang bersuara kencang demi kepentingan tertentu.
Saya minta STW dan kalian berhenti untuk menghancurkan kredibiltas orang-orang yang punya hati untuk Nagekeo, membangun propaganda dan fitnah agar masyarakat hidup dalam keresahan, serta menghancurkan energi gotong royong seluruh kalangan untuk membangun Nagekeo. Masyarakat tidak percaya akan provokasi dan tuduhan kalian.
Kita tidak antikritik. Tapi bukan berarti kita diam terhadap provokasi dan fitnah. Mendiamkan sebuah kejahatan berarti menyetujuinya. Karena itu, saya meminta masyarakat untuk tidak terpengaruh fitnah, tuduhan, dan pembunuhan karakter GM. STW tidak layak dipercaya.
Mari kita menyatukan fokus dan energi untuk bekerja keras demi kemajuan dan kesejahteraan Nagekeo. Ini cita-cita bersama, butuh kerja sama, bukan aksi kontraproduktif yang memecah-belah. Nagekeo harus dibangun, ditata, dan dimakmurkan.
Saya tidak akan merespons lagi tulisan-tulisan STW. Selain masih banyak urusan/pekerjaan yang harus dilakoni, saya tidak ingin terlalu jauh berpolemik lagi.
Tugas saya selesai: membersihkan nama Pak GM.
Jika ada dugaan pelanggaran hukum terkait urusan waduk Lambo, silakan bawa ke ranah hukum. Jika ragukan Polres Nagekeo, masih ada Polda NTT dan Mabes Polri.
Salam Damai Natal 25 Desember 2025. ***
------------
*Penulis adalah Pendiri & Direktur Utama PT Veritas Dharma Satya (VDS Group)
*Staf Khusus Komjen Pol (Purn) Gories Mere (2001 hingga kini)
*Staf Khusus Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri (1998 hingga kini)
*Mantan Staf Khusus Kepala BIN Letjen TNI Arie Kumaat
*Mantan Staf Duta Besar RI Urusan Masalah Timor Timur FX Lopes da Cruz
Komentar