HUMANIORA Sosiolog: Bencana di Aceh, Sumut, dan Sumbar Turut Runtuhkan Sistem Sosial Desa 09 Dec 2025 20:24
Bencana bukan hanya soal hari ini, tetapi juga tentang bagaimana kita membangun kembali ketahanan sosial desa untuk masa depan.
BOGOR, IndonesiaSatu.co - Pakar Sosiologi Pedesaan IPB University, Dr Ivanovich Agusta memaparkan dampak sosial pascabencana yang kerap luput dari perhatian publik.
“Bencana bukan hanya merusak fisik rumah, tetapi juga merusak sistem sosial yang menjaga kerekatan dan identitas desa,” ujarnya saat menyorot bencana banjir dan tanah longsor yang melanda sejumlah wilayah di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Pascabencana, masyarakat desa mengalami disrupsi mendadak dalam struktur sosial dan relasi antarwarga. Salah satu dampak nyata adalah dislokasi sosial, yakni hilangnya ruang-ruang komunal seperti balai desa, musala, pasar, hingga jalan yang selama ini menjadi pusat interaksi masyarakat.
“Ketika ruang-ruang itu hilang, ritme kehidupan desa terputus. Interaksi melemah, komunikasi terganggu, dan solidaritas sosial ikut teruji,” jelasnya melalui siaran pers di Jakarta.
Selain kerusakan fisik, bencana juga memicu tekanan psikososial berupa rasa takut, trauma, dan ketidakpastian masa depan. Kondisi ini berdampak pada menurunnya semangat kerja dan partisipasi warga dalam kehidupan sosial.
Tak hanya itu, pranata sosial desa ikut terganggu. Jadwal tanam petani, kegiatan kelompok tani, arisan, posyandu, hingga aktivitas keagamaan terhenti sementara akibat kerusakan wilayah dan keterbatasan akses.
“Terhentinya pranata sosial ini sangat melemahkan integrasi masyarakat desa. Padahal di situlah kekuatan sosial warga selama ini berada,” ungkapnya.
Menurut Dr Ivanovich, anak-anak, perempuan, lansia, dan petani menjadi kelompok yang paling rentan terdampak. Anak-anak rentan kehilangan rasa aman sekaligus akses terhadap pendidikan. Perempuan kerap memikul beban ganda, mulai dari mengurus kebutuhan keluarga hingga memastikan keselamatan anak dan lansia dalam kondisi sumber daya yang sangat terbatas. Sementara lansia menghadapi keterbatasan mobilitas, penyakit bawaan, serta ketergantungan pada keluarga.
“Petani menanggung dampak terberat dalam jangka panjang akibat lahan rusak, irigasi hancur, ternak hilang, serta berhentinya siklus produksi. Kerentanan petani ini bersifat ekologis sekaligus sosial-ekonomi,” tutur dia.
Rentan Konflik Sosial
Di wilayah terdampak bencana, Dr Ivanovich juga menyebut potensi munculnya konflik sosial dan kecemburuan dalam distribusi bantuan. Kondisi ini dipicu oleh ketidakjelasan data korban, minimnya transparansi penyaluran bantuan, serta bantuan yang belum merata dan tidak selalu sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
“Dalam situasi bencana, kelelahan psikologis membuat masyarakat lebih sensitif. Ketimpangan kecil saja bisa memicu kecemburuan sosial,” jelasnya.
Ia juga menyoroti bahwa keterlibatan pemimpin lokal terkadang dipersepsikan negatif apabila dianggap memprioritaskan kelompok atau kerabat tertentu.
Dr Ivanovich menuturkan bahwa bencana bisa menjadi momen tumbuhnya solidaritas, tetapi juga dapat melemahkan kohesi sosial jika pemulihan tidak dikelola dengan baik.
“Gotong royong biasanya sangat kuat di fase awal bencana, ketika warga saling menyelamatkan dan membantu. Namun dalam jangka menengah, kelelahan kolektif dan ketidakpastian pemulihan dapat melemahkan solidaritas,” katanya.
Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah juga sangat bergantung pada kecepatan, ketepatan, dan transparansi respons bencana.
“Jika bantuan cepat dan adil, kepercayaan menguat. Jika lambat dan tidak jelas, yang muncul justru frustrasi dan apatisme,” tambahnya.
Menurut Dr Ivanovich, pemulihan masyarakat pascabencana harus dilakukan secara menyeluruh melalui penguatan pemulihan psikososial, pengaktifan kembali pranata sosial, pendataan yang transparan dan partisipatif, pemulihan mata pencaharian warga, penguatan peran pemerintah desa, serta pembangunan sistem mitigasi dan kesiapsiagaan bencana berbasis komunitas.
“Bencana bukan hanya soal hari ini, tetapi juga tentang bagaimana kita membangun kembali ketahanan sosial desa untuk masa depan,” pungkasnya. *
--- F. Hardiman
Komentar