Breaking News

NASIONAL Nilai Fungsi TNI dalam Ran-Perpres Anomali, TPDI: DPR RI Seharusnya Menolak 10 Aug 2020 11:04

Article image
Koordinator TPDI, Petrus Selestinus dalam salah satu sesi audiensi dengan Panglima TNI. (Foto: Dokpri PS)
"Ini sebuah anomali dalam pembentukan UU Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme," nilai Petrus.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co-- Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) turut menyoroti Rancangan Peraturan Presiden (Ran-Perpres) tentang peran dan fungsi TNI dalam mengatasi terorisme.

Koordinator TPDI, Petrus Selestinus, menilai hal itu sebagai sevuah anomali sehingga DPR RI seharusnya menolak Ra-Perpres tersebut.

"Ini sebuah anomali dalam pembentukan UU Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. DPR RI seharusnya menolak agar tidak terjadi kerancuan dalam implementasi kewenangan UU dan TAP MPR VI/MPR/2000 Tentang Pemisahan TNI dan Polri dan TAP MPR VII/MPR/2000 Tentang Peran TNI dan Polri," kata Petrus dalam keterangan tertulis kepada media ini, Senin (10/8/20).

Ketua Tim Task Force Forum Advokat Pengawal Pancasila (FAPP)itu beralasan, TAP MPR VI/MPR/2000 Tentang Pemisahan TNI dan Polri dan TAP MPR VII/MPR/2000 Tentang Peran TNI dan Polri, secara tegas telah memisahkan peran TNI dan Polri, masing-masing dengan UU tersendiri, guna memenuhi agenda reformasi. Oleh karena itu, pengaturan peran TNI dalam pasal 43i  UU Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, merupakan sebuah anomali.

Menutnya, anomali yang paling serius dan masih berlanjut terjadi yakni pada saat ini, di mana Pemerintah justru menyiapkan Ran-Perpres Tentang Peran dan Fungsi TNI dalam mengatasi aksi Terorisme, sebagaimana saat ini sedang dalam proses disahkan menjadi Perpres oleh DPR sebagai turunan dari Pasal 43i UU Nomor 5 Tahun 2018.

Padahal, timpal dia, terorisme telah menjadi konsensus nasional sebagai suatu Tindak Pidana sebagaimana rumusannya telah diatur di dalam UU Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

"Lalu bagaimana jadinya jika TNI ditarik masuk ke dalam aksi Penegakan Hukum yang merupakan domain Polri dengan pijakan Hukum Acaranya adalah KUHAP, tentu tidak boleh dan tidak pada tempatnya TNI ditarik ke dalam ranah Polri," timpalnya.

Oleh karena itu, nilai Advokat Peradi ini, peran dan fungsi TNI dalam menanggulangi Aksi Terorisme yang mengancam kedaulatan negara dan merongrong kehormatan negara, pada bagian hulunya perlu diatur dengan UU tersendiri bukan dengan Perpres.

"Ini penting agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang berupa tindakan yang melampaui wewenang, mencampuradukan wewenang dan bertindak sewenang-wenang, yang menunjukkan supremasi TNI dalam tugas-tugas sipil," imbuhnya. 

Perpres Tidak Cukup Legitimate Power

Petrus berpandangan bahwa Perpres tidak cukup memberikan dasar legitimasi yang kuat, karena peran strategis TNI dalam menindak Aksi Terorisme pada bagian hulu, memerlukan dukungan publik yang luas di samping harus memenuhi aspek sosiologis, yuridis dan filosofis dalam suatu UU tersendiri.

Pasalnya, kewenangan tidak boleh dicampuradukan dengan peran strategis Polri dalam tugas proyustisia yaitu Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Meskipun Peraturan Presiden sebagai pelaksanaan dari ketentuan pasal 43i UU Nomot 5 Tahun 2018 Tentang Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, namun ketentuan ini tidak cukup kuat untuk memberi dasar legitimasi bagi pelaksanaan tugas TNI dalam mengatasi Aksi Terorisme pada bagian hulu, yaitu mengncam eksistensi negara, ideologi negara, kedaulatan NKRI dan kehormatan negara.

"TNI sebagai alat pertahanan negara mengemban tiga fungsi yaitu fungsi Penangkalan, Penindakan dan Pemulihan, yang dilakukan dengan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang. Peran Mengatasi Aksi Terorisme sebagai Operasi Militer selain perang, tidak bisa lain selain harus diatur dengan UU, karena cakupan tugasnya sangat berat dan luas menyangkut keselamatan NKRI," nilainya.

Karena itu, lanjutnya, sangat disayangkan jika peran strategis itu hanya diatur sebagai kebijakan dan keputusan politik negara yang bersifat temporer dan kasuistis, melalui sebuah Perpres untuk memikul beban tugas menegakkan kedaulatan Negara dalam rangka mempertahankan keutuhan wilayah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Kestria Presiden Jokowi Menarik Ran-Perpres

Sangat disayangkan jika kebijakan Politik Pemerintah yang ingin mengefektifkan fungsi TNI dalam bidang Penangkalan, Penindakan dan Pemulihan Aksi Terorisme pada bagian hulu, tetapi payung hukumnya hanya dengan tambal sulam melalui sebuah Perpres sebagai kebijakan dan keputusan politik negara guna memenuhi ketentuan pasal 43i Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018.

"Presiden Jokowi seharusnya secara ksatria menarik kembali Ran-Perpres Tentang Peran dan Fungsi TNI sebagai kebijakan Politik Negara, dan segera menggantinya dengan usul RUU Tentang Peran TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme. Dengan demikian, maka posisi TNI dalam melaksanakan peran dan fungsi mengatasi aksi Terorisme, tidak tumpang tindih dan tidak mengganggu kohesivitas kerja Polri, karena keduanya terpisah  secara organisatoris, operasional dan profesional sesuai dengan ruang lingkup tugas masing-masing," ujar Petrus.

Ia menadaskan bahwa hal ikhwal tentang tindakan hukum berupa Penangkalan, Penindakan dan Pemulihan Aksi Terorisme pada tataran tertentu mengancam kedaulatan dan kehormatan negara dan bangsa, menjadi tugas mulia TNI sebagai sebuah Organ Negara.

"Namun perlu diperinci batasan-batasan operasionalnya, syarat-syarat formil dan materil serta pelaksanaannya dengan UU tersendiri atau merevisi UU Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI, karena belum diatur secara komprehensif," pungkasnya.

--- Guche Montero

Komentar