Breaking News

REGIONAL Pastor Ronny: Reba Ngada Contoh Sukses dari Ketuhanan yang Berkebudayaan 08 Feb 2018 13:33

Article image
Pasbanmilpol dan Dosen Universitas Pertahanan Negara RD. Rofinus Neto Wuli, S.Fil., M.Si (Han) ketika berbicara dalam Seminar Nasional Budaya Ngada. (Foto: IndonesiaSatu.co)
Dalam konteks Pancasila, upacara Reba menjadi bagian dari upaya moral agama yang berkelindan dengan kebudayaan untuk menanamkan spirit nilai-nilai moral serta memiliki ketahanan iman dan sosial budaya di tengah realitas multikultural.

JAKARTA, IndonesiaSatu.coReba yang merupakan sebuah warisan budaya dari masyarakat Ngadha turun-temurun, juga menjadi bagian dari kekayaan kultural dari Indonesia yang multikultural. Reba merupakan ungkapan syukur atas penyelenggaraan Dewa Zeta Nitu Zale, yakni kepercayaan terhadap Wujud Tertinggi.

Hal ini disampaikan RD Rofinus Neto Wuli, S.Fil, M.Si (Han) ketika menjadi pembicara dalam Seminar Nasional yang digelar di Kolose Kanisius Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (7/2/2018).

Menurut Pastor yang kini berkarya di Keuskupan Umat Katolik TNI/Polri tersebut, Reba menjadi bagian dari ingatan sejarah pengenangan dan penghormatan terhadap terhadap para leluhur dan menghadirkan kembali kekayaan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

“Kandungan nilai dan petuah moral yang terkandung dalam Reba melampaui segala zaman, selalu sadar dan relevan dengan konteks, serta memiliki kontribusi aktual bagi perkembangan masyarakat,” tambahnya.

Dosen di Universitas Pertahanan Indonesia itu menjelaskan bahwa Reba dinilai memiliki kandungan Pata Dela (petuah leluhur) dan Lese Dhe Peda Pawe (pesan kebijaksanaan hidup) yang menembus lokalitas masyarakat Ngadha.

“Karena itu, nilai-nilai moral-etis Reba perlu di-glokalisasi, artinya diniversalisasi demi terciptanya perdamaian ataupun solidaritas dalam hidup bersama,” ungkapnya.

Indigenisasi Katolik di Flores

Menurut Pastor Ronny, pada mulanya Reba merupakan ritual kebudayaan masyarakat Ngadha: ritual syukur, permohonan, momen koreksi hidup, atau penyembahan dewa. Reba sebagai perayaan agama Katolik dan budaya justru gencar dilakukan setelah masuknya para misionaris Katolik.

“Namun, jasa besar para misionaris Societas Verbi Divini (SVD) yang pertama kali terlibat dalam indigenisasi Katolik dalam budaya Ngada sejak masuknya pada 1913.”

Menurutnya, agama Katolik mudah diterima saat itu karena para misionaris SVD tidak menolak sama sekali kebudayaan Ngadha, tetapi melakukan indigenisasi Katolik di Flores. Artinya, para misionaris bersama masyarakat Ngadha melakukan “pribumisasi Katolik di Ngadha”, para misionaris menjadikan agama Katolik sebagai salah satu ekspresi kebudayaan Ngadha.

“Para misionaris memperkenalkan agama Katolik dari konteks kebudayaan Ngadha, sehingga memeluk agama dialami sebagai ekspresi dari kebudayaan,” bebernya.

Ritual Reba yang kemudian dilakukan dalam perayaan Ekaristi menunjukkan adanya proses masuknya iman Katolik dan keterbukan keduanya untuk berdialog. Mayoritas masyarakat Ngadha yang beragama Katolik menunjukkan signifikansi dialog tersebut.

Reba dan Pancasila

Menurut pastor Ronny, dalam konteks Pancasila, upacara Reba menjadi bagian dari upaya moral agama yang berkelindan dengan kebudayaan untuk menanamkan spirit nilai-nilai moral serta memiliki ketahanan iman dan sosial budaya di tengah realitas multikultural.

Reba menunjukkan kenyataan bahwa agama dan kehidupan sosial menjadi satu kesatuan itu sangat penting bagi perdamaian. Reba yang didalamnya terdapat ritus inti Su’i Uwi (pemecahan ubi) menjadi narasi syukur yang menunjukkan adanya titik temu antara iman akan Yesus Kristus dan dengan penghayatan religiositas orang Ngadha.”

Selanjutnya, Ritus Reba menunjukkan pentingya Ketuhanan dalam praksis beragama di Indonesia, karena Tuhan menjadi pusat dan puncak dari perayaan kebudayaan. Dalam pandangan ini terungkap bahwa iman yang benar adalah iman yang terungkap dalam kehidupan sehari-hari.

“Nilai-nilai yang terkandung dalam Reba seperti mengakui kesalahan, memperbaiki diri, dan mengargai martabat orang lain sangat penting dalam hidup bermasyarakat dan bernegara.”

Pada bagian akhir dari makalahnya, Pastor Ronny berusaha mengaktualisasi atau Reba dalam hidup berbangsa dan bernegara.  Ia mencontohkan ritus Su’i Uwi terdapat beberapa pesan moral kepublikan yang penting bagi penguatan ketahanan budaya ataupun karakter warga Negara

“Seperti pesan kesetaraan dan keterbukaan, mencintai tanah air atau kebudayaan sendiri, atau larangan berbuat jahat, atau kekerasan kepada orang lain,” pungkasnya.

--- Redem Kono

Komentar