Breaking News

REGIONAL Pengelolaan Dana Desa Kobaleba Dinilai Tidak Transparan 18 Jul 2019 12:51

Article image
Salah satu pembangunan rabat jalan desa Kobaleba yang ditangani CV Karya Jaya masih mandek sejak ditangani tahun 2017. (Foto: Che)
Bahkan, diduga pihak supplyer juga berasal dari oknum polisi yang menawarkan jasa supplyer di beberapa desa di wilayah kecamatan Maukaro.

ENDE, IndonesiaSatu.co-- Pengelolaan Dana Desa, baik yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Alokasi Dana Desa (ADD), dinilai tidak menyentuh akar persoalan masyarakat di Desa Kobaleba, Kecamatan Maukaro, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Besarnya dana yang dianggarkan negara melalui APBN dengan jumlah yang terbilang fantastis, tidak berbanding lurus dengan realisasi di lapangan dan kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM) Kepala Desa, aparat Desa maupun fungsi kontrol dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD).

Akibatnya, anggaran ratusan juta bahkan miliaran Rupiah yang digelontorkan negara, pemanfatannya tidak maksimal karena cenderung tidak menjawabi akar persoalan, kondisi riil, kebutuhan pemberdayaan dan harapan masyarakat desa.

Hasil penelusuran dan investigasi IndonesiaSatu.co di Desa Kobaleba, Kecamatan Maukaro, Kabupaten Ende, ditemukan bahwa penggunaan Dana Desa di Kobaleba hanya berorientasi pada kegiatan infrastruktur. Itupun, hasilnya tidak maksimal dan tidak dipertanggungjawbkan secara transparan kepada masyarakat.

Ironisnya, beberapa item pembangunan seperti jalan tani, proyek air minum desa, pembangunan deker, dan tanggul penahan abrasi, hingga kini masih mangkrak tanpa pertanggungjawaban yang jelas.

Di sisi lain, persoalan krusial yang dialami masyarakat seperti kebutuhan akan air minum dan tanggul penahan abrasi yang terus melanda belasan rumah warga setiap musim hujan, hingga kini tanpa realisasi konkrit. Kebutuhan masyarakat akan air minum hanya bergantung pada dua buah sumur di desa, miris.

Selain itu, pengelolaan anggaran juga diniilai tidak sesuai regulasi, di mana Kepala Desa non-aktif, Agustinus Remi masih mengandalkan jasa kontraktor dan supplyer yang nyatanya di lapangan, hasilnya tidak signifikan. Bahkan, diduga pihak supplyer juga berasal dari oknum polisi yang menawarkan jasa supplyer di beberapa desa di wilayah kecamatan Maukaro.

Alhasil, beberapa pekerjaan dengan nilai puluhan bahkan ratusan juta bahkan tidak selesai meski realisasi (pencairan) anggaran sudah 100%. Kualitas dan kondisi pengerjaan juga bahkan ada yang sudah rusak, padahal usianya belum setahun.

Sementara melalui berbagai media, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Eko Putro Sandjojo selalu menegaskan, proyek dari dana desa wajib diakukan secara swakelola dan jangan lagi melibatkan kontraktor.

Di Desa Kobaleba, kebutuhan mendesak yang sering dikeluhkan masyarakat beberapa tahun terakhir yakni air minum dan tanggul penahan abrasi.

"Setiap musim hujan, kami sangat menderita akibat abrasi. Kami sudah bosan menyampaikan usulan setiap kali musrenbangdus namun tidak pernah ditanggapi, hanya janji setiap tahun. Padahal, ini bencana serius yang terus mengancam kami. Apalagi persoalan air minum, mungkin pemerintah desa tunggu ada masyarakat yang mati kehausan baru mereka buka mata," kata Fidelis, salah satu korban abrasi saat dikonfirmasi media ini, Rabu (10/7/19).

Program Fisik Mandek

Menurut keterangan Tim Pengelola Kegiatan (TPK) Desa Kobaleba, selama lima tahun pemerintahan Agus Remi, ada beberapa item pembangunan yang mandek, yakni proyek air minum desa tahun anggaran 2015 dengan besar anggaran sekitar 80-an juta Rupiah.

Selain itu, proyek rabat jalan tahun anggaran 2017 sepanjang 900 meter yang ditangani CV Karya Jaya melalui regulasi pelelangan (tender) dengan besar anggaran berkisar 350-an juta Rupiah. Hingga kini, realisasi fisik proyek rabat jalan tersebut masih mandek sekitar 200-an meter tanpa kejelasan kelanjutan penyelesaian sesuai Rencana Anggaran Belanja (RAB).

Masyarakat menduga, ketidakjelasan penyelesaian proyek rabat jalan tersebut karena pengalihan material proyek antara pengelola CV Karya Jaya, Michael Karo dengan Kepala Desa, Agus Remi yang juga menangani proyek jalan tani jalur Aemboe melalui regulasi swakelola desa.

"Masyarakat sendiri menyaksikan proyek yang selalu mentok di tengah jalan. Tidak ada pertanggungjawaban yang jelas. Padahal, anggaran proyek ratusan juta. Ini sangat disayangkan, sementara kebutuhan masyarakat yang sangat krusial justru diabaikan. Kami tidak merasakan dampak pembangunan di desa selama lima tahun. Banyak program yang keluar dari sasaran kebutuhan riil masyarakat di desa," komentar seorang tokoh muda, Bento Naga.

Selain pengelolaan anggaran desa yang belum menyentuh akar persoalan masyarakat, kinerja aparat desa dinilai tidak kredibel dan tidak sesuai dengan tugas pokok dan fungsi (tupoksi). Bahkan, absennya aktivitas aparat di kantor desa menuai aksi protes dari sejumlah kalangan muda desa yang sempat memasang plang di depan kantor desa bertuliskan: 'Aparat Desa, Ini kantormu'. Namun, hal itu tidak membawa perubahan berarti.

"Sejauh yang kami amati, setiap hari aktivitas di kantor desa hanya Sekretaris Desa (sekdes). Sementara, perangkat desa yang lain, termasuk lembaga desa (BPD) tidak pernah masuk kantor, kecuali ada agenda rapat atau pertemuan di kantor desa. Kinerja aparat desa tidak bedanya dengan masyarakat biasa," nilai Bento.

Tidak Transparan

Tingkat transparansi pengelolaan dana desa di Desa Kobaleba dinilai sangat rendah. Beberapa tokoh masyarakat mengakui, pengelolaan dana desa lebih banyak diatur sendiri oleh Kepala Desa dan staf, tanpa sosialisasi atau melibatkan masyarakat. Bahkan, Bendahara Desa tidak cukup berperan dalam mempertanggungjawabkan pengelolaan dana desa.

Karena itu, apa yang dikerjakan Kepala Desa bersama staf dan rekanan (pihak ketiga) tidak diketahui masyarakat termasuk mata angggaran dan jenis pekerjaan. Masyarakat hanya tahu setelah pengerjaan dimulai.

Beberapa tokoh masyarakat dan tokoh muda di desa menyayangkan besarnya dana desa belum berdampak pada peningkatan kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat.

Selain pemanfaatan Dana Desa yang belum tepat sasaran, pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) juga belum maksimal lantaran pengurus BUMDes desa Kobaleba belum dibentuk sejak bernaung dengan BUMDes Desa induk Nabe sebelum pemekaran wilayah Desa.

Dalam Laporan Pertanggungjawaban (LPj) akhir masa jabatan 2013-2018, BPD sebagai lembaga legislatif desa bahkan memberi catatan kritis terhadap LPj Kepala Desa Agus Remi khususnya terhadap beberapa item proyek yang belum diselesaikan.

Meski demikian, saat dikonfirmasi media ini, Selasa, (9/7/19), Penjabat sementara (Pjs) Desa Kobaleba, Pius Boy yang mendapat mandat Pjs berdasarkan rekomendasi lembaga BPD, mengatakan bahwa meski kewenangan Pjs yang diterimanya belum ditetapkan melalui Surat Ketetapan (SK) Pjs oleh Bupati Ende, namun Ia mengaku belum mendapatkan kewenangan Pjs sebagaimana seharusnya.

"Saya belum menerima laporan inventaris desa dari Kepala Desa non-aktif termasuk kendaraan (motor desa) guna mendukung urusan di desa. Praktis, selama ini saya bekerja sendiri karena belum mengantongi SK Pjs untuk mengangkat pelaksana tugas (plt) perangkat desa hingga Kepala Desa yang baru terpilih. Sementara SK Kepala Desa dan aparat desa yang lama sudah berakhir," kata Pius Boy.

Hal senada diutarakan Camat Maukaro, Ignasius Kapo yang menengaskan bahwa sesuai regulasi, jika sudah selesai masa jabatan maka kewenangan dialihkan kepada Pjs termasuk laporan dan penyerahan inventaris aset desa.

"Jangan sampai ada dugaan penyalahgunaan wewenang, atribut dan kelengkapan negara. Harus ikut regulasi sebagaimana sudah diatur secara jelas," kata Ignas.

--- Guche Montero

Komentar