Breaking News

POLITIK Pilkada Melalui DPRD, Hanya Perkuat Cengkeraman Oligarki untuk Membeli Kepemimpinan Daerah 31 Dec 2025 11:58

Article image
Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePi Indonesia) Jeirry Sumampow. (Foto: Ist)
Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePi Indonesia) Jeirry Sumampow mengatakan bahwa alasan menekan "ongkos politik" untuk mengembalikan Pilkada ke DPRD merupakan sebuah penyesatan logika publik.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co – Muncul wacana dari sejumlah elit partai politik yang ingin mengembalikan mekanisme Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) melalui DPRD. Wacana tersebut timbul untuk melakukan efisiensi anggaran dan menekan politik uang yang ditimbulkan oleh pemilihan langsung.

Salah satu parpol pendukung wacana itu adalah Partai Golongan Karya. Bahkan, Presiden Prabowo Subianto juga telah melontarkan kritikannya terkait mekanisme pemilihan kepala daerah yang sangat mahal.

Menyikapi hal tersebut, Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePi Indonesia) Jeirry Sumampow mengatakan bahwa alasan menekan "ongkos politik" untuk mengembalikan Pilkada ke DPRD merupakan sebuah penyesatan logika publik.

”Masalah ongkos politik mahal itu akarnya ada pada perilaku elit dan tata kelola partai politik sendiri, bukan pada sistem pemilihan langsungnya. Karena itu, mengubah sistem menjadi tidak langsung tak akan menghapus politik uang, melainkan hanya melakukan lokalisasi korupsi. Transaksi gelap yang tadinya menyasar massa, kini cukup dilakukan di ruang-ruang tertutup antar-elit fraksi dan elit partai. Ini jauh lebih berbahaya bagi integritas demokrasi,” ujarnya melalui pernyataan tertulis di Jakarta, Rabu (31/12).

Menurutnya, para elit yang menyuarakan kembali ke DPRD saat ini sebenarnya tidak punya posisi etik ("moral standing") untuk bicara soal politik uang. Pasalnya, selama ini mereka adalah pelaku sekaligus penikmat dari praktik politik uang dalam sistem Pilkada tersebut.

”Sangat ironis dan munafik ketika mereka menggunakan ’politik uang’ sebagai alasan untuk mencabut hak rakyat, padahal mereka sendiri yang melanggengkan praktik tersebut. Alasan ini otomatis batal secara etik; mereka yang menciptakan masalah, lalu rakyat yang dihukum dengan kehilangan hak suaranya,” ujarnya.

Menurut Jeirry, pilkada langsung adalah mandat reformasi untuk memutus rantai "praktek dagang sapi" yang dulu masif terjadi di DPRD. Karena itu, mengembalikan pemilihan ke DPRD adalah sebuah "setback" (kemunduran) luar biasa.

”Kita akan kembali ke era di mana kepala daerah hanya menjadi ’sandera’ atau petugas partai di daerah. Hubungan akuntabilitas kepada rakyat akan putus, digantikan oleh hubungan balas budi kepada pimpinan partai di tingkat pusat dan daerah,” sebutnya.

Karena itu, dia mengatakan agar para elit politik tidak menjadikan biaya politik sebagai alasan untuk merampas kedaulatan. ”Jika Pilkada dianggap mahal, solusinya adalah digitalisasi pemilu (e-voting/e-recap), reformasi pendanaan parpol, dan penegakan hukum yang galak terhadap pelaku politik uang. Jangan rakyat yang dikambinghitamkan. Rakyat sudah makin baik dengan hak pilih langsung sejak 2005, jangan lagi dipaksa kembali menjadi penonton dalam menentukan nasib daerahnya sendiri,” ucapnya.

Karena itu, Tepi Indonesia secara tegas menolak wacana tersebut. ”Pilkada melalui DPRD hanya akan memperkuat cengkeraman oligarki dan mempermudah para cukong untuk ’membeli’ kepemimpinan daerah dengan harga yang lebih ’murah’ di meja makan para petinggi partai. Kedaulatan rakyat tidak boleh dikalahkan oleh kalkulasi penghematan anggaran yang semu dan menyesatkan tersebut dari elit politik dan partai,” ujarnya. *

 

 

--- F. Hardiman

Komentar