Breaking News

RESENSI Prinsip Sederhana Terkait HGU: Itu Tanah Milik Negara 04 Apr 2025 17:41

Article image
Dr. Ign. Ignas Iryanto. (Foto: Ist)
Tentu semua itu harus melalui proses verifikasi dan validasi “Masyarakat Adat” oleh sebuah tim yang dibentuk negara.

Oleh: Ignas Iryanto*

 

Sudah lumayan lama tidak bertemu teman lama ini. Namanya cukup tenar di kalangan aktivis tanah air. Sempat dua kali dijebloskan ke dalam penjara oleh regim Soeharto ketika dulu ribut kasus Waduk Kedung Ombo.

Mereka satu kubu dengan Romo Mangunwijaya, yang saat itu menentang pembangunan bendungan Kedung Ombo karena menggusur lahan dan pemukiman rakyat.

Saya kenal dia karena dia pernah mengunjungi Berlin di masa-masa Gerakan Reformasi mulai bergulir. Semua aktivis dari tanah air, baik yang muda maupun yang tua, pasti mampir di kelompok kecil kami jika ke Berlin saat itu. Di sanalah kami pertama kali berkenalan.

Saat itu suasana pesta nikah di Jakarta. Yang menikah adalah putri dari seorang politisi senior partai besar di negeri ini, menikah dengan seorang putra Flores.

Saya hadir karena diminta bantuan oleh seorang kader partai tersebut agar menghadirkan suasana Lio/Flores di acara itu. Waktu itu, saya datangkan satu group gawi dari masyarakat diaspora Ende-Lio di Jakarta.

Dalam keriuhan acara pesta itu, ketika orang-orang berebutan ingin lihat dan merapat ke Presiden Joko Widodo yang saat itu masih sangat popular dan harapan akan Indonesia yang lebih baik tertumpu di dirinya atau ke tokoh tokoh nasional lain, hampir semua Menteri senior serta Gubernur DKI hadir saat itu. Mendekat ke para pejabat tinggi itu, sama sekali tidak menarik buat saya.

“Bung Iryanto...Bung Ir,” sayatiba-tiba  mendengar ada teriakan seseorang. Saya menengok dan melihat wajahnya.

“Lho, selama ini di mana? kok menghilang setelah ramai kasus berlin di tahun 1995-1996? Bung begitu saja menghilang.” Saya memang pernah terkait dengan suatu skandal politik saat itu, ketika untuk pertama kalinya wibawa seorang Presiden Soeharto diruntuhkan di negerinya Karl Marx itu.

“Ahh…biasalah Bung, bertahan hidup,” jawab saya singkat.

“Sekarang aktif di mana?” Tanya teman itu.

“Saya aktif di group B (menyebut nama satu group perusahaan)” kata saya.

“Lho, kok bisa-bisanya Bung bergabung ke group yang jahat itu?” kata teman itu.

Saya kaget dan berusaha menguasai diri dan dengan halus berkata: “Bung, ada apa kok bisa bilang begitu?

“Group itu tukang rampas tanah-tanah rakyat. Pokoknya jahat sekali mereka,” lanjut teman itu.

“Ini masih suasana pesta, Bung. Ini nomor handphone saya, kita kontakan setelah ini. Saya minta tolong diberitahu yang detail ya. Tentu saya perlu informasi yang lengkap, karena itu menjadi salah satu tugas saya di bagian eksternal korporasi,” kata saya.

“Ok Bung,” jawabnya.

Dua minggu kemudian, dia menyebut ada lahan milik rakyat yang diserobot oleh perusahaan tanpa ada ganti rugi apa pun.

Saya menanyakan, ada bukti-bukti hak milik serta bukti penyerobotan? Saya tahu, hal-hal tersebut dilarang keras dalam perusahaan yang sangat patuh pada hukum nasional.

Prinsip dalam perusahaan adalah:  compliance is a must even beyond compliance should be done if it is enabled to give positive impact for society and corporation  (taat pada hukum adalah keharusan bahkan jika perlu melakukan hal-hal yang melebih kewajiban yang diatur oleh hukum jika itu positif impaknya bagi masyarakat dan perusahaan). Pelanggaran seperti itu, apalagi ditambah dengan adanya fraud dari karyawan, bisa dihukum sangat berat hingga pemecatan.

Dua bulan berlalu, permintaan saya akan bukti-bukti itu tidak pernah dipenuhi. Saya pilir, dia tidak punya bukti apa pun. Jadi saya lupakan tuduhannya.

Sebulan kemudian, saya dipindah tugaskan ke wilayah lain,  namun mendadak bertemu lagi dengan dia di sebuah kota kecil yang menjadi pusat operasi korporasi tersebut.

Begitu bertemu, dengan pongah dia katakan: “Bung Ir, saya datang dengan tim besar dari kantor K (suatu lembaga negara terpandang)  untuk menyelidiki kejahatan korporasi tempat kamu kerja itu. Tim yang saya bawa ini akan menyelidiki program CSR kalian, juga kejahatan kalian merampok tanah rakyat,” kata teman itu.

Saya masih tenang, dan sambil tersenyum saya menjawabnya; “silahkan selidiki kalau soal CSR. Kalau soal kejahatan perampokan tanah rakyat, saya pernah minta data-data itu, kamu menghilang. Kesimpulan saya, kamu tidak punya data,” saya menjawabnya.

“Ohh itu, Bung tunggu ya, saya akan menelepon orang saya agar segera membawa data tersebut,” katanya.

Saya kemudian diperkenalkan dengan tim yang dia bawa, sekelompok ibu yang diklaim sebagai ahli CSR dan seorang perwira Polri Bintang satu yang disebut akan menyelidiki kejahatan perampokan tanah tersebut.

Saya memang pernah mendengar nama Perwira Polri tersebut dan kelihatannya orangnya asli. Sempat ngopi bareng dan ngobrol sepintas, menjelaskan prinsip CSR yang dijalankan kepada ib- ibu yang katanya ahli CSR tersebut. Karena kebetulan, itu adalah salah satu tugas utama saya di korporasi.

Sejam berlalu dan orang yang ditelepon untuk membawa data yang saya minta,  tidak pernah muncul.  Akhirnya saya pamit dan memberikan nomor kamar saya dan meminta jika datanya datang, tolong dititipkan ke resepsionist untuk diserahkan ke saya.

Saya mendapatkan setumpukan data pada malam hari. Selama 3 jam saya coba mencari esensi dari data-data tersebut dan menelusuri dasar klaim mereka atas bidang tanah dimaksud. Akhirnya saya tahu latar belakangnya.

Waktu itu, ada proses pengalihan Hak Guna Usaha (HGU) yang dikelola oleh perusahaan besar lainnya yang bergerak di sektor perkebunan kepada korporasi tempat saya bekerja yang akan menggunakannya untuk kepentingan lain.

Ada perubahan peruntukkan dari HGU yang dialihkan. Saya lngsung menelpon sahabat saya itu.

“Saya sudah terima data-data dari orang kamu. Sudah saya pelajari secara cepat. Saya punya satu pertanyaan: “lahan yang kalian klaim itu ada dalam wilayah HGU yang mau dialihkan atau tidak?”

Dengan cepat dia menjawab: “Iya, ada dalam HGU tersebut.”

“Lho, jika ada dalam HGU itu, kalian harus menggugat negara, karena HGU itu milik Negara, bukan milik perusahaan,” saya menjelaskan.

“Khan yang menggunakan korporasi, jadi kami menuntut korporasi mengganti rugi lahan yang digunakan korporasi. Wajar dong Bung,” kata dia.

“Pertama, memang wajar jika ada bukti kepemilikannya dari orang kalian. Namun pertanyaan kedua: mengapa orang kamu tidak menuntut korporasi sebelumnya yang mengelola HGU ini selama puluha tahun dan baru menuntut sekarang ketika mau dialihkan HGU nya?” saya menimpali.

“Lho, itu hak kami dong mau menuntut kapan?” kata dia.

Saya tahu itu jawaban yang tidak berdasar dan jauh dari rasionalitas seorang aktivis yang berpendidikan. Namun, saya masih merespon dengan sopan berdasarkan pemahaman saya atas status tanah HGU yang pernah saya pelajari dan juga diperkuat oleh pendapat beberapa teman ahli hukum:

“Bung, coba Bung pelajari yang benar. Setahu saya, jika lahan telah menjadi HGU, statusnya adalah tanah milik Negara. Klaim kepemilikan itu umumnya terjadi pada saat penerbitan HGU di awal sekali. Jika sudah diterbitkan, itu sudah sah menjadi milik negara. Dan itu sudah berlangsung puluhan tahun. Siapa pun yang masuk ke wilayah HGU itu merupakan penyerobotan aset Negara, bukan penyerobotan aset korporasi. Jadi lawannya adalah negara. Jika Bung mereka mau mengklaim lahan yang ada dalam wilayah HGU, silahkan gugat negara dan skema pembuktian Bung mereka harus merujuk pada data-data sebelum penerbitan HGU. Menurut saya, itu akan sangat sulit dilakukan. Korporasi akan taat pada hukum Negara; apa pun keputusan negara yang sah berdasar hukum Negara, korporasi pasti laksanakan,” saya coba menjelaskan kepada teman itu.

“Kecuali lahan yang Bung mereka klaim ada di luar HGU dan korporasi mengambilnya, itu baru urusannya langsung dengan korporasi. Itu pendapat saya Bung. Sorry, saya tidak bisa membantu dalam hal ini,” saya menambahkan sambil menutup telepon.

Sebulan kemudian, tiba tiba dia kembali mengirimkan pesan melalui Whattsapp, berbunyi: ”Bung Ir, lahan tersebut ada di luar wilayah HGU yang dialihkan. Jadi kami tetap akan menuntut korporasi membayar ganti rugi.”

Saya yakin, ini fakta karangan yang mengada-ada, namun saya tetap melayaninya dengan sabar.

“Ok Bung. Jika yakin, tolong kirimkan koordinat lahan tersebut ke saya. Nanti saya minta tim land clearing kami untuk mengecek,” kata saya.

Saya memang meminta pendapat teman-teman dari divisi legal dan divisi land clearing (pembersihan lahan) sekaligus juga belajar hal-hal yang tidak saya pahami.

“Ok Bung, nanti saya kirimkan,” kata dia.

“Ok, saya tunggu ya. Sebaiknya cepat ya Bung. Sebulan lagi BPN akan mengeluarkan HGU baru, pengalihan dari HGU lama ke korporasi. Setelah kami menerima HGU baru, status HGU kami sudah sah dan korporasi akan melakukan land clearing,” saya menerangkan.

“Saya usahakan cepat, Bung. Namun, tolong ditahan proses land clearing itu,” balasnya.

Saya lalu menjawabnya: “Bung, yang bisa menahan land clearing itu negara sebagai pemilik lahan. Bukan siapa-siapa. Apalagi saya yang hanya petugas bidang eksternal ini. Land clearing itu proses pembersihan lahan yang sudah sah menjadi lahan pengelolaan korporasi dengan HGU yang dimiliki. Itu bukan penggusuran sepihak. Itu Langkah pembersihan oleh korporasi yang justru harus dilindungi negara selama korporasi melakukannya dalam konteks pemanfaatan HGU sesuai peruntukkannya. Jadi cepatlah, jika lahan itu di luar wilayah HGU, jelas korporasi tidak bisa melakukan pembersihan lahan. Lahan itu akan memiliki status belum clean and clear. Lahan-lahan dalam wilayah HGU yang dialihkan, jelas sudah punya status clean and clear berdasarkan HGU baru yang dimiliki. Sah jika korporasi yang melakukan pembersihan lahannya.”

Sampai hari ini, koordinat lahan yang saya minta tidak pernah dikirim. Jelas mereka tidak punya dan jelas lahan yang diklaim ada dalam wilayah HGU, sehingga tuntutan mereka tidak memiliki dasar hukum apa pun. Kini lahan tersebut sudah dimanfaatkan oleh korporasi sesuai peruntukkannya.

Sharing ini saya persingkat sebenarnya. Ada fase-fase di mana saya diancam karena jaringan sahabat saya ini sangat luas hingga ke petinggi-petinggi puncak negeri ini, saat itu.

Bahkan ancaman dia juga diarahkan ke pimpinan tertinggi korporasi, tempat saya bekerja. Namun, saya dan atasan saya yang saya laporkan, tidak peduli dan ujungnya memang dia dan gangnya tidak bisa melakukan apa pun, karena korporasi kami taat pada hukum.

Ketika terkenang pada pengalaman ini, saya teringat pada kasus konflik HGU di Nangahale-Patiahu.

Logika yang sama bisa saja diterapkan, sehingga misalnya peristiwa bulan Januari itu adalah proses land clearing atau pembersihan lahan oleh korporasi yang telah memiliki HGU dengan pengawalan negara sebagai pemilik lahan dan bukan merupakan sebuah proses penggusuran atau proses ekesekusi yang menjadi hak dan wewenang negara. Variable yang berbeda hanya bahwa ada klaim tanah adat dari suatu masyarakat adat di Nangahale.

Aspek kemanusiaan telah sangat diperhatikan oleh pihak Gereja, dilihat dari kesediaan pihak Gereja yang merelakan lahan seluas 783 Hektare yang diserahkan ke Swapraja Sikka di tahun 1956 untuk dibagikan kepada masyarakat yang membutuhkannya.

Kemudian saat ini, Gereja lewat PT Krisrama bersedia menyerahkan lagi lahan seluas 500 Hektare untuk diredistribusikan kepada masyarakat.

Opini yang mengatakan bahwa Gereja telah melanggar HAM dan hukum cinta kasih adalah opini murahan tanpa dasar.

Jika merujuk pada Sejarah yang lengkap dari pengelolaan lahan tersebut, maka klaim tanah adat harus dikembalikan pada fase sebelum tahun 1912, sebelum lahan tersebut dikelola oleh Perusahaan Belanda.

Pihak yang mengklaim harus membuktikan adanya “Masyarakat Adat” waktu itu yang menguasai tanah adat di situ. Juga harus dibuktikan adanya perampasannya; di mana ada catatan konflik tersebut antara perusahaan Belanda dan “Masyarakat Adat” yang konon ada pada saat itu.

Jika yang pertama bisa dibuktikan, maka pembuktian kedua adala: apakah orang-orang yang sekarang mengklaim itu adalah turunan lurus yang menjadi ahli waris dari pemangku adat sebelum tahun 1912 tersebut.

Klaim tanah adat pun seharusnya juga muncul saat Gereja menyerahkan lahan 783 Hektare kepada Swapradja Sikka, 2 tahun sebelum Kabupaten Sikka dibentuk. Saat itu Swapradja Sikka dipimpin oleh almarhum Bapak Radja Thomas da Silva, yang jelas mengetahui seluruh “Masyarakat Adat” di wilayahnya.

Bahkan Ketika HGU diterbitkan oleh negara mengacu pada UU Pokok Agraria tahun 1979, juga tidak muncul “Masyarakat Adat” yang melakukan klaim tersebut. Kini, klaim yang ada pun hanya merupakan klaim sepihak dengan dasar argumen hanya berputar pada persoalan HAM semata. Bahkan tidak jelas argumen dan bukti-bukti yang menuju pada adanya “Masyarakat Adat” di wilayah tersebut.

Tentu semua itu harus melalui  proses verifikasi dan validasi “Masyarakat Adat” oleh sebuah tim yang dibentuk negara. Tanpa proses itu, maka “Masyarakat Adat” yang diklam adalah dongeng dan khayalan semata. Jika ada proses-proses yang pernah terjadi, pasti melibatakan para pejabat dan mantan pejabat di Kabupaten Sikka serta komponen lainnya yang terlibat dalam fase-fase sebelumnya. Suara mereka sebaiknya lebih tegas disampaikan ke publik; apakah benar pernah ada proses verifikasi dan validasi “Masyarakat Adat” yang diklaim itu dan bagaimana hasil dari proses itu.

Sepertinya, klaim “Masyarakat Adat” yang menguasai lahan Nangahale sebagai tanah adat mereka, agak mirip dengan dongeng dan khayalan sahabat saya soal lahan yang diserobot oleh korporasi. Dua-duanya tidak pernah bisa dibuktikan.

 

* Penulis adalah Pengamat Sosial Politik Diaspora Flobamora.

Komentar