Breaking News

INSPIRASI Ratna Ningsih Syahnakri Bersaksi: Rukun Meski Beda Keyakinan 24 Nov 2016 09:46

Article image
Ratna Ningsih Syahnakri bersama suami Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri, anak-anak dan menantu. (Foto: Ist)
Sikap menghargai perbedaan dibangun dari ketulusan budi, kejernihan batin, dan keterbukaan hati.

Oleh Simon Leya

 

MEMBANGUN keluarga bahagia dan mempertahankan keutuhan mahligai perkawinan dalam perbedaan keyakinan (agama) bukanlah perkara mudah. Pasangan suami-istri mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad) Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri yang asli Karawang, Jawa Barat, dan Ratna Ningsih Syahnakri yang berayahkan orang Solo-Jateng dan ibu asal Rote-NTT adalah satu dari sedikit contoh bagaimana keluarga menjadi miniatur kekayaan nilai positif di tengah keragaman. Pada usia perkawinan mereka mendekati 40 tahun, Kiki dan Ratna tetap memegang prinsip bahwa keluarga adalah sekolah menghargai perbedaan.

“Perbedaan justru semakin mengeratkan kami dalam cinta dan perjumpaan setiap hari yang menyejukkan,” kata Ratna dalam obrolan dengan IndonesiaSatu.co di Jakarta, akhir pekan lalu.

Ratna tak henti memanjatkan syukur kepada Tuhan karena telah diberikan suami atau papa yang terbaik buat keluarga. Perbedaan agama justru menjadi energi positif dalam membangun rumah tangga. Di tengah perbedaan, anak-anak hadir sebagai perekat cinta.

“Kami bersatu karena kami berbeda. Kami boleh berbeda agama tetapi kami mempunyai satu Tuhan Yang Penuh Kasih. Kami adalah keluarga bahagia yang tidak mempersoalkan perbedaan keyakinan tapi sebaliknya saling mendukung dan melengkapi dalam cinta.”

Sikap menghargai perbedaan dibangun dari ketulusan budi, kejernihan batin, dan keterbukaan.

“Kedewasaan dimulai ketika kita merasa benar tanpa perlu membuktikan orang lain salah. Tuhan telah menyadarkan kami sekeluarga tentang arti kedamaian. Tuhan menciptakan kasih supaya kita disatukan dalam keanekaan dalam suasana damai. Damai yang indah dimulai dari keluarga,” jelas Ratna.

Menurut Ratna, resep hidup bahagia dalam perbedaan keyakinan dimulai dari hal-hal kecil. Diceritakannya, sejak awal membangun rumah tangga, ketika Ratna yang Kristen hendak ke gereja, Kiki yang Muslim mengantarnya ke gereja. Dan Kiki tahu jam berapa harus menjemput sang istri kembali.

“Dari hal-hal kecil itu saya rasa ini orang ada perhatian banget, ya,” demikian Ratna bersaksi tentang suaminya.

Keduanya selalu saling mengingatkan dalam hal menjalankan kewajiban agama masing-masing.

“Eh, ini kan mau salat Jumat?” Atau, “Kamu hari ini gak ke gereja?”

Diceritakan Ratna, bila ada hajatan di rumah, seperti syukuran, dirinya yang selalu bertanya tentang doa yang sesuai dengan keyakinan suami.

“Oke, pertama pakai keyakinan aku, terus lanjut dengan kebaktian," jawab Kiki.

Di mata Ratna, Kiki bukanlah pria yang egois dan mau menang sendiri. Saling menghargai tercermin pada setiap Hari Raya Natal dan Idul Fitri. Pada Hari Natal, rumah dipenuhi keluarga besar Kiki. Sedangkan pada Hari Raya Idul Fitri, giliran keluarga Ratna yang datang.

Saling Menghargai

Sebagai bukti baktinya kepada sang suami, Ratna sangat memberikan perhatian istimewa pada satu hal ini. Ratna tidak pernah meninggalkan rumah walau hanya untuk sehari sekalipun pada saat Kiki sedangkan menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Kalau pun terpaksa keluar, pukul 15.00 Ratna sudah harus kembali ke rumah.

“Aku tidak pernah menganggap sepele itu. Jadi waktu dia puasa, segala sesuatu saya perhatikan, mulai dari hal kecil,” Ratna berkisah.

Ratna tidak pernah menyerahkan urusan menyiapkan keperluan sahur dan berbuka kepada pembantu. Pernah sekali waktu, dalam kondisi fisik yang terlampau lelah dan ngantuk, Ratna tertidur pada saat sedang memasak soto buat sahur. Ratna dibangunkan  oleh suara alarm. Soto hangus, ruang penuh asap. Beruntung tabung gas juga ikut ludes. Ratna tidak mau sampai suaminya kecewa.

“Sampai setua ini, itu yang sangat saya perhatikan. Jadi kita betul-betul saling menghargai," tutur Ratna yang tetap tampak cantik dan energik pada usia 62 tahun.

Ketika ditanya apa yang membuat Jenderal Kiki begitu toleran dan tidak memaksakan keyakinannya kepada istri atau semua anaknya, Ratna mengisahkan bahwa sang suami dibesarkan dalam keluarga yang sangat moderat. Ayahanda dari Jenderal Kiki, mendiang Mohammad Sidik Djayasoebrata, adalah sosok pemeluk Islam yang taat dan toleran.

Sikap toleran itu ditunjukkan ketika beliau mau menampung Gustaf Hendrik Mantik, perwira muda beragama Kristen asal Minahasa (Sulawesi Utara) di rumahnya ketika Kiki masih berumur empat tahun. Saat itu Mantik bertugas di Batalyon Lintas Udara (Yon Linud) 305/Tengkorak, Karawang, yang belakangan menjadi pasukan Raider.

Sepeninggal berpulangnya sang ayah ke rahmatullah, Kiki menjadi anak angkat Pak Mantik yang memiliki karir militer cemerlang. Pak Mantik pensiun dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal. Lepas dari dunia militer, Jenderal Mantik diangkat menjadi Gubernur Sulawesi Utara selama 7 tahun sejak 1978. Jenderal Mantik pernah menjadi Asisten II Kodam V/Jaya, Pangdam IX/Mulawarman, Pangdam V/Jaya, dan Pangkowilhan I.

“Kalau orang lain mungkin belum tentu mau tampung orang Kristen ke rumah dia. Tapi beliau sudah menunjukkan toleransi yang tinggi. Pak Mantik sudah dianggap anak oleh orang tua Pak Kiki. Ketika orang tua Pak Kiki meninggal, Pak Kiki dianggap sebagai anak oleh Pak Mantik. Jadi dia itu sudah terbiasa dengan toleransi, misalnya mengantar adik-adiknya ke gereja,” jelas Ratna.

Keterbukaan, kekuatan batin, dan semangat toleransi Kiki yang tinggi ditempa di medan bakti sebagai prajurit. Pada saat pertama bertugas, Kiki ditempatkan di Pulau Sumba yang mayoritas Kristen. Sikapnya yang toleran dan terbuka membuat Kiki bisa dengan mudah diterima di mana-mana. Selama bertugas di Timor Timur, Kiki sangat dekat dengan para rohaniwan, terutama Uskup Belo.

Ratna setia dan memberikan dukungan penuh bagi suaminya dalam setiap penugasan termasuk ketika mendapat panggilan negara untuk bertugas di daerah operasi Timor Timur (Timtim) saat Timtim (sekarang Republik Timor Leste) masih menjadi bagian dari NKRI. Kiki Syahnakri terlibat dalam operasi di Timtim selama 12 tahun akumulatif. Dimulai dari ketika sebagai Danramil di perbatasan Atambua, Kiki menyiapkan basis bagi pasukan khusus TNI untuk berpenetrasi ke wilayah Timor Portugis (nama Timtim sebelum integrasi dengan Indonesia).

Sebagai istri, Ratna selalu mendampingi suaminya yang pernah menduduki berbagai posisi penting di TNI AD, khususnya dalam operasi tempur dan operasi teritorial. Kiki antara lain pernah menjabat Wadan Yon 744 (organik Kodam Udayana), Dan Yon 514 (Kostrad), Dan Brigif 6 (Kostrad), Danrem Wira Dharma/Dili, Dan Mentar Akmil, Wadan Pussenif AD, Asisten Operasi (Asops) KSAD, Panglima Penguasa Darurat Militer Timtim (pasca referendum 1999), Pangdam IX/Udayana (membawahi teritorial Bali dan Nusa Tenggara), lalu terakhir menjadi Wakasad.

Menjalani hari-hari pensiunnya, Kiki tetap mengabdi bangsanya dengan terus aktif menulis di media massa terutama Kompas, menulis tiga buku (Penerbit Buku Kompas), menjadi salah satu pendiri dan kini Ketua Umum Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD). Kiki juga dipercayakan sebagai Komisaris Utama Bank Artha Graha Internasional, Tbk.

Kiat Mempertahankan Perkawinan

Pasangan Kiki-Ratna dianugerahi tiga anak: Edward Siddharta Jayasubrata, Yashinta Tresnaningsih (yang dipersunting Letkol Arm Toar Pioh) dan Norman Jayasubrata.

Ketika ditanya apa kiat mempertahankan perkawinan hingga usia tua dan tetap menjaga kehangatan cinta hingga usia perkawinan menjelang 40 tahun, Ratna mengatakan, kuncinya jangan sampai ada pihak ketiga, terutama keluarga yang ikut campur tangan masalah keluarga.

“Jangan sampai terlintas dalam pikiran, ‘Ah, dia hanya perhatikan keluarga dia, sementara keluarga saya tidak’. Jangan sampai timbul konflik dalam keluarga akibat adu domba pihak luar," Ratna berbagi.

Belajar dari awal pernikahan yang serba susah, terutama penolakan dari masing-masing keluarga sehubungan dengan perbedaan keyakinan, pasangan Kiki dan Ratna berkomitmen untuk mempertahankan rumah tangga hingga akhir hayat.

“Dia paling pintar, biar mukanya serem tapi paling pintar ambil hati. Misalnya, ketika saya lagi mutung, dia bilang, ‘Aduh, dulu itu, waktu pacaran rasanya susah banget’. Akhirnya aku luluh.”

“Kita sudah komitmen untuk seperti orang pacaran terus sampai tua. Saya punya kekurangan, dia juga. Kita saling melengkapi. Kelebihan dia menutupi kekurangan saya. Saya punya kelebihan menutupi kekurangan dia,” tambah Ratna.

Kenangan Indah

Ratna punya kenangan terindah dan paling pahit dalam hidup bersama Jenderal Kiki. Hal paling indah yang masih terus diingat Ratna adalah pada saat melahirkan anak ketiga karena ditunggu sang suami, momentum istimewa yang tidak dialaminya ketika melahirkan anak pertama dan kedua. Sebelumnya sang suami sudah berjanji untuk berusaha mendampinginya pada kelahiran putra bungsunya.

”Wah, itu rasanya paling indah. Coba tanya ke ibu-ibu bagaimana rasanya ditungguin suami pada saat melahirkan. Karena pada saat itu seorang ibu berada pada situasi antara hidup dan mati, kan? Dan kalau ditunggu sama suami, itu sesuatu yang tidak bisa kita ungkapkan dengan kata-kata. Kita merasa lebih kuat. Segala sakit pada saat melahirkan kita lupa. Kita seperti mendapat tambahan energi positif.”

Hal paling pahit yang Ratna alami ketika kembali ke Solo, pada Hari Lebaran, sementara pembantu sudah kembali ke kampung halamannya. Begitu masuk rumah, Ratna melihat bekas muntah sepanjang jalan. Alangkah kagetnya, ketika masuk rumah Ratna melihat putra sulungnya, Edo sedang berbaring lemas di tempat tidur karena sakit. Badannya sedang panas tinggi. Edo yang kala itu masih duduk di bangku SMA mengompres sendiri kepalanya.

“Sedih banget, percuma kita orang tua cari uang, mendukung karir suami kalau sampai anak ini ada apa-apa. Ini momen paling sedih yang saya rasakan,” kisahnya dengan mata berkaca-kaca.

Sebagai istri prajurit yang sering ditinggalkan suami dalam tugas di medan perang,  Ratna sebenarnya ingin agar suami menghentikan atau minimal mengurangi kegiatannya di luar rumah. Tapi dalam kenyataan Jenderal Kiki masih terus beraktivitas layaknya orang yang belum memasuki masa pensiun. Namun Ratna selalu diberi peneguhan oleh para sesepuh. Mantan Wakil Presiden Try Sutrisno, misalnya pernah mengatakan, “Kamu tidak boleh larang suamimu untuk aktif ya...”  

“Kalau mau jujur, sudahlah dia sudah aktif di tentara sekian puluh tahun, kalau sudah pensiun kegiatan jangan terlalu banyak.”

Di lain pihak, Ratna memakluminya, karena mungkin dengan tetap aktif akan membuat Kiki tetap bersemangat menjalankan hidup dan kelihatan tetap bugar.

“Sebagai istri, siapa sih yang tidak senang suami sehat. Kalau memang dengan seperti itu dia makin sehat, ya apa salahnya.”

Hal berkesan lain, Jenderal Kiki selalu berpesan agar saling mendoakan ketika suami dan ayah sedang bertugas. “Anak-anak juga berdoa untuk bapaknya. Apalagi Norman (putra bungsu, Red.), kalau lihat bapaknya ada masalah, dia sampai tahajud, lihatnya sampai terharu. Begitu pula kalau dia lihat mamanya lagi ada masalah atau sakit.”

Selain terhadap keluarga, Ratna memberikan perhatian yang besar kepada para istri prajurit, terutama ketika sedang ditinggalkan para suami ke medan perang. Karena itu, peristiwa ditinggalkan suami bagi Ratna adalah santapan harian istri tentara.

“Saya justru prihatin bukan pada keluarga saya. Kalau pasukan berangkat, saya prihatin terhadap ibu-ibu anggota karena saya lihat kehidupan mereka pas-pasan. Kalau kita masih ada fasilitas. Kalau anak sakit, kita masih bisa panggil dokter, ada kendaraan.”

Dalam situasi demikian, Ratna sebisa mungkin lebih dekat dengan para istri prajurit, berkeliling dan menemui mereka satu per satu agar bisa mengetahui suka duka yang sedang mereka alami.

Valens Daki-Soo, yang lebih dari 10 tahun menjadi staf Jenderal Kiki, memberi kesaksian, "Ini keluarga Pancasila sejati. Ya, keluarga teladan. Saya pribadi pun mengalami dan menerima banyak berkat dan kasih Tuhan melalui keluarga ini." 

Menurut Valens, keluarga ini sangat terbuka, komunikatif, sederhana dan menjadi 'rumah yang hangat' bagi siapapun yang datang bertamu. Mereka berbeda keyakinan religius namun mereka hidup dalam atmosfir yang kental dengan toleransi dan apresiasi, saling menerima dan menghargai.

Valens, pria asal Flores yang mantan calon pastor Katolik dan belakangan menjadi entrepreneur dan politisi itu berkisah, "Hampir tiap kali Pak Kiki atau Bu Ratna berulang tahun, saya diminta memimpin doa. Pak Kiki pun mengikuti dengan khusyuk, tentu beliau berdoa sesuai keyakinan di dalam hatinya."

"Dalam situasi kebangsaan atau keindonesiaan kita yang begitu kuat diwarnai keanekaan dan serba perbedaan, keluarga Kiki-Ratna Syahnakri hadir bagai cahaya lilin yang tetap berpendar memberi harapan, bahwa perbedaan bukanlah alasan untuk jatuh dalam kehancuran," imbuh Valens.

Ya. Perbedaan justru menjadi rahmat untuk merayakan kehidupan sebagai anugerah terindah dari Tuhan, Sang Pencipta.

 

Penulis adalah Redaktur Pelaksana portal berita IndonesiaSatu.co

Komentar