Breaking News

BUDAYA Rintis Sanggar Ikat Tenun 'Bida Mitan', Venny Sue: Perempuan Tidak Lelah Menenun Nilai Budaya 22 Aug 2020 11:22

Article image
Pendiri Sanggar Ikat Tenun Bida Mitan, Venny Sue (kiri), mama Martha Manuk (tengah) dan mama Yuliana Robertha Mone (kanan). (Foto: Che)
Sejak bergabung dan menjalani rutinitas di Sanggar Ikat Tenun 'Bida Mitan', ada kesan bangga bercampur haru dari mama Martha Manuk (63) dan Yuliana Roberta Mone.

MAUMERE, IndonesiaSatu.co-- "Perempuan adalah penjaga nilai-nilai budaya. Dari tangan-tangan merekalah, generasi dapat belajar mengenal aneka ragam motif tenun ikat sebagai warisan budaya yang memiliki arti dan nilai. Budaya adalah identitas dan jati diri. Perempuan tidak harus berdiri di panggung (kekuasaan dan politik, red). Dengan duduk merangkai motif (tenun) pun, perempuan sudah tampil sebagai penjaga dan pewaris kearifan budaya."

Demikian hal itu diutarakan Maria Veronika Sue, selaku perintis dan pendiri
Sanggar Ikat Tenun 'Bida Mitan', yang ada di kampung Guru, Desa Takaplager, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) saat ditemui media ini, Jumat (21/8/2020).

Selaku penggagas, Venny Sue mengaku sejak didirikan pada tahun 2017, awalnya dirinya memberanikan diri untuk mengajak dan meyakinkan keluarga dekatnya agar berani memulai usaha Ikat Tenun, meskipun dengan fasilitas Sanggar dan peralatan tenun seadanya.

"Ini semua berangkat dari niat, visi dan cita-cita dan kerinduan saya agar di kampung Guru harus punya Sanggar Ikat Tenun. Lalu saya mulai mengajak keluarga dekat dan secara perlahan mulai beraktivitas (ikat tenun) dengan bahan dan peralatan seadanya. Ada respon positif dan antusias yang tinggi dari keluarga dan beberapa mama (ibu rumah tangga). Awal yang baik itu perlahan membangkitkan rasa bangga. Suasana kekeluargaan selalu tercipta, ada harapan dan terutama ada pancaran kerinduan lama yang akhirnya mulai terwujud," terang Venny.

Mantan Ketua Orang Muda Katolik (OMK) Paroki Santo Yosef Wairpelit ini mengatakan bahwa inspirasi merintis Sanggar tersebut juga berkat dorongan mendiang kedua orang tuanya yang selalu rindu dan bangga ketika menyaksikan ada generasi yang mau peduli dan mencintai adat-budaya sendiri, merawat kekhasan budaya serta rasa memiliki hasil karya sendiri.

"Mendiang kedua orang tua selalu memotivasi saya untuk tidak semata bekerja untuk diri sendiri, namun terutama berjuang menularkan hal-hal positif kepada sesama, menjadi saluran berkat untuk sesama. Maka, saya mulai tergerak untuk mendirikan Sanggar Ikat Tenun, dan mulai menghimpun para ibu di kampung guna menekuni usaha Ikat Tenun itu. Segala proses dan perjuangan itu akhirnya terwujud, seperti hari ini sudah tampak meski masih seadanya," kata Venny.

Salah satu tokoh perempuan Sikka yang sering tampil sebagai Master of Ceremony (MC) dengan busana adat ini, juga menerangkan bahwa inspirasi pemberian nama Sanggar Ikat Tenun 'Bida Mitan' juga tidak terlepas dari salah satu spirit perjuangan dan warisan leluhur yang hingga kini menjadi kekhasan adat-budaya setempat, yakni peninggalan 'Bida Mitan' (parang hitam).

Selain itu, ada kaitan dengan pemberian nama Desa 'Taka Plager' (kapak silang) yang juga menjadi salah satu peninggalan leluhur.

"Awalnya ada inspirasi untuk memberi nama Sanggar 'Kuwu Bensa' (rumah berkat). Namun pada akhirnya diputuskan memakai nama 'Bida Mitan' sebagai spirit untuk mengangkat dan menjaga spirit leluhur. Ke depan, motif 'Bida Mitan' akan ditonjolkan dan menjadi kekhasan," komitnya.

Harap Dukungan untuk Pemberdayaan

Memulai dengan fasilitas dan bahan seadanya, Venny yang bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) di Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka ini, berharap dukungan berbagai pihak baik pemerintah daerah Kabupaten, Provinsi, pemerintah Pusat, LSM, maupun elemen lain, guna mendukung usaha-usaha pemberdayaan ekonomi kreatif masyarakat dalam meningkatkan pendapatan, kesejahteraan dan kemandirian.

"Sejauh ini masih skala swadaya, pangsa pasar yang masih terbatas serta fasilitas dan bahan yang masih sangat minim. Kami tertarik dengan gebrakan Anggota DPR RI dari Fraksi NasDem, Ibu Julie Sutrisno Laiskodat, yang terus mendorong usaha-usaha kelompok tenun ikat di NTT agar ikut bersaing di kancah nasional maupun internasional. Titip pesan agar Bunda Julie bisa mampir di Sanggar Ikat Tenun 'Bida Mitan' Sikka. Kami menanti dengan penuh harap dan rindu," pinta pemilik zodiak Taurus kelahiran 18 Mei 1984 ini.

Bangga dan Haru

Sejak bergabung dan menjalani rutinitas di Sanggar Ikat Tenun 'Bida Mitan', ada kesan bangga bercampur haru dari mama Martha Manuk (63) dan Yuliana Roberta Mone.

Mama Martha yang mengaku asli dari Solor Barat, Kampung Kalelu, Kecamatan Ritabang ini merasa bangga karena selain sebagai petani (berkebun), usaha Ikat Tenun dapat membantu secara ekonomis dan membiayai pendidikan anak-anaknya.

"Kami merasa bangga dan terharu. Dari awal belajar, saya akhirnya bisa tahu ikat tenun selendang, kain, dan sarung. Kami juga bangga karena bisa bertemu langsung dengan wisatawan (turis/bule) dari Australia yang datang berkunjung. Selain aktivitas ikat tenun, ada hiburan seperti menari dan menyanyi. Kami sangat bangga dan terharu," kesan mama Martha.

Kesan dan perasaan senada diutarakan Yuliana Roberta Mone yang mengaku selalu ada suasana kebersamaan, kekeluargaan dan sukacita.

"Kami bangga dengan Nona (sapaan khas untuk perempuan Sikka, red) Venny yang mampu membangkitkan kembali tradisi ikat tenun ini. Kami sangat bangga. Meski masih banyak kekurangan dan keterbatasan, kami tidak putus asa dan tetap semangat berusaha," kesan mama Yuliana.

Baik mama Martha maupun mama Yuliana, tidak lupa menitipkan pesan untuk generasi agat tidak lupa dengan adat-budaya, tidak malu memperkenalkan pakaian adat daerah sebagai identitas dan jati diri, serta rasa cinta terhadap budaya sendiri.

"Sekarang ini, sangat sedikit anak-anak muda yang mau menenun. Busana adat daerah juga sering dilihat sebagai sesuatu yang sudah ketinggalan zaman. Semoga Sanggar ini bisa memotivasi generasi muda untuk tidak malu kembali ke akar budaya," pesan keduanya.

Diketahui, sejak berdiri tiga tahun lalu, Sanggar Ikat Tenun 'Bida Mitan' saat ini memiliki 28 orang yang aktif menenun dari berbagai kategori usia.

Setiap tahun, penjualan terus meningkat dari tahun sebelumnya, karena banyak wisatawan asing yang datang dan langsung membeli hasil tenun, baik selendang, kain maupun sarung dengan beragam motif.

Guna mendukung modal Sanggar, setiap transaksi penjualan dipotong 5 persen sebagai khas Sanggar. Selain itu, agenda rutin bulanan anggota di antaranya, pertemuan, evaluasi, dan arisan.

--- Guche Montero

Komentar