Breaking News

POLITIK Setara Institute Nilai Gerakan 212 Tidak Memiliki Tujuan yang Jelas 30 Nov 2018 17:40

Article image
Massa dari Gerakan Jaga Indonesia (GJI) menolak rencana aksi Reuni Akbar Mujahid 212 yang diselenggarakan Minggu (2/12/2018). (Foto: Pos Kota)
Hendardi menyesalkan gerakan 212 yang menggunakan agama Islam sebagai instrumen dan pranatanya. Padahal oleh banyak tokoh Islam di Indonesia, hal itu dianggap memperburuk kualitas keagamaan.

JAKARTA, IndonesiaSatu.coSetara Institute menilai kegiatan reuni 212  memiliki tujuan yang begitu jelas dalam konteks mewujudkan cita-cita nasional. Selain itu, gerakan tersebut telah menjadi arena politik menjelang Pilpres 2019. 

"Jadi, meskipun gerakan ini tidak memiliki tujuan yang begitu jelas dalam konteks mewujudkan cita-cita nasional, gerakan ini akan terus dikapitalisasi," kata Ketua Setara Institute Hendardi dalam keterangan tertulis, Jumat (30/11/2018). 

"Menguasai ruang publik (public space) adalah target para elite 212 untuk terus menaikkan daya tawar politik dengan para pemburu kekuasaan atau dengan kelompok politik yang sedang memerintah. Bagi mereka, public spaceadalah politik," sambungnya. 

Hendardi menyesalkan gerakan 212 yang menggunakan agama Islam sebagai instrumen dan pranatanya. Padahal oleh banyak tokoh Islam di Indonesia, hal itu dianggap memperburuk kualitas keagamaan. 

"Apa pun alasannya, populisme agama sesungguhnya menghilangkan rasionalitas umat dalam beragama. Juga menghilangkan rasionalitas warga dalam menjalankan hak politiknya," kata Hendardi. 

Meski demikian, menurut Hendardi, reuni 212 ini sudah mulai ditinggalkan. Masyarakat saat ini mulai sadar untuk menjauhi praktik politisasi identitas agama demi tujuan politik semata. 

"Dua tahun hampir berlalu, gerakan ini mulai kehilangan dukungan sejalan dengan meningkatnya kesadaran warga untuk menjauhi praktik politisasi identitas agama untuk merengkuh dukungan politik atau menundukkan lawan-lawan politik. Warga juga telah semakin sadar dan pandai melihat bahwa gerakan semacam ini membahayakan kohesi sosial bangsa yang majemuk," tuturnya. 

"Jadi, kecuali untuk kepentingan elite 212, maka gerakan ini sebenarnya tidak ada relevansinya menjawab tantangan kebangsaan dan kenegaraan kita," sambung Hendardi.

Acara reuni 212 ini rencananya digelar di kawasan Monas, Jakarta Pusat, Minggu (2/12), pada pukul 03.00-12.00 WIB. Panitia Reuni 212, sebelumnya, mengatakan aksi ini bertujuan menjalin silaturahmi persaudaraan masyarakat Indonesia sehingga siapa pun diundang ke acara tersebut.

"Di acara ini, kami pun ingin undang Bapak Presiden, Bapak Wapres, Kapolri, Menteri Agama, Panglima TNI, dan capres-cawapres karena ini merupakan bagian dari acara keumatan umat Islam untuk merajut ukhuwah persaudaraan 212 dan spirit 212 ada di masing-masing kami," ujar Ketua Panitia Bernad Abdul Jabar saat konferensi pers di gedung Dewan Dakwah Islam Indonesia, Jl Kramat Raya, Jakarta Pusat, Rabu (28/11).

Hal senada disampaikan Ketua Persaudaraan Alumni 212 (PA 212) Slamet Maarif. Slamet mengatakan aksi tersebut bertujuan menyatukan umat.

"Kami akan nanti dengarkan sambutan dan tausiah dari beliau di 212. Tapi yang jelas, kami fokus di 212 itu untuk silaturahmi, untuk menyatukan umat, untuk berdoa bersama buat anak bangsa, sekaligus memperingati Maulid Nabi," jelas dia.

Menolak Reuni 212

Sementara itu, massa dari Gerakan Jaga Indonesia (GJI) menggeruduk Kantor Gubernur DKI Jakarta Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Kamis (29/11/2018). Mereka menolak rencana aksi Reuni Akbar Mujahid 212 yang diselenggarakan Minggu (2/12/2018).

Meski sempat diguyur hujan, suasana di depan gerbang Balaikota sempat memanas. Beberapa peserta aksi memaksa masuk dengan melompati pagar depan Balaikota. Niat mereka terhalang aparat yang sudah bersiaga. Kesal, massa GJI berulah dengan mendorong dan menggoyang-goyangkan gerbang besi di halaman Balaikota.

Komandan lapangan aksi, Tirtayasa mengatakan aksi penolakan aksi Reuni 212 di Monas kerena menilai kegiatan tersebut sebagai kegiatan politik yang terselubung.

“Reuni 212 itu agenda politik terselubung dari pihak-pihak yang ingin negara terpecah,” ujarnya sebagaimana ditulis Pos Kota (29/11/2018).

Tirtayasa mengatakan rencana pengibaran bendera bertuliskan tauhid dalam acara tersebut sebagai lambang bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang sudah dilarang pemerintah.

“Yang kami soroti adalah bendera-bendera HTI. Bukan bendera tauhid . Saya jamin nanti kejadian 1 tahun kemarin di Monas terulang kembali. Apa itu? Orasi politik, orasi memecah belah bangsa,” tandasnya.

“Negara kita sudah berlandaskan ideologi Pancasila. Jadi tidak ada lagi cara-cara menumbuhkan ideologi khilafah. Saya yakin ada agenda politik terselubung,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Tirtayasa juga menyatakan tuntutan agar Gubernur DKI Jakarta mencabut izin kegiatan Reuni 212 di Monas. “Cara yang dilakukan Anies ini tidak elegan. Cara yang akan membuat acara semakin banyak perbedeaan. Harusnya Anies sebagai Gubernur Jakarta tidak serta merta izinkan terjadi nya acara tersebut. Harus cabut dan batalkan acara tersebut. Banyak yang menolak,” pungkasnya.

--- Simon Leya

Komentar