REFLEKSI SIAPA ITU IMAM (KATOLIK)? 06 Sep 2022 09:39
Untuk sahabatku Romo Ronny dan para saudaraku yang menjadi Imam Tuhan, salam bahagia dan doa dari saya.
* Salam bahagia untuk Sahabat dan Kerabat yang jadi Imam/Pastor Katolik
"Tu es sacerdos Dei in aeternum..." Engkaulah Imam Tuhan dalam/hingga keabadian.
Profisiat untuk Romo Dr. Rofinus Neto Wuli, S.Fil, M.Si (Han) yang pada 3 September 2022 merayakan 25 Tahun (Pesta Perak) Imamat Suci.
Romo Ronny (begitu sapaannya) telah memilih jalan hidup yang bagi banyak orang mungkin dipandang 'aneh'. Namun, sesungguhnya inilah pilihan yang radikal (Latin, radix=akar), bahwa akar kehidupan sejati ada di dalam Tuhan, bahwa inti imamat suci adalah penyerahan diri total, dan bahwa cara hidup yang Romo Ronny pilih merupakan "tanda dan lambang yang nyata" dari hidup adikodrati.
Perayaan amat meriah Pesta Perak Imamat dari pagi hingga sore di Bajawa, saya ikuti dengan gembira sebagaimana banyak umat lainnya.
Kehadiran sejumlah perwira tinggi (Pati) TNI/Polri dari Jakarta mewarnai perayaan ini dan menyingkapkan satu sisi tugas pelayanan Romo Ronny selama ini: menjadi Pastor Bantuan Militer dan Polisi (Pasbanmilpol) di lingkungan Keuskupan TNI/Polri, yang wilayah pengabdiannya meliputi seantero NKRI.
Penugasan itu memberi mandat sekaligus tanggung jawab di bahu dan jiwa Romo Ronny, yang adalah lulusan terbaik pendidikan di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI. Prestasi itu dilanjutkan hingga menjadi lulusan terbaik pula di Universitas Pertahanan (Unhan) Jakarta.
Meski saya ikut larut dalam sukacita pesta bernuansa SYUKUR, yang dihadiri begitu banyak umat dan juga sejumlah imam, bahkan Yang Mulia Uskup Agung Ende, Mgr. Vincentius Sensi Potokota (yang memilih bergabung bersama para imam, bukan sebagai selebran utama), saya sempat berpikir untuk menuangkan kembali refleksi saya tentang "siapa dan bagaimana (menjadi) imam Katolik itu" pada hari bahagia sahabatku Romo Ronny, yang sekarang kembali mengabdi di Flores, Nusa Bunga dengan tugas sebagai dosen di tiga perguruan tinggi serta secara periodik masih mengajar juga di Unhan.
Kembali ke pertanyaan: Siapakah imam (Katolik) itu? Mereka sering dianggap hidup mengingkari kodrat manusiawi, namun saya punya perspektif lain; bukan mengingkari tetapi dalam hal tertentu "melampaui" kodrat. Kehidupan para imam (juga biarawan/biarawati) seharusnya dan selayaknya adalah lambang dari kehidupan adikodrati dan eskatologis.
***
Terlalu sering, selama ini, saya ditanya teman-teman (terutama yang non-Katolik, baik Protestan maupun Muslim), bagaimana bisa seorang manusia hidup sendirian sebagai pastor alias imam Katolik. Misalnya, karena mereka tahu saya mantan frater/calon imam, mereka pun bertanya penuh ingin tahu, "Pak, dulu waktu 'sekolah pastor' itu, apa pernah jatuh cinta? Apa tertarik sama perempuan? Bagaimana mungkin mengingkari kodrat? Apakah sanggup hidup sendirian tanpa 'pasangan hidup'? Apakah masih bisa dipertahankan 'gaya hidup' seperti itu?"
Yang lebih serius dan condong akademis melontar pertanyaan; "Sekolah apa itu ya? Apa saja yang dipelajari? Filsafat itu apa? Bedanya dengan teologi? Apa filsafat itu ilmu kayak menerawang orang ya? Kayak mistik itu kah? Apa gunanya filsafat kalau tidak jadi imam seperti Anda? Sekian lama, bertahun-tahun, di seminari itu, apakah cuma belajar filsafat? Tidak habis-habisnya filsafat itu ya?"
Baik, satu-satu saya jawab sekenanya (saya tulis tanpa referensi dan kutipan-kutipan para pakar; saya pakai apa yang ada dalam otak saja).
Pertama, calon imam adalah lulusan (biasanya yang relatif terbaik) dari setiap Sekolah Dasar (SD) ataupun diambil dari lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Di Deminari Menengah (SMP-SMA), para siswa diajari banyak mata pelajaran seperti umumnya sekolah lain, dengan tambahan les tertentu seperti Bahasa Latin dan penekanan yang cukup kuat pada Bahasa Inggris dan Bahasa Jerman.
Dulu, malah beberapa bahasa sekaligus diajarkan tatkala kurikulum seminari masih berorientasi ke Barat, mengikuti model/sistem ala Eropa. Belakangan, mungkin sejak 1980-an, kurikulum seminari wajib disesuaikan dengan sistem pendidikan nasional (Indonesia).
Selama di seminari menengah, para siswa (lazimnya disebut 'seminaris') dipertajam intelektualnya, ditempa mental-spiritualnya, dimantapkan kesehatannya (melalui olah raga), dibina bakat-bakatnya (Anda bisa main band, orkestra, menulis rutin di majalah dinding dan buletin bulanan -- di Seminari Mataloko namanya 'Florete', dan berbagai aktivitas penumbuh-kembang bakat lainnya).
Selain itu, para seminaris pun dilatih untuk mampu berinteraksi sosial secara positif dan sehat. Agar menjadi calon pemimpin yang baik, mereka pun dibina untuk mengerti dinamika masyarakat sekitarnya, peka pada lingkungan (misalnya terlibat aktif dalam reboisasi), terjun ke kelompok-kelompok masyarakat, membaca dan menulis tentang berbagai persoalan sosial budaya.
Seleksi para seminaris selama pendidikan di Seminari Menengah (SMP-SMA) sangat ketat. Tidak ada toleransi sama sekali untuk ketidakjujuran. Kalau nyontek waktu ujian, pasti dikeluarkan. Namun, mungkin tak pernah ada nyontek karena selain ruang ujian disterilisasi, para seminaris sudah ditanam rasa malu untuk nyontek. Yang pasti, tiap tahun pasti ada banyak yang keluar karena berbagai alasan dari hambatan akademis sampai problem perilaku.
Topik ini menarik: seks dan perempuan. Ya, tentu saja, anak-anak seminari itu seperti remaja pada umumnya, tertarik pada perempuan. Kami sadar akan menjadi imam, namun kami "sadar diri" pula sebagai makhluk seksual.
Di kelas 2 atau kelas 3 SMP, pendidikan seksualitas diajarkan agar para seminaris memahami diri dan lawan jenisnya, tidak hanya secara anatomis-fisiologis, tetapi juga psikologis (tepatnya: psikoseksual). Lho, apa gunanya? Kan tidak kawin, lalu apa manfaat belajar seksualitas?
Ya, sebagai pribadi yang integral (artinya memiliki multidimensi, termasuk dimensi seksual) seminaris harus memahami dinamika psikoseksual dirinya dan lawan jenis. Secara teoritis mereka dibekali agar mampu menerima dan menghormati perbedaan seksual dengan segala implikasinya. Para seminaris pun diajarkan untuk memahami bahwa seks itu anugerah Ilahi yang indah, dan menghargainya dengan tidak merusaknya.
(Jadi, kalau setelah jadi imam seseorang menjadi "kacau" dan "sembarangan", itu mungkin karena kegagalan dia merawat, mengendalikan dan mengolah diri; bukan kesalahan pendidikan seminari).
Adapula yang bertanya lugas kepada saya, "Pak, apakah sekolah seminari tidak malah menjadikan orang berpotensi jadi homoseksual ya?"
Nah, mari saya jawab. Kami, anak seminari, pasti para pria jantan perkasa. Kami diseleksi secara ketat, termasuk melalui semacam psikotes (kalau saya tidak keliru, saat kelas 2 atau kelas 3 SMP) untuk mengetahui "kecenderungan seksual" para siswa. Saya ingat, dalam lembaran kertas dengan format yang sudah disiapkan, kami menjawab semua pertanyaan terkait ketertarikan seksual kepada lawan jenis.
Seminaris harus sehat secara fisik dan psikologis, termasuk kecenderungan seksual yang tidak mengalami deviasi/penyimpangan.
Mengapa imam harus sehat secara psikologis (dan seksual)? Karena kalau 'kacau', maka kacau pula hidup dan pelayanan imamatnya. Di sini pula terletak aspek "pengorbanan diri" yang total. Seorang imam bukan "mengingkari" kodrat, tetapi sesungguhnya "melampaui" kodrat alamiahnya.
Untuk suatu tujuan yang jauh lebih besar dan luhur daripada kehidupan duniawi dengan segala hawa nafsu, obsesi, tendensi dan riuh-rendahnya, seorang Imam menyatakan diri "tidak terikat" pada keduniawian, bebas dari kemelekatan pada materi dan dimensi kebendaan, hidup dalam integritas dan keterarahan pada Yang Ilahi, membenamkan diri dalam doa dan olah batin secara teratur, mengendalikan dan mengarahkan hidupnya sedemikian rupa sehingga mampu menjadi "tanda bagi dunia" tentang kehidupan yang berakar pada Allah dan terarah kepada-Nya.
Apakah sulit? Ya, tentu saja. Tapi tak berarti tidak bisa. Karena manusia adalah makhluk yang mampu melampaui dirinya.
Sejarah panjang perabadan manusia menunjukkan, di berbagai agama dan komunitas selalu ada "orang-orang terpanggil" atau "orang-orang terpilih" yang menekuni jalan sunyi ini. Para Bhiksu dan Bhiksuni Buddhis, adalah contohnya.
Tentang adanya pastor yang "tidak setia" atau tidak hidup sesuai kaulnya, kalau di TNI/Polri kita menyebut "oknum", untuk membedakannya dengan institusi.
Jadi, kalau ada tentara yang kurang ajar dan jadi bandit, misalnya, itu tidak berarti seluruh TNI buruk. Mungkin seperti itulah yang terjadi di kalangan para selibater (mereka yang hidup selibat alias tidak menikah), meski kita sering sulit menolak penilaian yang bersifat "pars pro toto". Generalisasi yang eksesif bisa terjadi dalam konteks seperti ini.
Tentang pendidikan filsafat dan teologi di seminari tinggi (biasanya melekat dengan Sekolah Tinggi Filsafat), para calon imam belajar menjadi intelektual yang kelak mampu menjadi pemimpin-pelayan di tengah masyarakat.
Apa itu filsafat? Jauh sekali dari mistik dan dunia "ghaib"! Filsafat justru mengajarkan kita untuk mampu (dan berani) berpikir rasional, logis, kritis, sistematis, metodis, sedapat mungkin mencari hakikat terdalam dari setiap realitas untuk menemukan 'kebenaran'.
Dalam filsafat segala hal bisa digugat secara kritis, seraya membuka ruang lebar bagi dinamika dan dialektika berpikir. Filsafat adalah jalan untuk mencerahkan diri sendiri, yang mungkin pada gilirannya Anda pun mampu membantu pencerahan orang lain, atau setidaknya dalam semangat 'saling mencerahkan'.
Dalam filsafat setiap pertanyaan akan menemukan jawaban, yang lalu melahirkan pertanyaan baru, ditimpali dengan jawaban baru, dan bisa mencetuskan pertanyaan baru lagi, yang butuh aneka jawaban baru.
Hidup adalah "proses filsafat", atau filsafat adalah "proses hidup", di dalamnya manusia tanpa henti menyelami makna diri, dunia (dunia itu 'kompleks kehidupan', bukan planet bumi) dan Penciptanya.
Teologi merupakan jalan untuk memahami realitas Ilahi dan kenyataan manusiawi berdasarkan refleksi biblikal.
Meski bernama Sekolah Tinggi Filsafat, para calon imam juga belajar dasar-dasar disiplin ilmu lain; seperti psikologi, sosiologi, antropologi, islamologi (juga agama-agama lain) dan sebagainya, selain mata kuliah 'inti' filsafat (Logika, Epistemologi, Metafisika, Filsafat Ketuhanan).
Selain belajar secara akademis-intelektual, para calon imam (disebut 'frater' kalau di Seminari Tinggi, dari bahasa Latin yang berarti 'saudara'), juga diterjunkan ke tengah masyarakat agar mampu terlibat dan memahami geliat dan denyut hidup masyarakat.
Dalam suatu masa orientasi (disebut Tahun Orientasi Pastoral/TOP) selama 2 tahun, para mahasiswa/frater itu bisa belajar cukup banyak dari masyarakat. Waktu orientasi ini pun sering bisa dipakai sebagai kesempatan untuk merenung ulang dan memutuskan; apakah mau dan mampu melanjutkan proses formasi menjadi Imam, ataukah berhenti dan hidup sebagai umat (awam) umumnya.
Saya selalu gembira setiap kali mendengar ada peristiwa tahbisan imam. Itu pertanda masih ada manusia-manusia yang merasa terpanggil untuk hidup secara utuh-penuh guna melayani Tuhan dan sesamanya. Mengorbankan diri untuk tujuan ini tentu bukan hal mudah. Oleh karenanya, mereka butuh doa, dukungan moril, kasih dan perhatian kita.
Memang, kadang/sering kita mendengar adanya peristiwa terpelesetnya seorang imam dari jalan pilihannya. Butuh kebesaran jiwa dan kekuatan cinta dari kita untuk tetap mendukung dan mendoakan mereka, karena mereka tetaplah "manusia rapuh" dengan segala luka seperti kita juga.
Mereka bisa (ter)jatuh seperti Anda dan saya. Itu sebabnya cara terbaik adalah tetap memberi mereka "energi positif" berupa doa, dukungan, bisa juga berbentuk teguran dan kritikan.
Untuk sahabatku Romo Ronny dan para saudaraku yang menjadi imam Tuhan, salam bahagia dan doa dari saya. Semoga Anda tetap berpegang pada kekuatan Ilahi, pada tujuan luhur pengorbanan diri Anda yang begitu total dan radikal. Semoga Anda tetap ingat dan selalu sadar diri sebagai "man of God" dan "man for others". Semoga Anda tetap setia membawa sesama dan dunia dalam setiap doa dan ekaristi kudus yang Anda persembahkan.
Tentu saja, kami pun minta doa Anda, khususnya bagi saudara-saudarimu yang sedang sakit, susah, menderita lahir maupun batin. Doakan juga mereka yang sehat dan bahagia, agar kesehatan dan kebahagiaan itu menjadi bekal untuk melayani sesama.
Proficiat, Romo Ronny. Berkaryalah dengan bahagia di Flores Nusa Bunga, sambil ingat ungkapan imperatif ini: "Flores florete, date odorem." (Wahai Flores, mekarlah dan tebarkan keharumanmu).
Tuhan menyertaimu dan memberkati segala kiprah dan karya pastoralmu.
Valens Daki-Soo (VDS) adalah mantan frater/calon imam Katolik dari kongregasi Societas Verbi Divini (SVD); pengusaha dan politisi; peminat filsafat dan psikologi. Lama aktif di dunia Hankam (staf khusus Kepala BIN Letjen TNI Arie Kumaat, staf khusus Wakil KSAD Letjen TNI Kiki Syahnakri, staf khusus Pendiri Densus 88 Polri Komjen Gories Mere)
Komentar