Breaking News

HUKUM Sugeng Santoso: Penahanan Eggi Sudjana Adalah Kewenangan Penyidik 15 May 2019 07:53

Article image
Sekretaris Jenderal (Sekjend) Dewan Pimpinan Nasional (DPN) PERADI, Sugeng Teguh Santoso (Foto: Dok. STS)
"Eggi Sudjana, selain tidak dalam posisi sebagai Advokat yang sedang menjalankan profesi juga melanggar semua ketentuan KEAI dan UU Advokat," tegas Sugeng.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co-- Tersangka Eggi Sudjana melontarkan dalil 'pembelaan diri' dengan mengatakan bahwa penahanan atas dirinya tidak dapat dilakukan oleh penyidik dengan alasan bahwa dirinya sebagai advokat yang memiliki imunitas profesi, juga ketua dewan kehormatan profesi Kongres advokat Indonesia serta dalil bahwa dirinya harus diperiksa lebih dalulu melalui dewan kehormatan kode etik.

Menanggapi hal itu, Sekretaris Dewan Kehormatan advokat Peradi periode 2005- 2015, Sugeng Teguh Santoso menegaskan bahwa dalil tersangka Eggi keliru.

Menurut Sugeng, Advokat memiliki imunitas profesi, tidak dapat dituntut baik perdata maupun pidana selama di dalam dan di luar persidangan, jika harus memenuhi syarat sedang menjalankan profesi dengan itikad baik.

"Hemat Saya, pernyataan Eggi di jalan Kertanegara, tidak dalam posisi sebagai Advokat, tetapi sebagai bagian dari tim BPN Capres 02. Sebab, isi pernyataan yakni menolak hasil pilpres yang akan ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena dugaan kecurangan  memenangkan pasangan Capres 01, juga  menghasut aksi massa untuk melakukan perlawanan inkonstitusional (people power) dengan alasan karena pasangan Capres 02 memenangkan pilpres dengan perolehan 62 persen suara," nilai Sugeng dalam rilis, Rabu (15/5/19).

Membatasi pendapat ini terhadap tahapan Pilpres, lanjutnya, saat itu secara hukum belum ada sengketa Pemilu karena legalitas hasil Pemilu baru akan ditetapkan pada 22 Mei 2019.

"Jadi posisi Eggi saat membuat pernyataan bukanlah dalam status sebagai Advokat melainkan sebagai subyek hukum perseorangan yang adalah tim BPN Capres 02 yang bisa diminta pertanggungjawaban hukum atas sikap dan pernyataannya yang berpotensi melanggar hukum," timpal Sugeng.

Kode Etik Advokat dan Imunitas

Sugeng yang juga berperan sebagai Tim penyusun Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) pada Mei 2002 ini menegaskan bahwa imunitas juga mensyaratkan; dalam menjalankan profesi harus menerapkan itikad baik; yakni mentaati hukum dan proses hukum , kepatutan, serta nilai-nilai kemasyarakatan dalam menjalankan profesinya.

"Pasal 2 kode etik Advokat Indonesia menegaskan bahwa kepribadian advokat yakni mempertahankan keadilan dan kebenaran dengan dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia (nobile officium) serta menjunjung tinggi hukum dan Undang-Undang Dasar 1945, menjunjung kode etik serta sumpah jabatan Advokat dalam menjalankan profesinya," jelasnya.

Ia menegaskan bahwa dalam kapasitas sebagai seorang advokat, Eggi seharusnya  memahami hal itu, dan untuk menjaga status Advokat sebagai profesi mulia (nobile officium), Eggi harus memberikan pendidikan  hukum dan politik dengan mentaati UU Pemilu sesuai pasal 2 KEAI, juga pasal 14, 15 dan 16 UU Advokat.

"Eggi Sudjana, selain tidak dalam posisi sebagai Advokat yang sedang menjalankan profesi juga  melanggar semua ketentuan KEAI dan UU Advokat," ujarnya.

Sugeng menyayangkan bahwa semestinya status Eggi sebagai Ketua Dewan Kehormatan justru meletakkan pada dirinya tanggung jawab etis, moral dan hukum untuk menjaga nilai-nilai nobile officium.

"Tindakan Eggi selain telah melanggar KEAI dan UU Advokat, juga diduga melanggar delik makar. Sehingga saya menyarankan agar Kongres Advokat Indonesia memberi sanksi lepada Eggi dengan sebelumnya diberi kesempatan membela diri," imbuhnya.

Sekretaris Jenderal (Sekjend) Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Peradi ini menandaskan bahwa pernyataan Eggi yang meminta agar diperiksa lebih dahulu oleh Dewan Kehormatan Profesi sebelum diproses pidana merupakan tindakan pembelaan diri yang keliru.

"Merujuk pada pasal 26 ayat (6) UU Advokat menyatakan bahwa keputusan Dewan Kehormatan organisasi Advokat tidak menghilangkan tanggung jawab pidana apabila pelanggaran terhadap kode etik Advokat mengandung unsur pidana," tandas Sugeng.

Mekanisme UU Pemilu

Sugeng menilai, penyelenggaraan Pilpres 2019 yakni berdasarkan UU pemilu. Jika ada keberatan, temuan kecurangan, atau ketidaksetujuan atas proses dan hasil tahapan Pilpres, maka hal itu harus ditempuh melalui tata cara keberatan, pengaduan sebagaimana diatur dalam UU pemilu.

"Semua ada mekanisme sesuai UU Pemilu. Sifat pengaduan dapat ke Bawaslu jila ada kecurangan yang bersifat pidana maupun adminitratif; juga ke KPU jika ada pelanggaran administratif dan syarat-syarat calon; atau juga  pengaduan ke Dewan Kehormatan Penyelengga Pemilu (DKPP) jila dinilai KPU melanggar kode etik. Bahkan, dapat mengajukan permohonan keberatan atas hasil penetapan Pilpres oleh KPU ke tingkat Mahkamah Konstitusi (MK)," pungkasnya.

--- Guche Montero

Komentar