Breaking News

NASIONAL Terkait Rangkap Jabatan, Big Data: Sebesar 83, 96 Persen Publik Apresiasi Putusan MK 23 Nov 2025 18:44

Article image
Diskusi bertajuk “Polemik Putusan MK : Polisi Aktif Dilarang Rangkap Jabatan Sipil” (Analisis Big Data) di Jakarta, Minggu (23/11/2025). (Foto: Ist)
Putusan itu merupakan angin segar dalam konteks birokrasi dan supremasi sipil di Indonesia. Netizen juga mendorong agar putusan ini segera dijalankan.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co  - Putusan MK Nomor 114/PUU-XXXIII/2025 yang dibacakan pada 13 November 2025 lalu, menganulir frasa 'atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri' dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.

Karena itu, anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

Namun dalam perkembangannya, putusan MK yang bersifat final dan mengikat itu, tidak segera dieksekusi oleh kepolisian, dan bahkan ditafsirkan berbeda.

Pada 2023, total polisi yang bertugas di luar struktur mencapai 3.424 orang, dengan 1.026 di antaranya berstatus perwira. Jumlah itu bertambah tahun berikutnya, mencapai 3.824 orang. Kemudian meningkat 4.351 orang pada 2025, dengan 1.184 di antaranya berstatus perwira.

Polemik putusan MK tersebut menjadi diskusi yang digelar oleh Continuum INDEF, yang digelar di Jakarta, Minggu (23/11/2025).

Diskusi bertajuk “Polemik Putusan MK : Polisi Aktif Dilarang Rangkap Jabatan Sipil” (Analisis Big Data), menghadirkan narasumber Business Head Continuum INDEF, Arini Astari dan Ekonom Senior INDEF yang juga Rektor Universitas Paramadina, Prof Dr Didik J Rachbini, dengan moderator Felia Pratikasari, dari Business Development Continuum INDEF.

Arini Astari mengatakan, dalam studi Continuum INDEF tersebut data dikumpulkan dari 11.636 perbincangan di media social, pada rentang waktu 13-17 November 2025 antara lain di laman X/twitter (8165 perbincangan) dan Youtube sebanyak 3471 perbincangan. Hasil analisis telah dibersihkan dari akun buzzer dan akun media untuk memfokuskan analisis pada opini organik publik.

Metode yang digunakan meliputi analisis topik perbincangan, analisis sentimen positif dan negatif terkait putusan MK dan analisis eksposure perbincangan.

“Sebanyak 83,9% sentimen positif terkait putusan MK muncul dari netizen, dan hanya 16,04% sentimen negatif,” ujarnya.

Dia mengatakan, netizen ternyata sudah cukup muak dengan banyaknya kasus rangkap jabatan di berbagai instansi. Disebutkan, putusan itu merupakan angin segar dalam konteks birokrasi dan supremasi sipil di Indonesia. Netizen juga mendorong agar putusan ini segera dijalankan.

Menurutnya, ada 3 narasi besar terkait cluster positif yang diambil. Pertama, Putusan MK merupakan sesuatau yang progrestif.

Kedua, putusan itu merupakan langkah nyata bagi reformasi kepolisian untuk mengurangi abuse of power, konflik kepentingan dan memperjelas batas antara fungsi penegakan hukum dan jabatan administratif.

Ketiga, penegakan supremasi sipil. Dengan harapan adanya tata kelola negara yang lebih sipil, transparan, dan akuntabel.

Sementara itu, katanya, sekitar 16,04% percakapan berisi kritik atau kekhawatiran terhadap putusan MK tersebut. Pasalnya, ada tiga isu yang muncul terkait konsistensi lintas Lembaga.

Pertama, publik meminta larangan rangkap jabatan juga belaku bagi instansi lain sehingga tidak menimbulkan kesan tebang pilih. Kedua, mencegah kecemburuan antar instansi dan ketakutan terhadap gesekan antar lembaga.

Ketiga, kejengahan umum terhadap rangkap jabatan. Rangkap jabatan dapat mengurangi kesempatan kerja bagi orang lain, dan membuka konflik kepentingan.

Arini Astari mengatakan, publik juga banyak menyinggung instansi lain seperti TNI, KPK, BNN dan DPR. ”TNI paling banyak dibincangkan, dengan tuntutan untuk mempertegas larangan rangkap jabatan sipil bagi militer aktif,” ujarnya.

Begitu juga dengan KPK yang disebut dalam konteks evaluasi kinerja penegakan hukum dan kontraksi hubungan kerja dengan lembaga kepolisian. Atau DPR dan BNN lebih banyak disebut dalam etika jabatan publik terkait integritas lembaga negara.

”Publik secara dominan mengapresiasi larangan rangkap jabatan sipil. Nampak dari tingginya sentimen positif terhadap putusan MK (83,96%). Larangan itu dinilai sebagai langkah nyata reformasi instansi kepolisian dan perbaikan efisiensi tata Kelola birokrasi,” ujarnya.

Netizen juga meminta larangan rangkap jabatan sipil juga dibelakukan bagi instansi lain. ”TNI menjadi instansi yang paling banyak disorot, selain kepolisian,” katanya.

 

Tim Reformasi Kepolisian Sebuah Langkah Bagus

Sementara itu, Didik J Rachbini mengatakan, kehidupan sosial-politik-ekonomi di Indonesia ke depan akan tergantung pada 3 hal yaitu aritificial intelligence (Akal Imitasi), big data, dan robotica.

Menurut Didik, putusan MK yang melarang rangkap jabatan anggota kepolisian pada jabatan sipil itu menandakan bahwa pada periode pemerintahan Jokowi banyak memanfaatkan insititusi kepolisian sebagai instrument politik untuk diri dan kekuasaannya.

Padahal, katanya, ketika reformasi 98, keputusan melarang jabatan sipil diisi oleh militer dan kepolisian sudah tegas dimaklumatkan. Bagi yang ingin berkarir di dunia politik, maka harus pensiun dari instansi militer dan kepolisian.

Karena itu, dia menilai pembentukan Tim Reformasi Kepolisian oleh Presiden Prabowo merupakan langkah bagus. Namun sayangnya tim tersebut kebanyakan diisi oleh polisi,” katanya.

Didik mengatakan, Tim Continuum INDEF telah mengadakan riset yang menangkap aspirasi publik dari berbagai media sosial, yang ternyata amat mendukung Keputusan MK melarang rangkap jabatan sipil bagi anggota kepolisian. *

 

--- F. Hardiman

Komentar