LINGKUNGAN HIDUP Aliansi ALTER KGF Minta Bupati Ngada Batalkan Proyek Pembangunan Geothermal di Mataloko 12 Mar 2025 09:16
"Dan apabila pemerintah masih memaksakan kehendak untuk mendukung proyek tersebut, Aliansi tidak ragu-ragu untuk menduduki kantor proyek tersebut," demikian sikap Aliansi.
BAJAWA, IndonesiaSatu.co-- Beberapa elemen kemasyarakatan yang peduli dengan Lingkungan dan Pangan, yang tergabung dalam Aliansi TERLIBAT Bersama KORBAN Geothermal Flores (ALTER KGF) di antaranya: Forum Pemuda Peduli Lingkungan Hidup Paroki Roh Kudus Mataloko, Forum Peduli Keutuhan Lingkungan Terdampak Geothermal Paroki Santo Yoseph Laja, Komisi Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan Keuskupan Agung Ende (JPIC KAE), Komisi Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan Provinsi SVD Ende (JPIC SVD Ende), Komisi Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan Provinsi SVD Ruteng (JPIC SVD Ruteng), Komisi Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan OFM (JPIC OFM), dan Badan Eksekutif Mahasiswa IFTK Ledalero, meminta Bupati Kabupaten Ngada agar membatalkan Proyek Pembangunan Geothermal di Mataloko.
Permintaan tersebut tertuang dalam surat Nomor: 001/12/03/025-AlterKGF, tanggal 12 Maret 2025, Perihal: Penolakan Pembangunan Proyek Geothermal di Mataloko dan sekitarnya, yang disampaikan bersamaan dengan aksi solidaritas anggota ALTER KGF di Bajawa.
Dalam keterangan pers yang diperoleh media ini, Rabu (12/3/2025l, ALTER KGF menegaskan, proyek geothermal Mataloko sekarang ini sudah merambah masuk ke wilayah pertanian milik Masyarakat Adat sekitar 996,2 hektare.
Berdasarkan data dan kajian lapangan, tanah seluas itu merupakan lahan pertanian produktif yang menjadi sumber kehidupan keluarga sepanjang hidup mereka.
"Seharusnya pemerintah Kabupaten Ngada lebih kritis mendalami soal pilihan; mendahulukan kebutuhan hidup masyarakat dan lingkungan daripada membangun proyek geothermal yang sudah dapat dipastikan tidak akan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat di sekitarnya," demikian pernyataan Aliansi.
Aliansi ALTER KGF sangat menyesalkan kebijakan ini, yang dinilai sangat kontra- produktif terhadap kebijakan pemerintah pusat tentang KEDAULATAN PANGAN, di mana seharusnya lahan pertanian dipelihara dan ditingkatkan untuk memproduksi tanaman pangan demi kebutuhan pangan nasional, dan bukannya diberikan untuk proyek geothermal yang merusak lingkungan, termasuk merusak hasil pertanian.
Menurut elemen-elemen masyarakat tersebut, apabila proyek geothermal dibangun semuanya, maka mereka akan kehilangan lahan pertanian ribuan hektare.
Maka mereka pun bertanya: “Kami mau hidup di mana dan makan apa? Lebih penting yang mana: kehidupan kami atau hidupnya proyek geothermal dan investornya? Apakah kami harus mati karena hilangnya tanah kami, dan menghidupkan orang lain di atas tanah kami?”
Untuk itu, ALTER KGF bersama elemen masyarakat tersebut di atas, menolak proyek pembangunan geothermal di Mataloko.
"Dan apabila pemerintah masih memaksakan kehendak untuk mendukung proyek tersebut, Aliansi tidak ragu-ragu untuk menduduki kantor proyek tersebut," demikian sikap Aliansi.
Lebih lanjut, ALTER KGF menegaskan bahwa proyek geothermal tersebut mengabaikan prinsip-prinsip tujuan bernegara yang diamanatkan dalam Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945.
Aliansi menegaskan bahwa proyek tersebut justru membunuh masyarakat dan hanya menghidupi investor dan kawan-kawannya.
Masyarakat juga akan kehilangan air bersih yang sudah tercemar oleh proyek tersebut.
Mereka juga menderita konflik dan potensi konflik agraria di antara mereka, sebagaimana ditunjukkan oleh fakta bhwa telah terjadi peristiwa pembunuhan dalam keluarga.
Mereka juga sudah menderita kerusakan atap-atap rumah dan sebagian masyarakat sudah kehilangan sumber kehidupannya.
Mereka juga akan kehilangan Komunitas Masyarakat Adat, yang di dalamnya ada Kampung Adat, Tempat Ritual, dan tempat untuk berintegrasi dengan Leluhur mereka.
"Apakah pemerintah Kabupaten Ngada lebih mementingkan proyek geothermal dan mengorbankan Masyarakat Adat setempat?"
Dari berbagai keprihatinan, ALTER KGF mengharapkan agar Pemerintah Kabupaten Ngada, DPRD Kabupaten Ngada, dan Gereja Katolik Lokal berpihak kepada masyarakat ini dan memikirkan keberlanjutan penghidupan generasi mereka, agar mereka memiliki otoritas atas masa depannya sendiri, tetap memiliki tanah, air dan lingkungan yang sehat, serta komunitas Masyarakat Adat yang menjadi payung hukum adat bagi mereka.
Aliansi menyebut, masalah proyek pembangunan geothermal di Flores sudah menjadi perhatian Badan Hak Asasi Manusia (HRC) yang berpusat di Jenewa, Swiss, di mana institusi tertinggi HAM PBB itu telah mendapat laporan dari VIVAT INTERNATIONAL, sebuah LSM internasional yang mendapat status ECOSOC dan berafiliasi dengan Department of Global Communication (DGC), serta memiliki status sebagai Observer pada United Nation Environment Programme (UNEP) dan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) PBB.
Desak Cabut SK Menteri ESDM
Sebelumnya, pada tanggal 8 Maret 2025, beberapa elemen yang tergabung dalam Solidaritas Perempuan FLOBAMORATAS, telah mendesak Menteri ESDM, Bapak Bahlil Lahadalia agar mencabut SK Menteri ESDM Nomor 2268 K/30/MEM/2017 tentang Penetapan Flores sebagai Pulau Panas Bumi.
Desakan itu dibuat karena investasi proyek panas bumi telah merampas ruang-ruang hidup perempuan di Flores.
Akhirnya, sejalan dengan Solidaritas Perempuan FLOBAMORATAS, ALTER KGF mendesak Bupati Ngada dan DPRD Kabupaten Ngada agar meminta kepada Menteri ESDM untuk mencabut SK Menteri ESDM tersebut di atas.
Adapun penanggung jawab Aliansi TERLIBAT Bersama KORBAN Geothermal Flores yakni P. Dr. Felix Baghi, SVD (Ketua), Ketua Komisi JPIC Keuskupan Agung Ende, RD. Reginald Piperno dan Ketua Komisi JPIC SVD Ende, P. Ignas Ledot, SVD.
--- Guche Montero
Komentar