Breaking News

SOSOK Aloysius Wolo Bhoki, Contoh Pemimpin yang Mengayomi 01 Jun 2021 18:27

Article image
Aloysius Wolo Bhoki, kepala rumah adat Seke Sina dan kepala suku Belu yang berkedudukan di Lodo-Hobosara. (Foto: ist)
Aloysius Wolo Bhoki amat menghargai kemanusiaan, merangkul yang miskin, susah dan tidak berpunya.

SENIN, 31 Mei 2021 jam 19.30 malam "Pohon Beringin " di kampung Lodo-Mataloko Ngada tumbang. Beringin itu tumbang bukan karena badai. Beringin itu tumbang karena masa hidupnya sudah selesai.

Beringin itu bukan beringin benaran. Beringin itu adalah adalah personifikasi seorang figur. Figur seorang bapak keluarga, kepala rumah adat Seke Sina dan kepala suku Belu yang berkedudukan di Lodo-Hobosara.

Beringin itu adalah Aloysius Wolo Bhoki. Beliau adalah figur pelindung, pengayom dan pemersatu. Beliau adalah tokoh penting dan figur istimewa. Karena itu kematian beliau diibaratkan dengan tumbangnya pohon beringin. "Nunu meze boka".

Beliau menutup buku kehidupannya pada usia 89 tahun. Dia menikmati banyak bonus dari Tuhan.

Bila ditilik dari hubungan perkawinan, Kak Aloysius adalah eja atau kak ipar saya. Dia menikah dengan saudari sepupu saya Elisabeth Ngao Tai. Elisabeth Ngao Tai adalah putri sulung paman saya Simon Wolo Itu. Paman Simon meninggal dalam usia muda. Karena itu ayah saya memberikan nama "Wolo Itu" pada saya untuk mengenangkan sepupunya Simon Wolo Itu.

Sejak kecil, kedua sepupu saya Elisabeth Ngao Tai dan Katharina Bhoko Dhoni selalu menyapa saya "Ema Ja'o atau Bapa Saya". Saya adalah "ayah kecil" mereka. Saya ingat tahbisan Diakon di Ritapiret Maumere akhir Mei 1997. Saat umat menyanyikan Litania para kudus, kami calon Diakon semua tiarap. Begitu kami bangun, kak Elisabeth Ngao Tai bisik di telinga kakak-kakak yg lain: "Ema ja'o sadho gha wolo". Artinya "bapak" saya sudah mencapai puncak. Bapak saya sudah menerima urapan diakonat. Dia sangat berbahagia.

Kak Aloysius dan kak Elisabeth sangat dekat dengan kami. Mereka memandang paman mereka, ayah kami Albertus Sabu Dhoni sebagai ayah kandung mereka. Mereka juga dekat dengan saudara serahim abang Hendrikus Mite, paman kami Petrus Labu Nai, David Woghe dan sepupu-sepupu kami di Sao Tiwu Gusi seperti kak Lukas Mite dan Felix Lagho dan anak cucu.

Kak Aloysius dan Elisabeth menikah tahun 1965. Mereka dikaruniai anak-anak: Agus Kaju, Tin Bhoki, Paulina Bhoko dan Theodorus Wolo.

Kak Aloysius adalah bapak keluarga yang hebat. Dia sangat lembut terhadap istri dan anak-anak. Anak-anak memuji ayah mereka sebagai orang baik.

 

Sakit bila makan nasi

Ada satu hal unik dari kak Aloysius. Dia sangat ulet mengerjakan sawah dan ladang untuk menghidupi keluarga. Tapi selama hidupnya dia tidak pernah makan nasi dan nasi jagung. Dia hanya makan ubi-ubian, sorgum, jewawut atau pisang.

Setiap kali ada pesta di Lodo, Hobosara, Feo atau Wolorowa, selalu ada orang khusus yang menyediakan makanan beliau. Meski tidak makan nasi, beliau memiliki postur tubuh tinggi besar. Selama masa muda jarang sakit. Beliau bisa sakit parah bila makin nasi. Satu dua biji nasi akan menjadi bencana besar baginya.

Sebagai kepala keluarga Sao Seke Sina dan Kepala Suku Belu, beliau berperan menyelenggarakan kegiatan kultural dan pelestarian nilai-nilai budaya. Misalnya pesta reba (semacam hari tahun baru masyarakat Ngada). Sebagai kepala suku, beliau mengatur anggota suku dengan baik misalnya berkaitan dengan pembagian tanah. Beliau juga memberikan perhatian untuk orang-orang di luar suku.

Kak Aloysius Wolo Bhoki adalah figur pemersatu dan pengayom. Dia ibarat pohon beringin yang selalu melindungi dan mengayomi. Dia memberikan rasa nyaman pada semua. Dia mengajak semua untuk "papa gani" atau mengajak semua masuk dan persekutuan persaudaraan.

Beliau menanamkan nilai-nilai hidup bagi keluarga maupun anggota suku. Beliau menjunjung tinggi Religiositas. "Mae rebho Dewa zeta ne'e nitu zale". Jangan pernah lupa dengan Tuhan.

 

Menghargai kemanusiaan

Beliau amat menghargai kemanusiaan. "Bodha molo ngata go kita ata". Artinya menjunjung tinggi martabat luhur kemanusiaan. Beliau juga mengajak generasi baru untuk berkaca pada para pendahulu. "Bodha dheko da be'o, tedu da bepu". Mereka adalah "Kaca Benggala" penghayatan nilai-nilai kemanusiaan.

Nilai-nilai kemanusiaan itu sifatnya universal. "Modhe nee hoga woe, meku ne'e doa delu". Artinya berbaik hati dengan teman, sahabat dan lembut dengan saudara.

Beliau juga mengajak untuk merangkul yang miskin, susah dan tidak berpunya. "Maku nee fai walu, kago ne'e da ana halo". Selalu berpihak pada yang lemah. Sebagai kepala suku, kak Alo mengatur pembagian tanah suku untuk semua anak cucu. Bahkan dia juga memberikan lahan garapan untuk mereka yngg tak memiliki lahan.

Beliau juga mengajak untuk hormat terhadap harta milik sesama. "Go ngata, go ngata. Go tenge go tenge". Kita mesti bisa membedakan milik sesama dan milik kita. Supaya memiliki sesuatu kita mesti kerja. Hanya pekerja ulet yang bisa menikmati keringat sendiri.

Kak Aloysius Wolo Bhoki sudah pergi. Beringin itu sudah tumbang. Semoga anak cucu tetap bersatu. Persaudaraan tidak pernah boleh "tumbang" karena kepergian figur pemersatu.

Miu kena Seke Sina magha sama ne'e da Manu Pada, papa sia ne'e da Rajo Ringa. Hoga Belu papa meku ne'e doa delu, papa modhe ne'e ana woe dhapi hoga woe, papa gani ne'e kae azi, papa peja ne'e ine weta, papa enga ne'e tua eja". Papa geu magha, papa pedu pata nee masa HOGA SARA. Sara kampung kita. Kampung indah di balik rumpun-rumpun bambu.

Kak Aloysius Wolo Bhoki. Terima kasih atas kebersamaan dan hari-hari indah bersamamu. Semoga engkau menikmati kebahagiaan di sisi Tuhan sesuai keharuman amal mu di dunia. Doakan weta kami Elisabeth Ngao Tai dan semua anak cucu. Doa agar beringin-beringin baru bertumbuh di Seke Sina, kampung Lodo dan Woe Belu.

RD Stefanus Wolo Itu, imam Keuskupan Agung Ende, saat ini berkarya di Swiss

Komentar