Breaking News

SASTRA Anugerah Kepenyairan Adiluhung 2023 Prof. Dr. Abdul Hadi WM, Kembali ke Akar 10 Aug 2023 21:05

Article image
Acara tasyakuran atas Anugerah Kepenyairan Adiluhung 2023 dari Yayasan Hari Puisi Indonesia untuk Prof. Dr. Abdul Hadi WM, Sastrawan dan Guru Besar Universitas Paramadina, Rabu (9/8/2023). (Foto: Ist)
Sastra Timur dan Islam tak kalah kaya dan dalam. Di Timur dan Islam, tradisi intelektual tersimpan dalam karya-karya sastra. Karena itu, penggalian pemikiran dan ide-ide hebat dimulai dari menengok khazanah sastra Timur dan sastra Islam sebagai warisan

JAKARTA, IndonesiaSatu.co - Universitas Paramadina menyelenggarakan tasyakuran atas Anugerah Kepenyairan Adiluhung 2023 dari Yayasan Hari Puisi Indonesia untuk Prof. Dr. Abdul Hadi WM, Sastrawan dan Guru Besar Universitas Paramadina, Rabu (9/8/2023). 

Pada acara tersebut ditampilkan pembacaan puisi-puisi karya Abdul Hadi WM dan testimoni kiprah dan kontribusi Abdul Hadi WM dalam dinamika sastra dan tradisi intelektual di Indonesia yang bertempat di Auditorium Nurcholish Madjid Universitas Paramadina.

“Prof. Dr. Abdul Hadi WM telah menunjukan kepeloporan dan warisan karya adiluhungnya. Generasi baru, murid-muridnya harus bisa menjejaki seperti Prof. Abdul Hadi WM,” kata   Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini, dalam sambutannya.

Didik menegaskan bahwa murid yang baik adalah yang lebih hebat dari gurunya.

Kaprodi Magister Ilmu Agama Islam, Dr. M. Subhi-Ibrahim, menyebutkan juga bahwa Abdul Hadi WM adalah maestro puisi sufistik di Indonesia dan dunia. Dalam karya-karyanya, Abdul Hadi WM mengajak untuk mengalami pengalaman spiritual, rohaniyah yang ia rasakan.

Subhi menjelaskan latar belakang diadakannya kegiatan ini. “Krisis terbesar bangsa adalah krisis kemanusiaan yang merupakan anak kandung dari terbengkalainya kebudayaan. Penyebabnya, pengabaian serius hal fundamental, yaitu pendidikan,” jelasnya.

Sejatinya, katanya, pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia dengan mengeluarkan potensi-potensi terbaiknya. “Nyatanya sistem pendidikan, di dalamnya lembaga pendidikan (sekolah, perguruan tinggi) diarahkan agar manusia menjadi manusia siap pakai bak ‘robot-robot’ tukang, penghambah uang, pengabdi kapital,” papar Subhi.

Hal ini mengakibatkan manusia ahli dalam keterampilan-keterampilan, namun lemah dalam aktualisasi nilai kemanusiaan dan moralitas. “Maka kemudian, lahirlah orang-orang bertitel, bersekolah tinggi tapi, hakikatnya, tak berpendidikan. Hanya menjadi orang terpelajar, tapi bukan orang terdidik.  Fakta keseharian kita menunjukan korupsi terbesar dilakukan orang-orang berijazah,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa pendidikan perlu menghidupkan “humaniora”, yaitu memanusiakan manusia. Sastra, filsafat dipandang tak penting dalam pasar keseharian. Sastra dipinggirkan dan disingkirkan, hanya menjadi pelengkap kurikulum. Padahal, sastra mengajak manusia menghayati keindahan, nilai, dan mendengar pikiran jernih dan kebeningan nurani.

“Sastra menumbuhkan dan mengembangkan dimensi kemanusiaan paling esensial. Sastra memanusiakan manusia. Perlu ada oase-oase budaya yang menampilkan dan mengapresiasi puncak-puncak pencapaian dalam bidang humaniora, khususnya sastra,” bebernya.

Dalam sepatah katanya,  Prof. Abdul Hadi WM mengingatkan bahwa  kita terlalu sering merujuk ke Barat, termasuk dalam sastra.

"Padahal, Sastra Timur dan Islam tak kalah kaya dan dalam. Di Timur dan Islam, tradisi intelektual tersimpan dalam karya-karya sastra. Karena itu, penggalian pemikiran dan ide-ide hebat dimulai dari  menengok khazanah sastra Timur dan  sastra Islam sebagai warisan yang wajib dilanjutkan oleh generasi baru,” pungkasnya. ***

--- F. Hardiman

Komentar