Breaking News

HUKUM IPW Kecam Penangkapan Anggota Densus 88 oleh Anggota BAIS TNI, Sugeng: Ini Insiden Berulang, Presiden Prabowo Harus Reeponsif 07 Aug 2025 11:14

Article image
Ketua Indonesia Police Watch (IPW) , Sugeng Teguh Santoso. (Foto: Ist)
"Karena ini menyangkut institusi, maka perhatian serius Presiden Prabowo sangat dibutuhkan guna menegur serta meluruskan fungsi dan tugas antara Polri, Kejaksaan dan TNI,” tandas Sugeng.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co-- Indonesia Police Watch (IPW) mengecam keterlibatan anggota Badan Intelijen Strategis Tentara Nasional Indonesia (BAIS TNI) yang menangkap disertai penganiayaan dan mengekang kebebasan seorang anggota Densus 88 Polri, Briptu F. 

Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso, dalam keterangannya, Selasa (5/8/2025), menegaskan bahwa tindakan anggota BAIS TNI itu tanpa kewenangan dan dilakukan secara sewenang-wenang hanya atas permintaan seorang warga sipil, FYH, dalam insiden Hotel Borobudur pada 25 Juli 2025 lalu.

Sugeng menyoroti hal itu menanggapi pemberitaan media bahwa ada anggota Densus 88 yang sedang menguntit seorang warga sipil berinisial FYH yang sedang makan dengan seseorang berinisial MN di Bogor Cafe Hotel Borobudur pada 25 juli 2025 lalu. 

Sugeng mengungkapkan, penguntitan itu diketahui oleh FYH, sehingga FYH diduga menghubungi petinggi TNI, kemudian datang personil dari BAIS TNI menangkap dan menahan Briptu F.

Menurut Sugeng, atas peristiwa pidana yang menimpa Briptu F, maka adalah dibenarkan oleh hukum jika pihak kepolisian (Polda Metro Jaya) melakukan penyelidikan dan penyidikan perkara penganiayaan dan penculikan, termasuk di dalamnya melakukan penangkapan terhadap FYH yang terlibat dalam peristiwa pidana tersebut. 

"Termasuk di dalamnya melakukan penggeledahan pada tempat-tempat tertentu untuk semakin terang perkara pidana penganiayaan dan penculikan, bahkan harus menggeledah tempat atau rumah pejabat hukum,” kata Sugeng. 

Insiden Berulang 

Dalam catatan IPW, Sugeng menyampaikan bahwa insiden anggota Densus 88 yang ditangkap oleh personil TNI, merupakan yang kedua kalinya dalam waktu dua tahun ini.

Sugeng menyebutkan, insiden pertama terjadi pada Mei 2024 lalu. 

Dalam kasus itu, Brigadir Iqbal Mustofa yang diberitakan sedang membuntuti Jampidsus Febrie Adriansyah, ditangkap oleh POM TNI.

“Fenomena penangkapan anggota Polri oleh personil TNI adalah fenomena yang menarik, karena personil masing-masing pihak dalam tugas dan perintah dari atasan masing-masing, menunjukkan bahwa praktek penindakan hukum anggota Polri oleh TNI terkesan mengulang peristiwa sebelum berlakunya UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia; di mana saat itu Polri berada di bawah institusi TNI (sebelumnya ABRI),” singgungnya.

Padahal, timpal Sugeng, sesuai UU Nomor 2 Tahun 2002 saat ini, Polri tidak berada di bawah perintah dan tunduk pada TNI, tetapi berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.

"Artinya, jika terdapat anggota Polri yang diduga melanggar kode etik, disiplin, maupun tindakan pidana, maka anggota Polri akan ditindak oleh Propam dan juga diproses pidana oleh Polri sendiri," jelas Sugeng. 

Sementara berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 2025 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), secara jelas diatur kewenangan TNI tidak termasuk di dalamnya melakukan penindakan terhadap anggota Polri. 

"Kendati demikian, terdapat perluasan wewenang TNI dalam beberapa aspek, termasuk penanganan ancaman siber dan perlindungan warga negara di luar negeri,” terangnya.

Catatan Kritis IPW

Sugeng mengungkapkan, dalam insiden Hotel Borobudur pada 25 juli 2025 lalu, dengan ditangkapnya anggota Densus 88 oleh BAIS TNI, IPW mengemukakan beberapa catatan kritis yang perlu menjadi perhatian publik, termasuk institusi Polri dan TNI.

Pertama, penguntitan anggota Densus 88 terhadap warga sipil FYH berdasarkan informasi, terkorelasi dengan hubungan FYH dengan Jampidsus Febrie Adriansyah, yang juga sebelumnya pada bulan Mei 2024 terdapat peristiwa penguntitan oleh anggota Densus 88 terhadap Febrie Adriansyah. 

Oleh karena itu, publik perlu mendapatkan penjelasan; apakah dua penguntitan tersebut merupakan upaya menghalangi pemberantasan korupsi oleh Jampidsus Febrie atau memang ada dugaan pelanggaran hukum yang dikaitkan dengan Jampidsus dan warga sipil FYH yang sedang diselidiki oleh Polri melalui penugasan kepada Densus 88.

Kedua, turunnya anggota BAIS TNI yang menangkap anggota Densus 88 atas permintaan seorang warga sipil (FYH) merupakan peristiwa yang perlu dikritisi.

Pasalnya, selain karena BAIS tidak memiliki kewenangan menangkap, menginterogasi, bahkan menahan anggota Densus 88,juga terdapat kesan institusi TNI digunakan oleh warga sipil untuk menjadi "backing" terselubung.

Ketiga, dengan dua kali insiden ditangkapnya anggota Densus 88 dalam operasi penguntitan, menjadi pertanyaan tentang profesionalisme institusi Densus 88 dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya.

Sugeng menegaskan, IPW terus mendorong pihak Kepolisian untuk terbuka dalam mempublikasikan apa sebenarnya yang terjadi dalam kasus penangkapan dan penguntitan anggota Densus 88 tersebut.

"Karena ini menyangkut institusi, maka perhatian serius Presiden Prabowo sangat dibutuhkan guna menegur serta meluruskan fungsi dan tugas antara Polri, Kejaksaan dan TNI,” tandas Sugeng.

--- Guche Montero

Komentar