HUKUM Catatan Akhir Tahun IPW: Gelar Perkara Khusus Rawan Penyimpangan 29 Dec 2025 17:31
Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso mengatakan, sepanjang 2025 IPW mencermati adanya kecenderungan GPK digunakan untuk menghentikan penyelidikan atau penyidikan perkara pidana.
JAKARTA, IndonesiaSatu.co - Indonesia Police Watch (IPW) menilai, Gelar Perkara Khusus (GPK) di Biro Pengawasan Penyidikan (Wassidik) Bareskrim Polri rawan penyimpangan dan berpotensi menjadi ”lahan bisnis” atau ”komoditi dagangan” dalam penanganan perkara pidana.
Penilaian tersebut disampaikan IPW dalam Catatan Akhir Tahun 2025 yang dipaparkan di Jakarta, Senin (29/12/2025).
Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso mengatakan, sepanjang 2025 IPW mencermati adanya kecenderungan GPK digunakan untuk menghentikan penyelidikan atau penyidikan perkara pidana yang sejatinya telah memiliki dua alat bukti yang cukup, atau sebaliknya, melanjutkan perkara yang tidak didukung kecukupan alat bukti.
”Forum GPK berpotensi dijadikan komoditas. Ada kepentingan agar arah penanganan perkara bisa diubah sesuai pesanan pihak yang berkepentingan,” ujar Sugeng melalui pernyataan tertulis di Jakarta.
Menurut IPW, ada oknum perwira yang bertugas di Biro Wassidik Bareskrim Polri diduga menjadi pintu masuk praktik perdagangan GPK tersebut. Sekaligus berperan melakukan ”penggalangan” sesama peserta gelar, sekaligus mengondisikan rumusan hasil GPK. Modus yang digunakan antara lain memanipulasi fakta, menyembunyikan fakta, menghilangkan fakta, melakukan tekanan psikologis terhadap tim penyidik, dan mengubah arah kebenaran perkara.
”Tekanan psikologis itu bertujuan menjatuhkan moril penyidik agar bersikap kompromis dan bersedia mengubah arah kebenaran perkara. Bahkan, rekomendasi dan kesimpulan GPK diduga telah disiapkan sebelum gelar perkara berlangsung,” kata Sugeng.
IPW menilai, dugaan permufakatan jahat dalam pengaturan GPK merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang individual yang telah lama dikeluhkan masyarakat pencari keadilan. Dalam catatan tersebut, IPW mengutip pernyataan anggota Komisi III DPR RI Irjen Pol. (Purn.) Safaruddin yang menyebut penegakan hukum di Polri kerap diwarnai penyimpangan. ”Masalah lidik (penyelidikan) menjadi sidik (penyidikan), di situ ujung-ujungnya duit,” ujar Safaruddin dalam Rapat Panja Reformasi Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan Komisi III DPR RI, Kamis (4/12/2025).
Sugeng juga memaparkan data Biro Wassidik Bareskrim Polri periode triwulan II 2024 (April-Juni). Pada periode tersebut, tercatat 1.289 pengaduan masyarakat masuk, dengan dumas riil sebanyak 933 perkara. Dari jumlah itu, tindak lanjut penanganan meliputi penerbitan Surat Perintah Pengawasan (Sprin Was) sebanyak 1.001 perkara, permintaan Laporan Kemajuan (Lapju) 846 perkara, Surat Pemberitahuan Perkembangan Penanganan Dumas (SP3D) 998 perkara, GPK 32 perkara, supervisi 7 perkara, dan pelimpahan 3 perkara.
”Artinya, hanya sekitar 3,5 persen dari 933 perkara yang diatensi melalui GPK. Fakta ini menunjukkan GPK sangat rawan disimpangkan dan menjadi komoditas bernilai mahal, terutama untuk perkara yang berkaitan dengan sengketa perusahaan pertambangan,” tutur Sugeng.
IPW mengkualifikasi dugaan penyimpangan tersebut sebagai kejahatan serius, karena dilakukan oleh pejabat pengemban fungsi pengawasan penyidikan. Praktik demikian dipandang melanggar Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian RI, khususnya Pasal 10 ayat (1) huruf c yang melarang pejabat Polri merekayasa dan memanipulasi perkara.
Sekretaris Jenderal IPW Data Wardhana menegaskan, Catatan Akhir Tahun IPW 2025 disampaikan sebagai momentum untuk mendorong perbaikan tata kelola Biro Wassidik Bareskrim Polri. ”Utamanya ketentuan-ketentuan yang mengatur GPK sebagai bagian integral terpenting dalam reformasi yang perlu diwujudkan Polri,” tukasnya.
Dugaan Mafia Hukum
Dalam Catatan Akhir Tahun, IPW secara khusus menyoroti pelaksanaan GPK di Biro Wassidik Bareskrim Polri pada 11 Desember 2025 yang berkaitan dengan Laporan Polisi Nomor LP/B/550/XI/2025/SPKT/BARESKRIM Polri tertanggal 6 November 2025.
Sugeng menjelaskan, berdasarkan dokumen perseroan yang tercatat dalam Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) Kementerian Hukum dan HAM, PT Alam Raya Abadi (PT ARA) merupakan perusahaan penanaman modal asing (PMA) dengan Direktur Utama Liu Xun, sebagaimana tercantum dalam Akta Nomor 7 yang dibuat di hadapan Notaris Humberg Lie pada 4 Juni 2013. Sebanyak 90,6 persen saham PT ARA dimiliki Allestari Development Pte. Ltd yang berbasis di Singapura.
Namun, tanpa sepengetahuan dan persetujuan Liu Xun selaku Direktur Utama dan pemegang saham mayoritas, telah terjadi perubahan pengurusan PT ARA. Christian Jaya, Wang Jinglei, dkk – orang yang tidak berwenang melakukan perubahan pengurusan – mengubah pengurusan PT ARA dengan mendalilkan berdasarkan kuasa dari Shi Yan Bing (yang tidak mempunyai kekuasaan untuk bertindak atas nama Allestari Pte. Ltd), juga tanpa melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sebagaimana ketentuan anggaran dasar perseroan.
”Perubahan pengurusan PT ARA dilakukan melalui Akta Nomor 87 tanggal 27 September 2022, yang dibuat oleh notaris di Jakarta Selatan Khairani ‘Arifah, S.H., M.Kn., Weng Jinglei ditetapkan sebagai Direktur Utama dan Christian Jaya sebagai Komisaris,” kata Sugeng.
Akta tersebut telah dicatat di Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) berdasarkan Surat Penerimaan Pemberitahuan Perubahan Data Perseroan Nomor AHU-AH.01.09-0060460 tanggal 30 September 2022.
IPW menegaskan, penerbitan Akta Nomor 87 tanggal 27 September 2022, dibuat dengan merujuk pada akta yang telah terbukti mengandung pidana pemalsuan, sebagaimana Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 596/Pid.B/2024/PN.Jkt.Sel juncto Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 312/Pid/2024/PT.DKI tanggal 27 Desember 2024 dan telah berkekuatan hukum tetap. Yakni, akta Nomor 04 tanggal 30 September 2020 dan akta Nomor 01 tanggal 5 Oktober 2020 tentang Keputusan Sirkuler di Luar Rapat Umum Pemegang Saham PT ARA yang dibuat di hadapan Notaris Muhammad Siddiq di Palembang,” jelas Sugeng Teguh Santoso.
Data Wardhana menambahkan, perubahan pengurusan PT ARA tersebut juga bertentangan dengan sejumlah putusan Pengadilan Tinggi Singapura yang dapat dipakai sebagai bukti surat. Pada 26 Mei 2022, Pengadilan Tinggi Singapura menerbitkan Putusan Sela Nomor HC/SUM 5682/2021 yang mewajibkan kedudukan Liu Xun sebagai Direktur Utama PT ARA berada dalam status quo dan tidak boleh diganti atau dikurangi kewenangannya.
Putusan tersebut diperkuat oleh putusan Pengadilan Tinggi Singapura tanggal 8 Juni 2023 dalam perkara HC/ORC 1177/2021 serta putusan banding AD/CA 61/2023 tanggal 31 Januari 2024 yang telah berkekuatan hukum tetap. Seluruh putusan itu melarang pemberhentian, pengurangan kewenangan, maupun pengambilalihan kendali manajemen PT ARA.
”Meskipun gugatan Liu Xun untuk mengembalikan posisinya pada profil PT ARA di Dirjen AHU ditolak Pengadilan Singapura pada 29 Agustus 2024 dengan alasan formil dan yuridiksi. Urusan perubahan profile company pada Dirjen AHU bukan menjadi yuridiksi Pengadilan Tinggi Singapura. Namun substansi perlindungan hukum dalam Pengadilan Tinggi Singapura tanggal 8 Juni 2023 dalam perkara HC/ORC 1177/2021 terhadap kedudukan Liu Xun tetap berlaku,” ujar Data.
IPW menilai, dari perspektif hukum pidana, Akta Nomor 87 tanggal 27 September 2022 terkonfirmasi mengandung dugaan tindak pidana pembuatan surat palsu berupa akta autentik dan/atau penggunaan surat palsu sebagaimana diatur dalam Pasal 263 dan Pasal 266 KUHP.
Dugaan Praktik Perdagangan Pengaruh
Sugeng mengungkapkan, pada 1 Desember 2025 Christian Jaya mengajukan pengaduan masyarakat dan meminta agar Biro Wassidik Bareskrim Polri menggelar GPK, terdapat praktik perdagangan pengaruh (trading in influence) yang diduga melibatkan mantan Kabareskrim Polri Komjen Pol. (Purn.) IS. Sebelum GPK digelar, Christian Jaya juga diduga telah bermufakat dengan oknum perwira Polri, Kombes Pol. FLH, dengan tujuan menghentikan penyelidikan
Nama Kombes Pol. FLH bukan kali pertama muncul dalam laporan IPW. Perwira tersebut sebelumnya juga pernah dilaporkan terkait dugaan praktik mafia hukum dalam pelaksanaan GPK pada 16 Juli 2024.
”Dalam perkara sebelumnya, modus yang digunakan serupa, yakni mengubah arah kebenaran perkara melalui forum GPK, termasuk dengan menggunakan ahli pidana yang diajukan oleh pihak pendumas, bukan dari Biro Wassidik Bareskrim Polri,” kata Sugeng.
Sugeng menjelaskan, GPK pada 11 Desember 2025 dipimpin oleh Kombes Pol. Paran Simarmata, S.I.K. Dalam pembukaan gelar perkara, pimpinan gelar disebut memarahi dan menghardik Kanit Subdit 5 Dittipiter Bareskrim Polri AKBP Alaiddin, S.H., S.I.K. di hadapan seluruh peserta gelar.
”Peristiwa seperti itu hal biasa dalam GPK di Biro Wassidik Bareskrim Polri yang sudah memiliki agenda berdasarkan pesanan pendumas. Itu merupakan bentuk tekanan psikologis awal terhadap tim penyidik agar selanjutnya bersikap kompromis terhadap kesimpulan dan rekomendasi yang telah disusun sebelumnya,” ujar Sugeng.
Dalam pelaksanaan GPK tersebut, Christian Jaya selaku pihak pendumas menyerahkan bukti surat yang diduga palsu berupa cover note atau surat keterangan yang isinya tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Dokumen tersebut seolah-olah dibuat oleh Notaris Raden Mas Soediarto Soenarto, S.H., Sp.N., dengan disertai surat yang ditujukan kepada Direktur Tindak Pidana Tertentu (Dirtipiter) Bareskrim Polri.
”Dokumen itu digunakan untuk mendelegitimasi legal standing terduga terkait Akta Perjanjian Kerja Sama Pengelolaan Tambang Nikel Nomor 25 tanggal 30 September 2017, yang seolah-olah tidak pernah dikeluarkan oleh notaris yang bersangkutan,” ucap Sugeng.
Padahal, menurut IPW, Akta Perjanjian Kerja Sama Pengelolaan Tambang Nikel Nomor 25 tanggal 30 September 2017 tersebut secara hukum sah dan benar telah dikeluarkan oleh Notaris Raden Mas Soediarto Soenarto, S.H., Sp.N. Hal ini ditegaskan melalui Akta Pernyataan Nomor 375 yang dikeluarkan oleh Notaris Hambit Maseh, S.H. di Jakarta Pusat, serta telah sesuai dengan ketentuan Pasal 102 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Sugeng menyebut, setelah Christian Jaya menyerahkan dokumen yang diduga palsu tersebut kepada pimpinan gelar, peserta GPK seperti telah terorkestrasi untuk mempersoalkan legal standing terdumas. ”Ironisnya, aspek dugaan pidana yang dipersangkakan dalam laporan polisi tersebut, yang bukti-buktinya telah terang benderang dan memenuhi kecukupan alat bukti, justru tidak pernah didalami dan tidak disinggung oleh peserta gelar,” ujar Sugeng.
Sekjen IPW Data Wardhana menambahkan, penggunaan dokumen yang diduga palsu dalam GPK tersebut sebenarnya telah dijelaskan secara tertulis oleh pihak notaris. Penjelasan tersebut disampaikan melalui surat Raden Mas Harsa Kusumasakti, putra dari Notaris Raden Mas Soediarto Soenarto, kepada Dirtipiter Bareskrim Polri, dengan tembusan kepada Kepala Biro Wassidik Bareskrim Polri Brigjen Pol. Boy Rando Simanjuntak.
”Surat klarifikasi itu telah diterima pada 12 Desember 2025. Namun, fakta yang berisifat fundemantal itu telah diabaikan, tidak dijadikan dasar pertimbangan dalam GPK,” ujar Data.
Menurut IPW, Kepala Biro Wassidik Bareskrim Polri Brigjen Pol. Boy Rando Simanjuntak justru dinilai bersikap tak acuh dan secara gegabah menyampaikan distorsi informasi kepada Kabareskrim Polri. Distorsi itu berkaitan dengan pernyataan bahwa Akta Perjanjian Kerja Sama Pengelolaan Tambang Nikel Nomor 25 tanggal 30 September 2017 yang dikeluarkan oleh Notaris Raden Mas Soediarto Soenarto adalah palsu.
”Kepala Biro Wassidik Bareskrim Polri Brigjen Pol. Boy Rando Simanjuntak mengakomodir mentah-mentah dalil pendumas Christian Jaya yang pada pokoknya menyatakan legal standing terdumas diduga palsu. Jangan salahkan masyarakat apabila muncul dugaan ada suap dalam kasus ini,” kata Data.
Berdasarkan dokumen cover note atau surat keterangan yang diduga palsu dan tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya itu, Kepala Biro Wassidik Bareskrim Polri kemudian sependapat untuk merekomendasikan agar penyelidikan atas Laporan Polisi Nomor LP/B/550/XI/2025/SPKT/BARESKRIM Polri tertanggal 6 November 2025 dihentikan.
IPW memandang, dalam proses perumusan rekomendasi dan kesimpulan GPK tanggal 11 Desember 2025 tersebut, Biro Wassidik Bareskrim Polri telah memakai dokumen yang diduga palsu dan/atau tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. ”Jika dilihat dari aspek etik, hal itu berpotensi melanggar Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian RI, khususnya Pasal 10 ayat (1) huruf c yang melarang pejabat Polri merekayasa dan memanipulasi perkara yang menjadi tanggung jawabnya dalam rangka penegakan hukum,” ujar Sugeng.
IPW akan bersurat kepada Kapolri untuk meminta Irwasum Polri melakukan pemeriksaan internal terhadap Karo Wassidik Bareskrim Polri dan peserta GPK 11 Desember 2025. ”Sungguh sangat mengherankan, di tengah sorotan tajam masyarakat ke institusi Polri, masih ada pejabat Polri yang berani bertindak menyimpang,” ujar Sugeng lagi.
IPW mengkualifikasi perkara ini sebagai dugaan kejahatan kerah putih (white collar crime) yang diduga dilakukan oleh Christian Jaya, yang juga berprofesi sebagai advokat. Dugaan kejahatan tersebut, menurut IPW, bertumpu pada kekuatan perdagangan pengaruh (trading in influence) yang diduga melibatkan mantan Kabareskrim Polri Komjen Pol. (Purn.) IS, serta dugaan aliran dana dari hasil kejahatan pertambangan ilegal atau illegal mining. (*)
--- F. Hardiman
Komentar