Breaking News

HUKUM Kecam Oknum Polisi Pelaku Kekerasan di Mabar, TPDI: Potret Buram Penindakan Hukum di NTT 14 Apr 2020 01:08

Article image
Koordinator TPDI dan Advokat PERADI, Petrus Selestinus. (Foto: Dok. PS)
"Peristiwa kekerasan fisik yang dilakukan anggota Polisi terhadap warga NTT, hampir sering terjadi. Namun, langkah penindakan oleh Pimpinan Polri (Kapolri, red) nyaris tak terdengar. Ini potret buram penegakan hukum yang mencoreng citra institusi Polri d

JAKARTA, IndonesiaSatu.co-- Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) mengecam tindakan kekerasan yang dilakukan oleh oknum Polisi terhadap para pemuda di Manggarai Barat, NTT, Sabtu (11/4/20).

Koordinator TPDI, Petrus Selestinus, dalam keterangannya kepada media ini, Senin (13/4/20)menyoroti bahwa tindakan kekerasan fisik yang dilakukan oleh oknum Polisi, khususnya di wilayah hukum NTT, bukan pertama kali terjadi. Meski demikian, nyaris tak terdengar langkah penindakan hukum dari Pimpinan Polri terhadap para oknum Polisi tersebut.

"Peristiwa kekerasan fisik yang dilakukan anggota Polisi terhadap warga NTT, hampir sering terjadi. Namun, langkah penindakan oleh Pimpinan Polri (Kapolri, red) nyaris tak terdengar. Ini potret buram penegakan hukum yang mencoreng citra institusi Polri dan tingkat kepercayaan masyarakat," sorot Petrus.

Petrus menyentil, peristiwa kekerasan fisik yang diduga dilakukan anggota Polres Manggarai Barat terhadap 9 anak muda di Labuan Bajo, merupakan peristiwa yang kesekian kali terjadi, namun publik tidak pernah tahu kelanjutan proses hukum terhadap oknum polisi tersebut, malah pelaku tiba-tiba naik pangkat dan jabatan serta pindah (mutasi) ke daerah lain.

“Model penanganan hukum dengan kekerasan fisik merupakan potret buram wajah bopeng polisi di NTT. Harapan publik untuk mendapatkan kualitas Polisi yang profesionalismenya terukur (Polisi PROMOTER, red) masih jauh panggang dari api. Karena Polisi mengabaikan wajah penegakan hukum yang berwatak mengayomi, mengedukasi dan memberikan ketenteraman tanpa kekerasan,” kata Petrus.

Advokat Peradi ini beralasan sesuai fakta kasus yang terjadi di Mabar, di mana 3-5 dari 9 anak muda di Labuan Bajo mengalami kekerasan fisik hingga pelipis kiri dan kanan terluka, kulit kepala belakang sobek, pipi memar/lebam, membuktikan bahwa penggunaan kekerasan fisik masih menjadi metode yang diandalkan Polisi atas nama penindakan di lapangan. Padahal, metode demikian sudah dilarang dan tidak menjadi bagian di dalam prosedur Upaya Paksa sebagaimana diatur dalam pasal 112 ayat (1) KUHAP.

Tindak Pidana oleh Polri Harus Diproses

Menurut Petrus, masyarakat butuh Polisi yang bertindak tegas, cepat dan taat asas, tetapi masyarakat juga memahami jika di lapangan terjadi ekses berupa kekerasan fisik yang dilakukan oleh anggota Polisi terhadap anggota masyarakat. Namun masyarakat belum melihat buah dari penindakan secara pidana yang dilakukan oleh Pimpinan Polri terhadap oknum anggota yang melakukan kekerasan fisik untuk dimintai pertanggungjawaban secara pidana.

“Kita menyatakan protes keras dan mengecam apa yang terjadi dengan 9 anak muda di Labuan Bajo, karena anggota Polisi yang diperintahkan atas nama Pengamanan terhadap anjuran Pemerintah untuk Social Distancing dan PSBB demi melindungi warga dari ancaman Covid-19, justru melakukan kekerasan fisik tanpa memikirkan akibatnya sebagai tindak pidana,” ucap Petrus.

Kalau saja kekuatan Polisi, lanjut dia, yang ditugaskan tidak seimbang dengan kekuatan perlawanan 9 anak muda dimaksud, mengapa jumlah anggota Polisi tidak diperbanyak sebelum dilakukan Upaya Paksa. Demikian juga klarifikasi Kapolres Mabar melalui releasenya, bahwa anak-anak muda itu melakukan perlawanan sehingga anggota Polisi dan Dalmas melakukan Upaya Paksa tanpa menyinggung insiden kekerasan fisik.

"Pernyataan Kapolres Mabar bahwa pihaknya melakukan Upaya Paksa, jelas merupakan upaya menutup-nutupi kekerasan fisik yang sudah terjadi dengan memanipulasi sejumlah fakta, lalu mem-publish kebohongan kepada publik dengan berlindung di balik Upaya Paksa. Padahal, Upaya Paksa di dalam pasal 112 ayat (1) KUHAP adalah penangkapan, penahanan, penggeledahan, pemeriksaan dan wajib lapor Polisi (tanpa ada tahapan tentang kekerasan fisik), jika ada tindak pidana," tegasnya.

Kapolres Mabar Bersikap Tidak Jujur

Petrus menimpali upaya membawa 9 anak muda ke Polres Mabar.

"Apakah karena mereka tertangkap tangan? untuk tindak pidana apa? Mengingat Kapolres Mabar, AKBP Handoyo Santoso, menggunakan nomenklatur Upaya Paksa, terhadap 9 anak muda yang disebut sedang berkerumun, itu sesungguhnya sedang mengisolasi dirinya sendiri dalam rangka Social Distancing,” timpal Petrus.

Petrus menilai, Kapolres Mabar, AKBP Handoyo Santoso, dalam keterangan rilisnya sama sekali tidak menyinggung mengenai damapak kekerasan fisik yang dialami oleh anak-anak muda yang terkena Upaya Paksa. 

Jika kekerasan fisik itu masuk di dalam paket Upaya Paksa, lanjutnya, maka kapan hal itu terjadi dan untuk kejahatan apa? Apakah di awal sebelum penangkapan atau sesudah, atau justru sesuka Polisi saat Upaya Paksa dilakukan.

Menurutnya, tidak adanya klarifikasi dari AKBP Handoyo Santoso bahwa di TKP terjadi kekerasan fisik terhadap anak-anak muda yang sedang mengisolasi diri secara mandiri, dapat dinilai publik bahwa AKBP Handoyo Santoso telah memanipulasi fakta-fakta yang ada dan hanya menonjolkan Prosedur Penugasan Anggotanya ke TKP guna melakukan Upaya Paksa.

"Sikap tegas Polisi memang sangat dibutuhkan. Namun, sikap bijak dan terukur dalam bertugas adalah prinsip utama dari Polisi PROMOTER, yang diadopsi dari nilai-nilai dan semangat HAM di dalam KUHAP. Polisi tidak diberi wewenang untuk melakukan pendekatan dengan kekerasan, jika pelaku atau target yang dihadapi masih dapat diajak dialog dan tidak melakukan perlawanan dengan kekerasan fisik terhadap Polisi,” tandas Petrus.

--- Guche Montero

Komentar