Breaking News

REFLEKSI 'Merasa Bisa' dan 'Bisa Merasa' 30 Apr 2024 19:15

Article image
Kita perlu belajar untuk sadar dan tahu, sebaiknya di mana kita berada, bagaimana kita berkiprah, dengan cara apa kita mengabdi, dan untuk tujuan apa kita berjuang.

Oleh Valens Daki-Soo

Awal tahun 2010, tatkala sedang berada di Flores, saya diajak ngobrol oleh beberapa teman separtai. "Pak VDS, bagaimana kalau Pak VDS maju ke Pemilukada Nagekeo 2013?" Begitu seorang kader partai bertanya lugas. Disebut pula beberapa nama untuk menjadi tandem dalam berlaga di arena politik daerahku itu. Ditanya lugas, saya pun menjawab lugas, "Terima kasih, Bung. Seperti teman-teman, saya pun mencintai Nagekeo. Saya mencintai tanah Flores, saya mencintai negeri ini. Saya berjuang untuk menjadi orang Nagekeo yang baik dan berprestasi, tetapi tidak mesti dengan menjadi bupati."

Obrolan berlanjut dan saya memungkas dengan pernyataan, "Dari mana saja, dengan cara apapun yang positif, kita bisa menyumbang sesuatu untuk Nagekeo." Sikap yang sama secara benderang ditunjukkan kepada pimpinan partai di pusat, ketika saya beberapa kali ditanyakan atau diminta kesediaan untuk maju ke arena tersebut.

"Merasa bisa dan bisa merasa" -- ini ungkapan bijak yang saya petik dari kearifan Jawa. Pribadi yang arif, jernih dan rasional mestinya mengenal diri serta mengetahui serba potensi dan kemampuan maupun titik-titik lemah kepribadiannya. Anda dan saya memang "sip" alias "oke" dalam satu atau beberapa hal, namun serentak "tidak sip" alias "kurang oke" dalam satu atau beberapa hal lain. Kita memang tidak sempurna, tetapi tentu kita berjuang tanpa henti untuk selalu menjadi lebih baik.

Kerapkali orang "merasa bisa" menjadi pemimpin, namun tidak dibarengi kemampuan "bisa merasa" adanya hal-hal kontras dari dirinya yang berpotensi melumpuh-layukan daya kepemimpinan dan oleh karenanya merugikan kepentingan banyak orang. Kita patut kagum dan hormat kepada para pemimpin berjiwa samurai seperti di Jepang yang berani mengundurkan diri jika gagal atau 'bermasalah'. Dengan spirit "bushido" yang amat menekankan kehormatan dan martabat diri -- sekaligus menghormati martabat orang lain -- mereka "tahu diri", mereka "bisa merasa" bahwa dirinya tidak pantas menjadi pemimpin.

Tentu saja, ungkapan "merasa bisa dan bisa merasa" tidak boleh dijadikan alasan untuk meremehkan potensi diri. Tidak pula dimaksud untuk mengunci seseorang dari peluang berkembang menjadi pribadi hebat. Ungkapan itu tidak ditujukan untuk membatasi ruang gerak kemajuan kita. Kita harus maju, sukses, berprestasi dan bermanfaat bagi banyak orang. Namun "merasa bisa" tanpa dibarengi sikap realistis dan obyektif, tanpa kejujuran terhadap diri sendiri, bisa bikin kita limbung dalam ketakseimbangan.

Kita perlu belajar untuk sadar dan tahu, sebaiknya di mana kita berada, bagaimana kita berkiprah, dengan cara apa kita mengabdi, dan untuk tujuan apa kita berjuang.***

Penulis adalah peminat filsafat dan psikologi, pengusaha dan politisi, Pendiri & Pemimpin Umum IndonesiaSatu.co

Komentar