Breaking News

REFLEKSI Biarkan Orang Lain Bicara Tentang Kita 09 Apr 2024 16:12

Article image
Ilustrasi. (Foto: NU Online)
Perjumpaan dengan berbagai tokoh hebat itu tidak bisa mengubah pikiran saya tentang seorang pria tua ini: beliau tokoh yang paling awal menanam nilai-nilai dalam diriku.

Oleh Valens Daki-Soo


INI nasihat ayah saya dulu tapi rasanya masih relevan-aktual. Ucapan persis dan konteks nasihatnya begini.

Saat itu, bertahun-tahun silam, saya terjerembab dalam situasi ketika saya secara pribadi maupun keluarga besar merasa "tidak dihargai", mengalami penolakan. Setiap pengalaman rejektif tentu menyakitkan secara manusiawi.

Dalam situasi murung itu saya mendekati ayahku, seorang pensiunan guru dengan karakter teladan terbaik bagi saya dan adik-adik.

"Bapa, sudah saatnya Bapa bicara. Memang Bapa seorang pendiam, bahkan terlalu pendiam. Tapi sekarang Bapa harus bicara."

Ayahku bertanya tenang, "Bapa mau bicara apa, Nak?"

"Ya. Bapa harus bicara bahwa kita juga 'mosadaki', bahwa Bapa berasal dari keluarga terpandang di kampung kita. Bapa harus bicara bahwa kita turunan leluhur hebat yang punya kebun-kebun kelapa dan pemilik tanah di kampung kita. Bapa harus bicara bahwa leluhur kita berperan sentral dalam tatanan adat budaya kampung kita. Bapa harus bicara bahwa kakek-nenek saya 'mempekerjakan' orang-orang untuk membantu bekerja di kebun-kebunnya, menjaga ternak-ternaknya, melayani kepentingannya."

Ayah saya bertanya lagi, dengan nada setenang keheningan malam, "Untuk apa Bapa bicara itu semua, Nak?"

Sebagai anak muda yang merasa harga dirinya telah terluka bahkan sobek, saya jawab lugas, "Supaya mereka yang menolak saya tahu bahwa kita terpandang di kampung/daerah kita."

Suara ayahku mendadak jadi begitu tegas dan berwibawa, "Nak, tentang siapa kita, tidak perlu kita sendiri yang bicara. Orang bisa menilai siapa kita dari sikap, perbuatan dan kata-kata kita. Dan kalau bangsawan sejati, tanpa bicara, orang bisa tahu dan 'rasa'..."

Kalimat ini sangat mempengaruhi dan meneguhkan saya, "Martabat dan kehormatan tidak bisa disembunyikan, juga tidak bisa dipadamkan oleh penghinaan."

Dan ini kalimat pemungkas yang memukul bagai palu godam, "Mosadaki (terjemahan bebas: figur terkemuka, bangsawan) selalu rendah hati."

Ayahku teladan sejati dalam hal karakter. Pujian ini bukan semata karena beliau ayah saya, bukan karena saya anaknya. Semua anak tentu membanggakan ayah mereka.

Namun, lebih daripada sekadar memuji, ini ungkapan apresiatif murni kepada seorang pria tua yang punya kesabaran, ketenangan, kekuatan jiwa dan kejujuran amat mengagumkan.

Semua pekerjaan dan pergerakan selama ini menempatkan saya dalam dinamika hidup yang mempertemukan saya dengan beraneka pribadi -- ada yang hebat-hebat dan punya reputasi tinggi. Dari mereka saya memetik banyak pelajaran.

Namun, perjumpaan dengan berbagai tokoh hebat itu tidak bisa mengubah pikiran saya tentang seorang pria tua ini: beliau tokoh yang paling awal menanam nilai-nilai dalam diriku. Termasuk soal nasionalisme dan kebanggaan pada negeri tercinta ini.

"Kita lahir di negeri yang besar dan kaya, Nak. Kelak kau akan tahu siapa itu Bung Karno. Kau akan tahu tentang besarnya negerimu ini," begitu sang guru ini bertutur kepada saya saat bocah di halaman sekolah dasar (SD) yang dipimpinnya, SDK Bengga, di bibir pantai paling magis, magnetis dan molek tiada tara.

Selamat Ultah ke-90, Bapa Yoseph, ayahku tercinta, 5 April 2024.***

Penulis adalah peminat filsafat dan psikologi, pengusaha dan politisi, Pendiri & Pemimpin Umum IndonesiaSatu.co

 

Komentar