Breaking News

REFLEKSI Silakan Kritik, Tapi Jangan Mengolok 04 May 2024 08:17

Article image
Ilustrasi. (Foto: Siloam Hospital)
Silakan melontarkan kritik dan koreksi, bersikap tegaslah menyikapi kesalahan apapun, namun tak perlu Anda secara emosional tanpa henti membombardir orang lain yang tergelincir dalam kejatuhan moral di berbagai medsos.

Oleh Valens Daki-Soo

Kritik itu penting, mengoreksi orang lain juga perlu, sama seperti kita pun butuh kritik korektif dari orang lain. Hidup kita memang adalah rangkaian jatuh dan bangun, "ups and downs".

Namun, kalau kita non-stop menertawakan, mencerca dan menyerang orang lain secara verbal lalu merasa "hati senang dan puas" karena mendengar kejatuhan sesama, secara psikologis boleh jadi berarti kita mengidap sejenis "sadisme", merasa puas dengan menyakiti orang lain atau puas melihat dia/mereka jatuh.

Silakan melontarkan kritik dan koreksi, bersikap tegaslah menyikapi kesalahan apapun, namun tak perlu Anda secara emosional tanpa henti membombardir orang lain yang tergelincir dalam kejatuhan moral di berbagai medsos.

Kita semua -- saya dan Anda -- bisa tergelincir dalam kubangan dosa, kapanpun dan di mana saja. Tugas kita adalah menjaga diri kita masing-masing (dengan selalu hidup ber-kesadaran), dan mencegah diri kita menjadi batu sandungan bagi sesama. Tentu, kita pun perlu membantu sesama bila mereka jatuh, dengan sikap dan ucapan yang humanis dan proporsional.

Kritik itu bagus bila secukupnya, dan tidak bagus jika berlebihan.

Ini komen saya merespon gemuruhnya medsos, khususnya grup-grup FB orang Flores, terkait suatu skandal di Manggarai. Saya tahu, karena menyangkut seorang romo, jadi ramai. Kalau skandal itu menyangkut wartawan, bankir atau pengusaha dan lain-lain, hanya sekejap saja "diolah" oleh media massa dan media sosial.

Jelas, saya tidak membela dan membenarkan sang romo itu. Tindakannya menghancurkan sebuah keluarga dan dirinya sendiri. Bahkan juga berdampak pada citra positif banyak imam yang baik, tulus, total dan tuntas dalam penyerahan diri kepada Tuhan dan sesama.

Dari pengalaman pribadi saya (yang serentak menjadi staf bagi atasan dan menjadi pimpinan di kantor/perusahaan saya), kalau ada masalah dengan/dari orang lain, termasuk dengan bawahan, saya selalu berpegang pada adagium ini, "Fortiter in re, suaviter in modo" (Latin: tegas dalam prinsip, lembut dalam cara).

Terakhir, kritik dan koreksi itu berbeda dengan caci-maki dan olok-olok.

Kritik/koreksi moral dan kontrol sosial menunjukkan Anda merasa ikut bertanggung jawab untuk membantu memperbaiki keadaan.
Namun, caci-maki dan olok-olokan mencerminkan "level intelektualitas" yang rendah.

Penulis adalah peminat filsafat dan psikologi, pengusaha dan politisi, Pendiri & Pemimpin Umum IndonesiaSatu.co

Komentar