KESEHATAN Kepala BGN: Indonesia Butuh Inovasi Teknologi Pangan untuk Sokong MBG 19 Nov 2025 17:47
Indonesia butuh teknologi freeze dried dari para ahli teknologi pangan agar program ini berjalan kuat dan berkelanjutan.
BOGOR, IndonesiaSatu.co - Indonesia membutuhkan inovasi teknologi pangan yang mampu menjamin keamanan, kualitas, dan keberlanjutan program Makan Bergizi Gratis (MBG) bagi jutaan anak sekolah. Salah satunya freeze dried.
Kebutuhan tersebut menjadi sorotan utama dalam Seminar Nasional dan Pertemuan Forum Komunikasi Perguruan Tinggi-Teknologi Pertanian Indonesia (FKPT-TPI) 2025 yang digelar di Auditorium Abdul Muis Nasution, Kampus IPB Dramaga, Selasa (18/11).
Baik Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dr Dadan Hindayana maupun Kepala Lembaga Riset Internasional Pangan, Gizi dan Kesehatan (LRI-PGK) IPB University, Prof Drajat Martianto, sepakat bahwa kontribusi teknologi pangan, riset, dan inovasi perguruan tinggi sangat menentukan keberhasilan MBG.
“Indonesia butuh teknologi freeze dried dari para ahli teknologi pangan agar program ini berjalan kuat dan berkelanjutan,” tegas Dr Dadan.
Teknologi freeze dried, katanya, dinilai penting untuk memastikan makanan tetap segar, higienis, dan mudah didistribusikan dalam skala besar.
Dadan menegaskan bahwa tantangan MBG tidak hanya berkaitan dengan distribusi, tetapi juga penyediaan makanan berkualitas yang aman dikonsumsi setiap hari.
“Kita membutuhkan teknologi di mana makanan dimasak segar, berkualitas, higienis, tetapi tahan sampai besoknya. Karena itu, saya berharap teknologi freeze drying bisa dikembangkan lebih luas,” ujarnya.
Teknologi ini, lanjutnya, berpotensi menjaga mutu pangan tanpa mengurangi kandungan gizinya.
Dadan menjelaskan besarnya kebutuhan pangan untuk satu Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). “Untuk 3.000 anak, satu bulan bisa butuh 5 ton beras, setara 10 ton gabah kering giling per bulan,” katanya.
Kebutuhan komoditas lain seperti telur, ayam, hingga buah konsumsi pun sangat besar. “Untuk telur saja, 3.000 anak memerlukan setidaknya 200 kg sekali masak. Kalau dua kali seminggu, kebutuhan bisa mencapai 1,6 ton telur per bulan,” jelasnya.
Ia menilai Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan produksi konvensional. Kehadiran MBG, menurutnya, membawa pendekatan baru karena produksi dan pembelian pangan dijamin pemerintah.
“Selama ini kita bicara produksi, produksi, produksi. Tapi pembeliannya tidak pernah dijamin. Dalam MBG, pemerintah menjamin produksi sekaligus pembelian. Ini sesuatu yang belum pernah terjadi,” tegas Dr Dadan.
Kepala LRI-PGK IPB University, Prof Drajat Martianto, juga menilai penguatan SPPG, inovasi dapur besar, serta teknologi penyimpanan dan pengolahan, penting untuk memastikan makanan aman dikonsumsi. Inovasi juga diperlukan untuk mengurangi plate waste yang tinggi pada anak usia dini.
Ia turut memaparkan triple burden of malnutrition sebagai persoalan gizi nasional yang harus diselesaikan melalui MBG. Selain itu, hidden hunger juga menjadi isu besar karena tidak tampak secara kasatmata, tetapi berdampak pada imunitas dan perkembangan anak.
Prof Drajat menegaskan, intervensi tidak boleh hanya berfokus pada 1.000 hari pertama kehidupan. “Kita tidak ingin melewatkan masa pertumbuhan pada usia sekolah dan remaja. Anak-anak stunting akan memiliki risiko tinggi pada penyakit tidak menular di masa dewasa,” katanya. *
--- F. Hardiman
Komentar