Breaking News

NASIONAL Kereta Cepat, Bola Panas Politik yang Bisa Mengganggu Legitimasi Mandat Pemerintah 23 Oct 2025 20:03

Article image
Kereta Cepat Jakarta Bandung. (Foto: Ist)
Whoosh adalah mimpi buruk ekonomi politik. Size-nya relatif menengah tapi akhirnya jadi bola panas politik yang bisa mengganggu legitimasi mandat pemerintah.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co - Kasus PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) Whoosh jika ditinjau dari sudut anggaran sebenarnya bukanlah isu utama dalam ekonomi politik domestik. Utang Whoosh lebih besar dari banyak dana kementerian, dan lembaga. Namun masih jauh di bawah anggaran kementerian-kementerian besar, Polri, PUPR, Kementerian Pertahanan, dan Pendidikan yang sampai Rp700 triliun.

Utang Whoosh hanya seperempat (1/4) dari anggaran subsidi dan kompensasi BBM. Jadi angkanya sebenarnya relatif tidak seharusnya mendapat spotlight seperti sekarang.

”Hal itu terjadi karena utang tersebut telah berkembang menjadi isu politik – dari yang sebenarnya hanya isu ekonomi akhirnya berkembang menjadi isu ekonomi politik - sehingga menjadi isu utama. Kondisi isu-isu ini sama seperti di negara berkembang atau negara maju. Contohnya kasus kereta cepat HS2 Manchester – Birmingham di Inggris yang telah 10 tahun tak kunjung jadi,” ujar Peneliti Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), Muhamad Rosyid Jazuli dalam diskusi diskusi PPPI, Universitas Paramadina dan INDEF dengan tema "Pelajaran Ekonomi Politik dan warisan Kebijakan Jokowi (Bagaimana Membayar Utang Kereta Cepat), pada Rabu, 22 Oktober 2025. Diskusi itu menghadirkan pembicara yaitu Muhamad Rosyid Jazuli, Peneliti PPPI, ?Eisha M Rachbini, Direktur Program INDEF, dan ?Handi Rizsa Idris, Wakil Rektor Bidang Pengelolaan Sumber Daya Universitas Paramadina dengan moderator Mishka Husen Balfas, Peneliti PPPI.

Muhamad Rosyid mengatakan, isu ekonomi politik (Ekpol) memiliki ciri khas diperkeruh oleh komunikasi publik yang ala kadarnya. ”Juga terjadi di kasus Whoosh, Menteri vs Menteri dan pejabat lain saling bersahutan tidak sinkron. Meski angkanya menengah, mestinya komunikasi para pihak harus serius dan terkesan tidak fokus,” ujarnya.

Setiap kebijakan, katanya, punya aspek politik. Karena itu pemerintahan harusnya hati-hati. ”Whoosh adalah mimpi buruk ekonomi politik. Size-nya relatif menengah tapi akhirnya jadi bola panas politik yang bisa mengganggu legitimasi mandat pemerintah,” ujarnya.

Setiap masalah di publik, punya lapisan-lapisan akar masalah. Setiap akar masalah bisa jadi satu paper tersendiri. Hanya, ketika dihadapkan di dunia nyata maka pemerintah harus mencover semua aspek masalah itu. Tidak bisa lalu memilih satu masalah, dan anggap itu masalah utama. Dia mencontohkan, Luhut yang berbicara bahwa harus ada upaya restrukturisasi dengan China, tapi belum dikomunikasikan, karena itu menjadi bola panas politik.

Dia mengatakan, statement Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang tidak mau melibatkan APBN dalam utang KCIC, tidak boleh dibiarkan bergulir liar, hingga menjadikan komunikasi antar pemerintahan terlihat rapuh.

”Pemerintah agaknya tidak konsisten dalam isu KCIC ini. Dan seperti menanggap ringan masalah tersebut. Hal itu bisa memperburuk kepercayaan publik terhadap pengelolaan Whoosh,” katanya.

 

Muncul Penolakan dari Kementerian Keuangan

Eisha M Rachbini, Ph.D mengatakan, jika dilihat dari rencana ideal, memiliki infrastruktur transportasi cepat antar kota merupakan sebuah simbol konektivitas baru.

Dengan adanya modernisasi dan konektivitas yang tinggi, pasti akan mendorong transaksi perekonomian nasional. Dampak bagi perekonomian akan tumbuh, berikut kesejahteraan masyarakat akan lebih tinggi.

Namun, kata Eisha, kita tentu mendapatkan hasil berbeda ketika proses pembangunan infrastruktur, dengan pengelolaan maupun keuangannya seperti saat ini. Ketika terjadi kenaikan konektivitas, perekonomian dan tumbuhnya kesejahteraan, maka seharusnya utang yang timbul dari proses pembangunan itu bisa meningkatkan pertumbuhan lebih tinggi lagi.

”Jadi, seharusnya penerimaan juga akan lebih tinggi sehingga bisa membayar utang tersebut. Tapi ketika pengelolaannya gagal, maka hitungan yang seharusnya bisa ditanggung oleh B to B, ujungnya bisa berakibat keuangan negara/APBN yang harus menanggung beban utang tersebut,” ujar Eisha.

Dari tender kereta cepat Jakarta Bandung itu, terlihat bahwa skema pendanaannya ditanggung oleh konsorsium BUMN dan perkereta-apian di China, dengan rincian pinjaman dari China Development Bank 75%, ekuitas konsorsium China 25% dan di Indonesia tergabung di PSBI (Pilar Sinergi BUMN Indonesia) yang dipimpin oleh PT KAI bersama BUMN yang lain. Sementara China diwakilkan oleh China Railways dan Perusahaan-perusahaan yang memayunginya.

Dilihat dari angka pinjaman sebesar 75% CDB dan 25% entitas konsorsium China, muncul estimasi angka 5-6 miliar USD dan pinjamannya bisa sampai sekitar 4,5% miliar USD dengan suku bunga jangka panjang.

Ketika di perjalanan, biayanya muncul cost overrun/peningkatan yang semula 5-6 miliar USD menjadi 7,5 miliar USD belum lagi ditambah kenaikan nilai tukar rupiah, maka praktis berdampak pada nilai total utang. Terlebih adanya pandemi Covid 19 yang pasti akan memperlambat pekerjaan, biaya dan lain-lain.

Janji di awal memang hanya ditanggung oleh B to B namun adanya tekanan-tekanan berubah menjadi adanya dukungan fiskal oleh APBN. Perpres 172/2015 yang menjelaskan pendanaan B to B tanpa melibatkan APBN lalu dievaluasi pada 2021 yang membuka ruang adanya dukungan fiskal APBN.

Pada 2023 juga ada penyertaan modal negara yang di dalamnya ada Rp2,3 triliun disertakan kepada PT KAI yang menjadi jaminan pemerintah atas pinjaman tambahan dari China Development Bank. Jadi dampak finansialnya adalah besaran kerugian dari PSBI 2023- 2025 memang ada kerugian 0,97 triliun pada 2023 dan 2024 minus 4,2 triliun.  

Terdapat kerugian yang konsisten terus meningkat, bahkan di 2025 telah terlihat minus 1,6 triliun yang menjadi kerugian. ”Akumulasi kerugian tersebut menandakan bahwa KCIC masih menghadapi tekanan pembiayaan dan menjadi masalah yang belum teruraikan penyelesaiannya,” ujar Eisha.

Bagaimanapun juga kerugian tersebut akan memberikan dampak pada perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam konsorsium. Sebesar 60% kerugian PSBI merupakan atribut dari PT KAI sebagai pemegang saham mayoritas dalam konsorsium.

Risiko fiskal yang ada dalam BUMN juga merupakan dampak bagi keuangan negara. Kinerja secara day to day KCIC memang ada penumpangnya, tapi ternyata di Oktober 2025 dari 12 juta penumpang, di Juni 2025 yang kebetulan bulan libur sekolah, ada record harian yang berdampak pada kinerja perjalanan. Namun aktual dari selisih secara optimum sebenarnya bisa di 36 ribu tapi masih ada gap sebesar 22 ribu. Jadi ada gap 40% okupansi kereta cepat yang masih harus ditingkatkan.

Karena itu, muncul pernyataan dari Kementerian Keuangan yang menolak untuk membiayai APBN. Eisha mengatakan, seharusnya memang hal itu diselesaikan secara B to B yang tidak melibatkan APBN.

”Maka muncul arah ke restrukturisasi utang proyek, itu yang masih dalam pembahasan, apakah sebagian utang harus dikonversi menjadi ekuitas, lalu menyerahkan aset kepada pemerintah sambil terus bernegosiasi dengan China Development Bank (CBD) si pemberi utang,” katanya.

”Terakhir ada penambahan dana melalui Danantara. Untuk Danantara, harus tetap dilihat bagaimana fisibilitasnya, tata kelola, jangan sampai gali lubang tutup lubang,” ujarnya.  

 

Proyek untuk Kepentingan Siapa?

Sementara itu, Dr Handi Risza mengatakan, karena pemerintah melanjutkan kebijakan ini, maka baru terasa dampaknya pada hari-hari ini. Hal, katanya, lagi-lagi membuktikan bahwa kebijkan masa lalu tidak sejalan dengan apa yang sedang kita alami. ”Sebenarnya ada satu pertanyaan, proyek itu buat kepentingan siapa, apakah untuk kepentingan masyarakat?,” tanya Risza.

Menurutnya, jarak 150 km dari Jakarta – Bandung bagi masyarakat masih nyaman menggunakan moda transportasi lain bus atau kereta, karena belum menunjukkan tingkat urgensi.

Kereta cepat di Jawa seperti dari Jakarta – Surabaya, muncul digagas pertama kali  dari pemerintahan SBY.  Studi kelayakan telah dilakukan dengan desain Jakarta – Surabaya dengan jarak tempuh 748 km, dan nilai awal Rp76,95 triliun, Jakarta – Bandung 150km dengan nilai Rp13 miliar.

Dalam perjalanannya kemudian, Jepang yang sudah membuat studi kelayakan proposal waktu itu dengan alokasi anggaran lebih besar sekitar 6,52 miliar USD. Sebesar 0,1% masalahnya ada pada jaminan pemerintah. China menawarkan angka lebih ekonomis 5,13 miliar USD.

Proposal China yang disetujui pemerintah Jokowi dengan penerbitan perpres pada 2015. Adapun komposisi saham dimiliki konsorsium BUMN, skemanya B to B. Tapi waktu itu Menteri Perhubungan, Ignatius Jonan menentang kereta cepat, karena dinilai tidak visible dan tidak menguntungkan. Pada 2016 dilakukan grownbreaking dan disepakati anggaran 6,071 miliar USD.

Ternyata dalam perjalanannya terjadi perubahan-perubahan karena nilai kurs akibat pembiayaan overrun, terjadi silisih Rp21,4 triliun. Hal tersebut jelas menyulitkan PT KAI dan ketua konsorsium menanggung beban. Konsorsium akhirnya berbagi beban 25% yaitu dengan porsi Rp2,3 triliun, Rp 2,1 triliun, dan sisanya pinjaman China Development Bank sebesar Rp16 triliun. Jebakan utang membuat akumulasi utang menjadi besar. Namun harus berjalan karena sudah ada perubahan Perpresnya.  

Beban APBN, katanya, terjadi karena China meminta mendapatkan jaminan dari APBN, seolah-olah PT KAI gagal bayar, dan mendapatkan PMN dari pemerintah 9,5 miliar USD. Jadi ini menunjukkan bagaimana proses transaksi didesain sedemikian rupa ‘‘memaksa dengan skema negara“, tentu saja PT KAI sebagai kreditur di bebankan pada PT KAI.

Risza mengatakan, jika dilihat masalah kereta cepat ini sebenarnya sudah bisa diprediksi, mengutip (alm) Faisal Basri dengan asumsi keterisian kursi 50%, harga tiket Rp250rb, perjalanan 30 kali/hari.

Pada 2024, pendapatan KAI Rp1,5 triliun dan dalam laporan keuangan PSBI itu mereka mengalami kerugian Rp4.195 triliun. Masih menjadi bahasan, apakah kerugian itu akan ditutup oleh APBN atau skema korporasi dengan Danantara.

Diusulkan agar membuat restrukturisasi utang. Selain itu melakukan akusisi aset, dan injeksi modal dari Danantara, serta strategi pengembangan usaha dan operasional perpanjangan rute. Perpanjangan rute Whoosh hingga Surabaya untuk meningkatkan jumlah penumpang dan potensi pendapatan, selain itu juga optimalisasi tarif.

Melakukan inovasi skema tarif untuk menarik lebih banyak penumpang dan meningkatkan pendapatan. Dilakukan juga hendaknya integrasi dengan jaringan lain. Kereta cepat harus dintegrasikan dengan jaringan angkutan perkotaan dan logistik untuk memperkuat konektivitas dan daya tarik bagi penumpang.

Ditambah peningkatan pelayanan: meningkatkan layanan dan fasilitas dengan menambah jaringan Wi-Fi dan bekeria sama dengan operator telekomunikasi.

Terakhir peningkatan kapasitas: peningkatan jumlah perjalanan harian Whoosh perlu ditingkatkan untuk melayani lebih banyak penumpang.

 

Pemerintah Sepertinya Sulit Belajar

Muhammad Rosjid Jazuli mengatakan, ada pelajaran penting dari kasus ini yaitu soal rencana yang lebih baik, pelibatan swasta dan transparansi yang lebih rigid dan pengawasan terhadap tata kelola proyek.

“Maka setiap kebijakan besar, pasti akan terpapar oleh perubahan atau misteri angin politik. Di Indonesia kita seperti sulit belajar hal itu. Setelah reformasi setiap pemilu 5 tahun bahasan politik amatlah besar. Sehingga menjadi penyakit sendiri yang setiap tahun dapat dengan mudah lupa akar masalah,” ujarnya.

Padahal, hal itu, terjadi di hampir setiap pemerintahan. Pelajaran lain, jika ingin membangun infrastruktur yang berbiaya besar, triliunan dari pajak rakyat, harus diantisipasi bahwa setiap 5 tahun mandat selesai, sementara kebijakan atau proyek-proyek itu punya jangka waktu menengah-panjang 10-15-25 tahun lebih. Hal itu akan menjadi kompleksitas yang harus dipecahkan bersama.

Karena itu, katanya, harus ada komunikasi yang cukup kuat dengan China, karena sebagai negara besar, mereka pasti hati-hati dalam isu Whoosh ini. Risiko tuduhan akan mengambil alih satu infrastruktur atau wilayah negara lain. Pasti China tidak ingin punya reputasi seperti itu.

Akhirnya harus disadari bahwa Whoosh adalah barang mahal, yang kental dengan teknologi, governance, punya aspek ekonomi advance. ”Kita tidak bisa lihat Whoosh sebagai peristiwa wisata. Dia bukan proyek untuk gagah-gagahan yang harus balik modal dan jelas kontribusi ekonominya,” ujarnya.

Yang juga penting, katanya, tujuan Whoosh harus disusun lagi. Misalnya untuk meningkatkan ekonomi, peningkatan konekvitas antar wilayah, masih yang banyak harus dikaji. Juga bagaimana Whoosh bisa jadi alat untuk tranfer teknologi dari China. Atau secara umum, dengan sistem dan transfer teknologi maju, bisa diambil pelajaran dari China dan Jepang.

”Government tidak boleh main-main lagi dengan kebijakan jangka panjang seperti contoh Danantara. Danantara bukan ajang unjuk gigi pencapain individu atau kelompok. Dia harus menciptakan situasi serius di mana semua pihak harus bekerja dengan sangat keras,” ujarnya. *

--- F. Hardiman

Komentar