Breaking News

HUKUM PEREKAT NUSANTARA: Penyelidikan KPK atas Dugaan Korupsi Proyek KCJB Diduga Kuat untuk Melindungi Jokowi dan Kroni 18 Nov 2025 07:33

Article image
Koordinator TPDI dan Pergerakan Advokat Nusantara, Petrus Selestinus. (Foto: Ist)
Publik patut dapat menduga bahwa telah terjadi "pemufakatan jahat" yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara, dalam proyek KCJB-WHOOSH ini.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co-- Pernyataan Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (10/11/2025), bahwa KPK saat ini tengah menyelidiki Pengadaan Lahan untuk proyek KCJB (Whoosh) dan yang menjadi materi penyelidikan adalah "ada tanah milik negara yang dijual kembali ke negara dalam proyek KCJB atau Whoosh di lingkungan PT. Kereta Cepat China (KCIC)."

Hal itu mendapat sorotan dari Koordinator Pergerakan Advokat Nusantara (PEREKAT NUSANTARA), Petrus Selestinus, dalam keterangan resmi kepada media ini, Senin (17/11/2025).

Menurut Petrus, dengan memfokuskan penyelidikan dugaan Tindak Pidana Korupsi, proyek KCJB-WHOOSH pada pengadaan Lahan yang tidak sesuai dengan mekanisme UU Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, maka KPK dipastikan hanya akan menyasar pelaku kelas teri, yaitu Panitia Pengadaan Tanah seperti Para Kepala Kantor BPN Kabupaten, Kota, Camat-Camat dan pejabat terkait lainnya.

"Sedangkan penentu kebijakan pada lapisan atas seperti Joko Widodo (Jokowi) dan kroni, dipastikan tidak mungkin menjadi fokus penyelidikan KPK, karena dengan penyelidikan yang hanya fokus pada proses pengadaan tanah, maka tujuannya seperti yang dikatakan dalam UU KPK yaitu bertujuan untuk melindungi pelaku korupsi yang sesungguhnya, karena ada intervensi kekuasaan," sorot Petrus.

Padahal, kata Petrus, orang pertama yang harus dipanggil adalah Jokowi, karena selaku Presiden ketika itu, Jokowi mengeluarkan kebijakan membuat PERPRES Nomor 107 Tahun 2015, kemudian berubah lagi dengan PERPRES Nomor 93 Tahun 2021 yang mengubah PERPRES Nomor 107 Tahun 2015, Tentang Percepatan Proyek KCJB-WHOOSH, yang merupakan alat untuk terjadinya tindak pidana korupsi dalam pembangunan proyek KCJB-WHOOSH. 

Berdasarkan PERPRES Nomor 107 Tahun 2015, kemudian berubah lagi dengan PERPRES Nomor 93 Tahun 2021, maka lapis paling atas yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana korupsi antara lain mantan Presiden RI Jokowi, mantan Menteri BUMN Rini Soemarno, mantan Menteri Pratikno, Mantan Menteri Sri Mulyani, mantan Menteri Budi Karya, mantan Menteri Luhut Binsar Panjaitan, mantan Menteri Erick Tohir, mantan Menteri Basuki Hadimuljono, dkk.

KPK Bermetamorfosa jadi Polri

Petrus menyebut, KPK perlu mengawali penyelidikannya dengan menduga keras bahwa kebijakan pembangunan Proyek Percepatan Proyek KCJB-WHOOSH, bersumber dari penyalahgunaan wewenang oleh Presiden Jokowi selaku pemegang kekuasaan pemerintahan menurut pasal 4 UUD 1945. Karena, dengan kekuasaan pemerintahan tanpa pembatasan oleh UU inilah, merupakan cek kosong yang dapat disalahgunakan kapan saja dapat diisi, dengan menerbitkan PERPRES-PERPRES yang bertentangan dengan UU terkait. 

"Ini jelas sangat merugikan keuangan negara (APBN), bahkan saat ini APBN menjadi taruhan pro dan kontra dalam ketidakpastian, tergantung selera Jokowi pada waktu itu dan sekarang tergantung selera Presiden Prabowo Subianto menindaklanjutinya. Ini juga menunjukan bahwa proyek KCJB-WHOOSH ini, tidak diatur di dalam UU APBN, sehingga setiap saat bisa diubah sesuai kehendak Presiden," kata Koordinator TPDI itu.

Petrus beralasan, pelemahan terhadap KPK mengikuti lemahnya Polri dan Kejaksaan yang selama ini gagal memberantas Tindak Pidana Korupsi, karena menurut Para Pembentuk UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK, disebutkan bahwa pola penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan selama ini, antara lain berupa: penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya; penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi; hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif dan legislatif, dan lain-lain.

Menurut Petrus, publik harus mengawal KPK untuk membuka penyelidikan secara transparan dan akuntabel, dalam penyelidikan dugaan korupsi proyek KCJB-WHOOSH ini, karena selain posisi KPK telah diperlemah dengan merevisi UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK, akan tetapi Presiden Jokowi juga melalui beberapa PP dan PERPRES-nya telah mengamputasi kewenangan Polri dan Kejaksaan ketika hendak menangani kasus dugaan korupsi dalam PSN melalui PP dan PERPRES.

"Pola penyidikan dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi di kepolisian dan kejaksaan, seperti ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya dan hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif dan legislatif, saat ini sudah menjadi pola yang dianut oleh KPK karena posisi KPK berada di bawah rumpun kekuasaan eksekutif," sentil Petrus. 

Amputasi Wewenang Kejaksaan dan Polri

Terdapat fakta di mana Jokowi mengejar target demi mencapai ambisinya dalam proyek PSN, yaitu perilaku menyimpang atau penyalahgunaan wewenang pejabat-pejabat yang menjadi kroninya, lewat PERPRES dan/atau PP, yang dalam Proyek KCJB-WHOOSH, lewat PERPRES Nomor 107 Tahun 2015, PERPRES Nomor 93 Tahun 2021 dan PERPRES Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. 

"Ini merupakan suatu kebijakan yang disebut 'autokrasi legalisme', sebuah kejahatan politik dan ekonomi, yang dibungkus dengan peraturan perundang-undangan sebagai modus, menggunakan mekanisme hukum untuk melegalisasi atau melegitimasi tindakan melawan hukum dan tidak demokratis, bisa melalui PERPRES dan PP sebagai landasan hukumnya," sorotnya. 

Publik patut dapat menduga bahwa telah terjadi "pemufakatan jahat" yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara, dalam proyek KCJB-WHOOSH ini, namun pejabat-pejabat ybs. merasa mendapat perlindungan atau kekebalan karena proses Penegakan Hukumnya dibelokan menjadi proses administratif di Inspektorat masing-masing.

Akibatnya, banyak lahan pemerintah seperti TNI AU dan lahan milik instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah di kawasan yang dilalui oleh KCJB, dengan mudah diambil untuk proyek KCJB-WHOOSH, diduga tanpa menggunakan mekanisme UU Nomor 2 Tahun 2012 dan PP sebagai Peraturan Pelaksananya dan katanya saat ini tengah ditelaah oleh KPK sebagai bagian dari penyelidikan.

Komisi Reformasi Polri Perlu Dievaluasi

Sejumlah kebijakan Jokowi lewat PERPRES dan PP yang mengamputasi wewenang Kejaksaan dan Polri dimaksud antara lain:

Pertama, Pasal 30 dan pasal 31 PERPRES Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional;

Kedua, Pasal 66 PP Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Atas Tanah; 

Ketiga, Pasal 46 PP Nomor 42 Tahun 2021, Tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional (PSN);

Keempat, Pasal 135 PP Nomor 19 Tahun 2021, Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Petrus menegaskan bahwa Komisi Reformasi Polri harus mengembalikan jati diri POlri, Kejaksaan dan KPK, sekaligus merekomendasikan agar PP dan PERPRES produk Jokowi yang sarat dengan KKN, harus dicabut, seiring dengan tuntutan agar Jokowi, dkk segera diproses hukum untuk dimintai pertanggungjawaban pidana terkait proyek KCJB-WHOOSH.

"Komisi Reformasi Polri harus menjadikan ini sebagai prioritas untuk mendalami sejumlah PP dan PERPRES-PERPRES produk Jokowi, karena faktanya terdapat sejumlah PP dan PERPRES, yang mengamputasi kekuasaan dan wewenang Kejaksaan, POLRI dan KPK yang diatur dalam KUHAP, UU Kejaksaan, Kepolisian dan KPK, lalu diserahkan penyelesaiannya kepada instansi yang dilaporkan lewat mekanisme Administrasi," tandas Petrus. 

--- Guche Montero

Komentar