Breaking News

HUKUM TPDI: Sikap Kapolres Sikka Tidak Mencerminkan Seorang Perwira yang Taat Hukum 11 Nov 2025 10:26

Article image
Koordinator TPDI dan PEREKAT Nusantara, Petrus Selestinus. (Foto: Ist)
Menurut Petrus, penghormatan terhadap tradisi budaya di manapun daerahnya, adalah bagian dari ciri khas masyarakat (manusia) Indonesia.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co-- Budaya dan sikap menjunjung tinggi nilai budaya dan tradisi masyarakat berserta hak-hak tradisionalnya, merupakan amanat konstitusi yang harus dihormati dan dijunjung tinggi oleh siapapun juga, tidak terkecuali Kapolres Sikka, AKBP Bambang Supeno.

Demikian hal itu diutarakan Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus, dalam keterangan resmi kepada media ini, Selasa (11/11/2025). 

Petrus mengaskan alasan penekanannya pada frasa "tidak terkecuali AKBP Bambang Supeno", karena AKBP Bambang Supeno merupakan Penyelenggara Negara atau Pejabat Negara yang di pundaknya tidak hanya melekat simbol-simbol kuning kepangkatannya, tetapi juga terdapat kewajiban memikul tanggung jawab mengaktualisasikan amanat pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yaitu: "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang."

Pasal 28I ayat (3) UUD 1945, menyatakan: "Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selras dengan perkembangan zaman dan peradaaban".

Dengan demikian, kata Petrus, tindakan Anggota Kepolisian Polres Sikka yang melakukan penyitaan terhadap tempat pembuatan moke (Kuwu Tua), berikut hasil produksinya berupa Moke (minuman beralkohol), hal itu berarti Anggota Kepolisian Polres Sikka telah memposisikan Moke dan Kuwu Tua sebagai alat untuk melakukan kejahatan atau merupakan hasil kejahatan menurut KUHAP. 

"Ini jelas mengkhianati bahkan atau merupakan pembangkangan terhadap amanat konstitusi pasal 18B ayat (2) dan pasal 28I ayat (3) UUD 1945," tegas Petrus. 

Selain itu, Anggota Polri tunduk dan terikat pada nilai-nilai dasar, antara lain:

Pertama, berorientasi pelayanan; memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat dengan kepuasan sebagai tujuan utama. 

Kedua, akuntabel; bertanggung jawab atas kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat, bangsa dan negara. 

Ketiga, kompeten; terus belajar dan mengembangkan kemampuan untuk memberikan yang terbaik. 

Keempat, harmonis; menghargai setiap orang apapun latar belakangnya dan membangun lingkungan kerja yang kondusif.

Jika Belum Tahu Jangan Bertindak

Petrus menjelaskan, Kuwu Tua dan Moke di Kabupaten Sikka pada khususnya, bahkan di seluruh NTT pada umumnya, merupakan bagian dari tradisi budaya yang merupakan elemen penting dalam kesatuan hukum masyarakat adat Sikka dan di NTT pada umumnya. 

Di dalamnya melekat hak-hak tradisional, melekat sifat bergotong-royong, menjadi forum "kula babong" (diskusi) untuk menyelesaikan persoalan adat secara informal, tempat untuk melakukan lobby-lobby ketika di tengah masyarakat ada pertikaian atau perselisihan, juga ruang menemukan solusi dari forum Kuwu Tua tersebut.

Oleh karena itu, tegas Petrus, siapa pun Penyelenggara Negara di Sikka, kalau belum tahu jangan bertindak salah kaprah, seperti dalam kasus penyitaan Kuwu Tua dan hasil produksinya, Polri tidak boleh menggunakan kacamata kuda lalu bertindak sewenang-wenang, mengusik Kuwu Tua. 

"Kuwu Tua itu wilayah yang sakral bagi masyarakat pelaku usaha Moke, di dalamnya melekat hak-hak tradisional masyarakat adat Sikka dalam banyak dimensi," tegas Petrus.

Menurut Koordinator Pergerakan Advokat Nusantara (PEREKAT Nusantara) itu, penghormatan terhadap tradisi budaya di manapun daerahnya, adalah bagian dari ciri khas masyarakat (manusia) Indonesia. 

Karena itu, setiap perwira yang dipercaya memimpin sebuah daerah, entah di manapun di seluruh pelosok tanah air, wajib hukumnya menjunjung tinggi tradisi budaya setempat sambil mengenali dengan pendekatan budaya.

Menyikapi arogansi Anggota Polres Sikka, mereka seperti kurang kerjaan lalu keluar masuk kampung mencari-cari perkara, menyalahgunakan wewenang, tugas dan fungsi kepolisian, menurunkan wibawa Polri dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap Polri. 

Akibatnya, pada beberapa hari lalu terjadi aksi demo dari elemen Mahasiswa PMKRI Maumere, yang mengecam tindakan Satresnarkoba Polres Sikka, karena telah menyita secara ilegal ratusan liter moke dari tempat produksinya, yaitu Kuwu Tua, tanpa izin Pengadilan dan untuk perkara apa.

Petrus mengapresiasi setinggi-tingginya aksi Mahasiswa dari Organisasi PMKRI Cabang Maumere, karena secara efektif melakukan kontrol terhadap kinerja Polres Sikka termasuk peran lembaga DPRD Sikka yang terkesan bungkam menghadapi arogansi Anggota Polri di Sikka yang telah melecehkan budaya Sikka.  

Petrus menyebut, mahasiswa PMKRI Maumere, sangat paham kultur, termasuk tugas dan tanggung jawabnya sebagai warga negara sesuai dengan "Tri Dharma Perguruan Tinggi", ketimbang seorang AKBP Bambang Supeno, yang katanya perwira tetapi dangkal pengetahuannya tentang konstitusi, malah melakukan tindakan insubordinasi atau membangkangi amanat konstitusi dan mengabaikan tanggung jawabnya sebagai "Pimpinan Polri" menjaga identitas budaya dan hak tradisonal masyarakat Sikka. 

Petrus menyoroti, kesalahan besar aparat Kepolisian Polres Sikka yakni beraksi secara ilegal menyita Moke di Kuwu Tua, lantas memposisikan Moke di Sikka sejajar nilainya dengan Narkoba. 

"Ini salah besar, ini sebuah penghinaan terhadap budaya Sikka, jangan-jangan pengedar Narkoba di Sikka dipelihara oknum Anggota Polri untuk kepentingan menimbun rupiah untuk pundi-pundi Komandan, lantas mengalihkan perhatian dengan menjadikan Moke sebagai kambing hitam dalam kamuflase penindakan," sentil Petrus. 

Copot dan Pulangkan Kapolres Sikka

Meski akhirnya Kapolres Sikka AKBP Bambang Supeno meminta maaf, namun permintaan maaf itu tidak beradab, karena dilakukan di luar tradisi budaya Sikka. Menurut Petrus, pernyataan maaf hanya melalui media di hadapan Mahasiswa PMKRI, belum cukup.

Karena itu, AKBP Bambang Supeno harus datang ke kampung di mana Kuwu Tua itu berada, meminta maaf secara adat budaya Sikka, sehingga bobot permintaan maaf itu bernilai sebagai momentum untuk saling membangun perdaban yang lebih baik dan menjadi pendidikan politik bagi Anggota Polri.

"Masyarakat Sikka, bahkan kami di perantauan-pun patut mencurigai, jangan-jangan AKBP Bambang Supeno, memilikiagenda tersembunyi untuk mengikis adat budaya Sikka lewat kemasan penegakan hukum, meskipun tanpa izin Pengadilan saat menyita hasil produksi Kuwu Tua yaitu Moke, dalam rangka memperlemah ketahanan atau daya tahan budaya masyarakat Sikka," tegas Petrus. 

Petrus menyinggung, DPRD Sikka harus memanggil Kapolres Sikka AKBP Bambang Supeno dalam forum Rapat Dengar Pendapat (RDP) untuk meminta penjelasan seputar tindakan penyitaan Moke di Kuwu Tua, karena tindakannya sangat mengusik rasa keadilan masyarakat Sikka.

Pasalnya, bagaimanapun budaya minum moke dan moke itu sendiri sudah melekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Sikka, terutama dalam acara ritual budaya saat suka dan duka. Bahkan, dengan moke pula, banyak putera-puteri Sikka bisa menjadi Sarjana, termasuk menjadi Anggota Polri.

"DPRD Sikka harus merekomendasikan kepada Pimpinan Polei (Kapolda atau Kapolri) untuk mengevaluasi keberadaan AKBP Bambang Supeno agar segera dicopot atau ditarik kembali ke instansi vertikal di atasnya di Polda NTT atau Mabes Polri," desak Petrus.

Harus ada Filter bagi Pejabat yang Masuk

Dalam rangka menjaga daya tahan masyarakat Sikka untuk menjaga tradisi budaya masyarakat adat di Sikka, terutama untuk mencegah pejabat pemerintahan vertikal yang ditugaskan di Sikka tetapi memiliki hidden agenda, dan dalam rangka wewenang otonomi daerah, maka DPRD dan Bupati Sikka harus membuat Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur bagaimana seorang pejabat dari instansi vertikal di pusat ketika hendak ditempatkan di Sikka, difilter terlebih dahulu.

Pada tahap ini, DPRD Sikka punya hak untuk tahu terlebih dahulu rekam jejak dari pejabat yang bersangkutan lewat mekanisme fit and proper test dan profilling yang bersangkutan. 

Jika rekam jejaknya jelek, misalnya tukang peras, tukan backing penjahat atau punya agenda tersembunyi yang bermuatan ideologi radikal, atau sebagai pejabat buangan dari pusat, maka DPRD berhak menolak pejabat yang bersangkutan dan meminta pusat untuk menggantinya.

Demikian pula dengan saat pejabat itu selesai bertugas di daerah atau di Sikka, maka harus ada forum pertanggungjawaban di DPRD, agar Masyarakat dan Pemerintah tahu prestasi apa yang sudah dicapai, mana yang belum dicapai dan mengapa bisa terjadi plus minus dalam tugas pengabdian di daerah bersangkutan.

Petrus beralasan, selama ini banyak pejabat vertikal "datang tampak muka, pergi tampak punggung" (seperti tidak tau adat dan jangan kurang ajar).

Menurut Petrus, hasil pertanggungjawaban dan penilaian di DPRD bisa dijadikan bahan evaluasi oleh instansi vertikal di pusat dalam rangka promosi atau penempatan di tempat tugas baru. 

"Di sinilah letak kontrol publik secara maksimal. Kita tidak boleh membiarkan pusat seenaknya menempatkan aparaturnya di daerah kita, tanpa kita tahu rekam jejaknya, lalu muncul pola tingkah laku negatif dalam bertugas dengan segala daya rusak yang ditimbulkan," tandas Koordinator PEREKAT Nusantara itu.

--- Guche Montero

Komentar