NASIONAL Radikalisasi Remaja dan Anak, Djumala: Kekerasan Remaja dan Anak Melalui Ruang Digital Perlu Jadi Program Prioritas 31 Dec 2025 10:54
Dalam hal perang melawan terorisme dan radikalisme, ruang digital di media sosial saat ini sudah menjadi “the real battle field”.
JAKARTA, IndonesiaSatu.co – Pada penghujung tahun 2025 ini, kita berada pada kondisi waspada terkendali. Artinya ada indikasi, pola, dan dinamika yang mengarah pada gangguan keamanan, tapi belum ditemukan target spesifik dalam waktu dekat.
Karena itu, aparat penegak hukum bersama komunitas intelijen terus melakukan antisipasi dan mitigasi dalam menghadapi gangguan keamanan.
Hal itu disampaikan Kepala BNPT, Komjen Pol (Purn) Eddy Hartono, pada acara Pernyataan Pers Akhir Tahun 2025, di Pullman Hotel, Selasa (30/12/2025).
Dia juga mengungkapkan bahwa ada trend baru dalam proses radikalisasi dan rekrutmen remaja dan anak-anak dengan menggunakan ruang digital. Dalam kurun waktu, 2003 sampai dengan September 2025, terdapat 27 perencanaan serangan teror yang berhasil dicegah, 230 orang ditangkap dan 362 orang disidangkan.
Mereka umumnya berafiliasi dengan ISIS dan diantaranya 11 orang perempuan terlibat dalam aktivitas terorisme di balik layar, seperti menjadi admin grup media sosial, memproduksi propaganda, menggalang dana, serta mengkoordinasikan komunikasi kelompok teroris.
Terpisah, Kelompok Akhli BNPT Bidang Kerjasama Internasional, Dr. Darmansjah Djumala, mengatakan hal tersebut secara khusus merujuk pada munculnya trend baru dalam pola rekrutmen dan targeted group dalam terorisme.
Menurutnya, cara rekrutmen kelompok terorisme tersebut tidak hanya melalui tatap muka, tapi sudah melalui ruang digital. „Jika dulu hanya laki-laki dan perempuan dewasa yang dijadikan sasaran rekrutmen, sekarang menyasar pada remaja dan anak. Mereka ini sangat rentan terhadap paparan radikalisme yang menggunakan piranti digital diberbagai platform media sosial,” ujarnya melalui pernyataan tertulis di Jakarta, Rabu (31/12).
Menurut Dr. Djumala, yang pernah menjabat sebagai Duta Besar RI untuk Austria dan PBB di Wina itu, hal ini perlu mendapat perhatian ekstra dari pemangku kepentingan agar remaja dan anak tidak mudah terpengaruh oleh penyesatan untuk melakukan tindakan kekerasan yang menjurus ke terorisme.
Terlebih lagi rekrutmen melalui ruang digital tersebut sudah menunjukkan dampaknya ketika anak remaja SMA 72, Jakarta Utara, melakukan pengeboman di sekolahnya.
”Ini bukti ruang digital sudah tidak ramah lagi bagi anak dan remaja yang sedang mengalami proses pencarian jati diri. Konten kekerasan, bahkan cara-cara membuat peledak pun, dengan mudah dapat diakses oleh remaja dan anak,” ujarnya.
Dubes Djumala lebih jauh mengungkapkan keprihatinannya bahwa selama 2025, Densus 88 telah melakukan pemeriksaan terhadap 112 orang anak terpapar radikalisasi melalui ruang digital (game online dan media sosial) yang tersebar di 26 provinsi.
Dubes Djumala mengatakan perlu perhatian ektstra terhadap fenomena terpaparnya remaja dan anak kepada radikalisme via digital tersebut.
Untuk menekan penyebaran propaganda tindakan kekerasan oleh remaja dan anak di ruang digital tersebut, katanya, diharapkan agar semua stakeholders terkait isu radikalisme dan terorisme dapat melakukan counter narasi terhadap konten-konten ajakan melakukan kekerasan di media sosial.
Sebab, dalam hal perang melawan terorisme dan radikalisme, ruang digital di media sosial saat ini sudah menjadi “the real battle field”.
“Selain melakukan counter narasi terhadap konten yang memuat paham kekerasan di media sosial, setiap kerja sama di bidang terorisme baik dalam konteks bilateral, regional maupun multilateral, perlu memasukkan isu pencegahan tindakan kekerasan oleh remaja dan anak melalui ruang digital sebagai program prioritas,” tutup Dubes Djumala. *
--- F. Hardiman
Komentar