HUKUM Konflik Bertambah, Aktivis Minta LPSK Berdiri di Papua 14 Apr 2016 17:47
UU baru juga mengamanatkan LPSK untuk membuka perwakilannya di daerah. Subyek yang mendapatkan perlindungan juga diperluas, tidak hanya saksi dan korban saja.
JAKARTA, IndonesiaSatu.co - Konflik yang seakan tak kunjung selesai di Tanah Papua terus memakan korban, mulai anak, remaja hingga orang dewasa.
Sejumlah aktivis dan pembela hak asasi manusia (HAM) dari Papua berharap negara lebih berperan khususnya dalam memberikan perlindungan bagi warga negara.
Berangkat dari kondisi tersebut, sudah saatnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) hadir di tengah-tengah masyarakat Papua.
“Berbicara Freeport, banyak yang seolah peduli, tapi ketika berbicara kondisi rakyat Papua, semua diam,” kata Pilipus, aktivis pembela HAM yang datang ke kantor LPSK di Jakarta bersama sejumlah aktivis dari Papua lainnya, Kamis (14/4).
Menurut Pilipus, negara terkesan selalu terbentur rintangan, termasuk soal ketersediaan anggaran dalam menyelesaikan masalah di Papua. Hal ini menunjukkan ketidakseriusan negara dalam membangun Papua.
Siaran pers Humas LPSK, Kamis (14/4) mengatakan, kehadiran pembela HAM lintas organisasi dan daerah dari Papua ini dalam rangka pelatihan untuk meningkatkan kapasitas pekerja HAM yang bekerja di wilayah konflik Papua.
Masih kata Pilipus, pihaknya mempertanyakan pandangan LPSK khususnya dalam memaknai saksi dan/atau korban. “Apakah perlindungan saksi dan/atau korban, termasuk perlindungan bagi pembela HAM di Papua karena kami juga menjadi korban,” ujarnya.
Eva Tadjo, aktivis pembela HAM dari Manokwari, mengungkapkan, sampai saat ini LPSK belum memiliki perwakilannya di Papua. Untuk itu, pihaknya mempertanyakan mekanisme perlindungan yang dilakukan LPSK bagi saksi dan/atau korban yang berasal dari Papua.
“Apakah LPSK juga memberikan perlindungan bagi masyarakat Papua yang bermasalah dengan perusahaan-perusahaan karena tanah ulayatnya dirampas?” tanya Eva.
Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan, aktivis atau pembela HAM juga bisa mendapatkan perlindungan LPSK. Dengan catatan, ada permohonan yang disampaikan ke LPSK, dan kasus yang melibatkan aktivis atau pembela HAM itu masuk dalam ranah pidana.
Ia mengatakan, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan, tugas dan fungsi LPSK berada dalam proses peradilan pidana. “Hanya kita (LPSK) kesulitan saat aktivis dikriminalisasi,” kata Semendawai.
UU Nomor 13 Tahun 2006, kata Semendawai, memang memiliki sejumlah kelemahan sehingga disempurnakan lagi melalui UU Nomor 31 Tahun 2014. Pada UU yang baru, struktur organisasi LPSK diperkuat menjadi sekretariat jenderal yang dipimpin eselon I.
Selain itu, UU baru juga mengamanatkan LPSK untuk membuka perwakilannya di daerah. Subyek yang mendapatkan perlindungan juga diperluas, tidak hanya saksi dan korban saja.
Wakil Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo mengakui, hingga saat ini, negara terkesan kurang sungguh-sungguh memfasilitasi lembaga yang memiliki tugas dan fungsi memastikan hak-hak warga negaranya, seperti LPSK.
Sebaliknya, lembaga-lembaga lain yang banyak mengakomodasi kepentingan penguasa di dalamnya, cenderung diprioritaskan.
“Pemerintah dan DPR masih memiliki persepsi yang berbeda-beda,”kata Hasto.
---
Komentar