NASIONAL Valens Daki-Soo: Kita Petik Hikmah dari Konflik Papua 14 Nov 2021 09:49
Isu kemerdekaan Papua bukan semata kehendak (sebagian) rakyat Papua, melainkan pula disinyalir ada kekuatan besar di balik layar.
JAKARTA, IndonesiaSatu.co -- Konflik Papua telah bergulir selama lebih dari 50 tahun. Berbagai pendekatan dan upaya penyelesaian terus dilakukan namun belum juga membuahkan hasil.
Akhir-akhir ini konflik Papua kian memanas. Pro dan kontra terus bergulir. Di tengah era keterbukaan dengan kemudahan akses komunikasi, banyak hal yang sebelumnya tidak diekspos ke ruang publik kini, dengan adanya media sosial, masyarakat lebih leluasa menyalurkan pendapatnya, termasuk soal konflik Papua.
Banyak orang, dengan keterbatasan pengetahuan dan informasi yang valid dengan leluasa berkomentar di ruang publik. Tidak sedikit kalangan masyarakat Indonesia sendiri yang terus memojokkan pemerintah saat ini yang dinilai makin represif.
Tidak sedikit yang mendukung kemerdekaan Papua dan membenarkan aksi KKB yang dengan leluasa menggunakan senjata dan kekerasan. Di pihak lain, aparat yang berusaha menjaga kedaulatan Repulik Indonesia (RI) selalu dipojokkan dengan isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Menyikapi pro dan kontra di tengah masyarakat sehubungan dengan konflik Papua, Valens Daki-Soo, pengamat sosial dan politik dan juga mantan Asisten Dubes Keliling RI dengan Tugas Khusus (Urusan Timor Timur) FX Lopes da Cruz mengemukakan pendapatnya berikut ini:
1. Isu kemerdekaan/pemerdekaan Papua adalah masalah lama, bukan 'barang' baru.
2. Pelanggaran HAM lebih sering terjadi pada era Orba, bukan saat ini. Waktu era Orba belum ada medsos, jadi mungkin banyak yang tertutup atau ditutup-tutupi. Pada era Reformasi, sudah banyak perubahan di Papua, terutama pada masa Pak Jokowi.
3. Otonomi Khusus atau Otsus diberikan ke Papua, namun sayangnya tidak maksimal diterapkan utk kesejahteraan rakyat Papua karena korupsi yang masif di Papua oleh orang-orang Papua sendiri yang jadi pejabat di daerahnya maupun pejabat di pusat.
4. Perlu diperhatikan pula bahwa isu kemerdekaan Papua bukan semata kehendak (sebagian) rakyat Papua, melainkan pula disinyalir ada kekuatan besar di balik layar. AS, Australia dan kawan-kawan ada di baliknya, seperti mereka jugalah yang berada di balik kemerdekaan Timor Timur.
Meski tentu diakui lepasnya Timtim juga dipicu oleh korupsi elite Timtim sendiri yang masif dan kegagalan Indonesia merebut hati rakyat Timtim. Operasi tempur, operasi intelijen dan operasi teritorial TNI memang berhasil mengeliminasi kekuatan sayap militer Fretilin, tapi kita kalah secara politis-diplomatis akibat isu pelanggaran HAM.
Presiden Habibie akhirnya mengeluarkan opsi merdeka melalui referendum itu karena tekanan kuat dari pihak Barat.
5. Papua bukan Timtim. Posisi dan situasinya berbeda. Timtim kita mencaplok dengan dukungan AS dan Australia karena AS kuatir Timtim menjadi semacam "Kuba kecil" di kawasan Asteng (Asia Tengara). Juga waktu dianeksasi Indonesia, Timtim sebenarnya sedang menjalankan proses dekolonisasi setelah ditinggalkan Portugal secara tidak jantan: meninggalkan Timtim dalam perang saudara.
6. Terkait poin 5, sekali lagi Papua bukan Timtim, meski kita tahu AS dan Australia mencoba melepaskan Papua seperti dulu mereka lakukan terhadap Timtim. Jika dulu Timtim adalah masalah internasional dan menjadi isu di forum PBB, Papua tidak/belum sejauh itu.
Perlakuan pemerintahan Jokowi sangat positif-konstruktif di Papua. Berulang kali Jokowi ke Papua sebagai tanda perhatian khusus sekaligus memastikan keberpihakannya kepada rakyat Papua.
Pelanggaran HAM mungkin atau bisa saja masih terjadi secara sporadis, tetapi jauh berbeda dengan era Soeharto. Kalau bisa kita coba fair juga bahwa prajurit-prajurit TNI/Polri juga menjadi korban GPK/OPM tanpa ada suara pembelaan sedikitpun dari Komnas HAM dan segala LSM yang (mengaku) membela HAM.
7. Saya tidak sependapat, dan sah saja kita berbeda pendapat, soal kemerdekaan Papua dengan teman-teman di media sosial. Saya jelas menolak kemerdekaan Papua, dengan pendapat tambahan: Papua bisa dibangun dengan lebih baik dan secara bermartabat. Kalau ada pelanggaran HAM silakan dilaporkan supaya diusut, bukan dengan mengundang dunia internasional untuk masuk ke Papua. Saya menolak itu, bukan karena tidak pro HAM, tetapi karena peluang itu bisa dimanfaatkan pihak-pihak asing yang ingin lepaskan Papua dari NKRI.
8. Soal merdeka, Papua boleh menoleh ke Timor Leste saat ini yang mengalami masalah berat dalam ekonomi yang berdampak buruk sekali terhadap kesejahteraan rakyatnya. Kita bisa monitor saja di media tentang perkembangan di Timor Leste, yang dulu begitu getol didukung AS dan Australia dan kawan-kawan untuk merdeka. Sekarang, negara-negara itu lepas tangan dan tidak peduli pada nasib rakyat Timor Leste.
Hikmah
Flores tentu tidak akan merdeka karena nasionalisme kita tinggi. Namun pemerintah dan segenap komponen masyarakat harus bahu-membahu membangun wilayah ini dengan "tulus dan jujur", dengan penuh dedikasi, sedapat mungkin menekan korupsi.
Dengan itu, rakyat sejahtera dan merasa nyaman tinggal di rumah besar kita: Indonesia tercinta.
Itulah yang sebenarnya sedang dilakukan pemerintahan Jokowi di Papua.
--- Simon Leya
Komentar