Breaking News

REGIONAL Menyaksikan “Telur Berdiri” di Tugu Khatulistiwa Pontianak 29 Dec 2016 17:52

Tugu Khatulistiwa Pontianak dan peragaan telur
Tugu Khatulistiwa adalah salah satu objek wisata sejarah dan ilmiah yang ada di Kota Pontianak. Tuga ini merupakan destinasi wajib bagi pengunjung, baik wisatawan dalam maupun luar negeri.

Oleh Simon Leya

HAL pertama yang terlintas dalam benak penulis ketika menempuh perjalanan darat dari Sukamara (Kalimantan Tengah) menuju Ibukota Kalimantan Barat, Pontianak adalah Tugu Khatulistiwa. Hari Rabu (28/12/2016) pagi, sekitar pukul 07.30 waktu setempat, rombongan penulis menuju Tugu Khatulistiwa. Rasa lelah akibat menempuh perjalanan selama 12 jam dikalahkan oleh hasrat untuk segera menyaksikan tugu bersejarah dan ikon Kota Pontianak tersebut dari dekat.

Kesan pertama ketika memasuki pintu gerbang Tugu Khatulistiwa agak membuat kecewa. Kondisi gerbang kompleks tugu hanya berupa pancangan yang terbuat dari kayu-kayu bulat. Kondisi jalan di gerbang masuk seperti kubangan, apalagi sehari sebelumnya hujan mengguyur Kota Pontianak dari siang hingga malam. Suasana di dalam dan sekitar tugu juga masih sepi. Kami adalah rombongan kedua yang menjadi pengunjung tugu hari itu.

Setelah berkeliling bagian dalam tugu, penulis menghampiri seorang petugas yang sedang duduk di pintu masuk. Penulis memperkenalkan diri sebagai pendatang dari Jakarta. Petugas itu memperkenalkan dirinya bernama Daeng asal Sulawesi. Daeng menjelaskan bahwa dirinya bukan orang yang berkompeten memberikan penjelasan hal ikhwal Tugu Khatulistiwa. Namun tanpa diminta, Daeng mengambil dua butir telur dan memperagakan kepada kami bagaimana telur bisa “berdiri” tegak di atas lantai. Keajaiban ini hanya terjadi di sekitar kawasan Tugu Khatulistiwa. Fakta ini membuktikan bahwa garis Khatulistiwa berpengaruh terhadap arah putaran benda-benda di sekitar kawasan Tugu Khatulistiwa.

 

Objek Wisata Sejarah dan Ilmiah

Tugu Khatulistiwa adalah salah satu objek wisata sejarah dan ilmiah yang ada di Kota Pontianak. Tuga ini merupakan destinasi wajib bagi pengunjung, baik wisatawan dalam maupun luar negeri.

Tugu Khatulistiwa Pontianak dibangun pada tahun 1928 oleh tim Ekspedisi Geografi Internasional yang dipimpin seorang ahli geografi berbangsaan Belanda. Pengukuran kala itu dilakukan secara astronomis, tanpa menggunakan peralatan canggih seperti satelit. Tim ini hanya berpatokan pada garis yang tidak smooth (garis yang tidak rata/bergelombang), serta berpatokan pada benda-benda alam seperti rasi bintang.

Tugu Khatulistiwa asli terbuat dari kayu Belian (kayu besi/ulin) yang terdiri dari empat tonggak, di mana dua tonggak bagi depan dengan tinggi 3,05 meter dari permukaan tanah dan dua buah tonggak bagian belakang dengan tinggi 4,40 meter dari permukaan tanah. Keterangan simbol berupa anak panah menunjukkan arah utara – selatan (lintang “0” derajat).

Keterangan simbol berupa flat lingkaran yang bertuliskan “EVENAAR” yang berarti “Khatulistiwa” (dalam bahasa Belanda) menunjukkan belahan garis Khatulistiwa atau batas utara dan selatan. Sedangkan plat di bawah arah panah ditulis 109020’0’OlvGR yang berarti garis Khatulistiwa di Kota Pontianak bertepatan dengan 1090 garis bujur timur 20 menit 00 detik GMT.

Tugu Khatulistiwa mempunyai beberapa tahap penyempurnaan. Pada tahun 1930 dilakukan penyempurnaan bagian tonggak, lingkaran, beserta tanda panah. Pada ahun 1938 tugu disempurnakan lagi oleh arsitek Silaban. Pada tahun 1990-1991 dibangun duplikat/replika Tugu Khatulistiwa serta bangunan pelindung yang dibangun secara permanen berbentuk kubah dan diresmikan pada tanggal 21 September 1991 oleh Gubernur Kalimantan Barat Parjoko Suryo Kusomo.

Pada bulan Maret 2005, posisi Tugu Khatulistiwa dikoreksi kembali oleh tim dari BPPT yang bekerja sma dengan Pemkot Pontianak secara satelit. Teryata terdapat perbedaan sekitar 117 meter dari posisi yang asli ke arah selatan Khatulistiwa. Perbedaan ini terjadi karena faktor akurasi alat dan cara yang digunakan pada waktu dulu dan sekarang. Menurut ahli geologi, bumi mengalami pergeseran secara alamiah sebanyak sekitar 1 mm. Pergeseran akan makin besar bila terjadi gempa.

“Perbedaan antara pengukuran astronomi dan satelit tidak perlu diperdebatkan. Kita harus menghargai perbedaan dan jerih payan orang-orang terdahulu sebelum pengukuran secara satelit ditemukan. Yang harus kita lakukan sekarang adalah memelihara dan melestarikan aset yang sangat berhaga ini agar tidak hilang dimakan zaman serta demi generasi yang akan datang,” demikian pesan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Pontianak.

Daeng mengakui bahwa jumlah pengunjung Tugu Khatulistiwa belum mencapai angka yang mengesankan.

“Kalau hari raya dan hari libur, jumlah pengunjung bisa mencapai ratusan orang,” tutur Daeng.

Imanuel Hidayat, putra Kalbar yang pernah mengenyam pendidikan menengah di Kota Pontianak belasan tahun lalu berharap agar Pemda setempat memberikan perhatian yang serius terhadap penataan objek wisata kebanggaan masyarakat Kalbar ini.

“Kawasan Tugu Khatulistiwa harus ditata lebih bagus agar wisatawan lokal dan internasional tertarik datang ke Pontianak. Kalau dari pintu gerbang saja kurang tertata, bagaimana orang bisa tertarik mengunjungi Tugu Khatulistiwa,” ujar Imanuel.

 

 

Komentar