OPINI Menyimak Polemik antara Faisal Basri, Presiden Joko Widodo dan Data Septian Aryo Seto 16 Aug 2023 17:30
Pendekatan kritis yang dilakukan Faisal Basri, menurut Penulis, sudah masuk dalam grand design Presiden Joko Widodo, yang dalam berbagai kesempatan menjelaskan rencananya membangun ekosistem hilirisasi terkait industri baterei serta industri mobil listri
Oleh: Dr. Ing. Ignatius Iryanto*
Tanpa banyak menarik perhatian publik yang lagi fokus pada dugaan penghinaan Rocky Gerung kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) serta deklarasi dukungan oleh Partai Golkar dan Partai PAN, telah terjadi saling respon antara ekonom Faisal Basri dan Presiden Jokowi terkait persoalan hilirisasi yang diikuti oleh pemaparan data yang lengkap dan cermat oleh Septian Haryo Seto.
Ini dialog lewat media yang sangat sehat, karena terjadi uji kaji atas opini dengan basis data, yang mestinya penting untuk diikuti dan menjadi wacana publik karena terkait dengan masa depan bangsa dan negara.
Diawali dengan statement Faisal Basri di podcastnya Bambang Widjoyanto, yang mengatakan bahwa 90% keuntungan program Hilirisasi mineral di nikmati China.
Presiden Jokowi merespon dengan mempertanyakan metode perhitungan yang digunakan Faisal Basri sekalian menjelaskan data yang dimiliki oleh pemerintah.
Dengan mengambil contoh nikel, dijelaskan bahwa saat diekspor dalam bentuk mentahan, nilai ekspor mencapai Rp 17 Triliun, dan setelah masuk ke industri downstreaming lewat hilirisasi, nilai ekspor menjadi Rp 510 triliun.
Negara yang mendapatkan pajak ekspor, tentu juga mengalami kenaikan nilai ekspor yang tajam, baik PPN, PPh badan, PPh karyawan, PPh perusahaan, royalty, bea ekspor serta PNPB.
Keterangan Presiden Jokowi kemudian ditanggapi lagi oleh Faisal Basri yang pertama-tama menolak data yang dikemukan Bapak Presiden itu, bahwa tidak benar nilai ekspor nikel awalnya 17 Triliun dan kemudian naik menjadi 510 Triliun.
Kemudian dikemukaan dasar dari opininya yang mengacu pada data yang dimiliki bahwa 99 persen dari olahan setengah jadi Nikel dalam bentuk Nickel Pig Iron (NPI) diekspor ke China, sehingga mendukung industry manufacture China.
Faisal basri tidak menjelaskan bagaimana perhitungannya sehingga sampai ke angka 90% profit lari ke China itu, namun patut diduga Faisal menghitung sampai ke nilai produk industri China yang dibuat dari bahan baku NPI ini. Tentu nilai tambahnya sangat tinggi. Namun detail perhitungannya tidak ada.
Seluruh data yang dikemukakan Faisal Basri lalu diruntuhkan oleh Septian Haryo Seto, yang menurunkan artikel Panjang dengan 34 poin bahasan tentang hal ini.
Data dan argumen Faisal seluruhnya ditolak dengan sangat meyakinkan. Penulis tidak akan mengulangi poin-poin dari tulisan bernas mas Seto ini, karena tulisannya bisa dicari di internet.
Namum, menurut hemat penulis, ada dua hal yang belum jelas; baik dari statement Faisal, respon Presiden Jokowi dan argument serta data dari mas Seto.
Pertama, tidak jelas bagaimana perhitungan Faisal sampai pada angka bahwa 90% keuntungan dari hilirisasi dinikmati oleh China. Faisal juga mengatakan bahwa 99% dari produk NPI hasil hilirisasi nikel itu diekspor ke China. Sangat mungkin kedua statement ini berkaitan bahwa Faisal sampai pada angka 90% itu karena 99% NPI dieskpor ke China. Bagaimana korelasinya dalam perhitungan Faisal tidak dikemukakan. Mas Seto menjawab klaim 90% keuntungan itu dinikmati oleh China pada poin 17 dalam artikelnya.
Penulis mengutip Sebagian datanya: "Dari 100% nilai produk smelter, kontribusi biji nikel adalah 40%, 12% laba operasi yang bisa dinikmati investor dan 48% adalah sumber daya tambahan yang dibutuhkan untuk mengolah biji nikel tersebut. Dari 48% tersebut, 32% dinikmati oleh pelaku dalam negeri dalam bentuk batubara, tenaga kerja dan bahan baku lain. Hanya 16% dari 48% itu yang dinikmati oleh pihak supplier luar negeri.
Kesimpulan Seto, Nilai tambah yang dinikmati oleh pihak LN/ China (investor dan supplier) adalah 16% ditambah12% laba operasi menjadi hanya 28%."
Mas Seto menunjukkan bahwa nilai tambah terbesar dinikmati oleh pihak dalam negeri.
Mencermati Analisa dan perhitungan mas Seto, Penulis tidak menemukan ada komponen nilai tambah yang bisa diperoleh China jika benar 99% dari produk hilirisasi dalam bentuk NPI ini diekspor ke China. Seluruh perhitungan mas Seto terkait dengan proses yang terjadi di tanah air. Pengolahan lanjutan oleh industri China terhadap NPI yang mereka terima dari Indonesia yang menghasilkan produk-produk akhir industri mereka, Penulis yakin memiliki nilai tambah yang sangat tinggi, entah produk akhirnya berupa baterei maupun berupa bahan-bahan baja khusus yang membutuhkan nikel, tidak masuk dalaam perhitungan mas Seto.
Sayang, Penulis tidak memiliki akses atas data-data ini, sehingga tidak bisa ikut menghitung apa benar angka 90% dari Faisal itu berasal dari sana.
Pendekatan kritis yang dilakukan Faisal Basri, menurut Penulis, sudah masuk dalam grand design Presiden Joko Widodo, yang dalam berbagai kesempatan menjelaskan rencananya membangun ekosistem hilirisasi terkait industri baterei serta industri mobil listrik.
Jadi linking antara Hilirisasi dan industrialisasi yang menggunakan produk hilirisasi itu, sudah ada dalam planning, hanya memang masih dalam proses negosiasi yang ketat karena persaingan. Perjalanan ke Australia untuk membangun kerjasama pemanfaatan lithium serta berbagai pertemuan dengan Elon Musk oleh Pak Luhut Pandjaitan, tidak lain adalah stepping stone dari grand design tersebut.
Faisal mungkin benar bahwa saat ini benefit terbesar dinikmati China bukan karena proses pengolahan di Indonesia, namun lebih karena bahan setengah jadi kita seperti NPI menjadi bahan baku bagi industri mereka. Namun itu tidak akan berlangsung terus. Untuk saat ini, benefit yang djelaskan oleh Pak Presiden yang diurai lengkap oleh Seto, sudah merupakan benefit yang optimal.
Menurut Penulis, ada satu pertanyaan kunci: "apakah ekosistem yang direncanakan oleh Presiden Joko Widodo itu hanya bisa direalisasi jika industri baterei lithium serta industri kendaraan listrik dibangun?
Sehingga selama itu belum terwujud, hampir 100% dari produk hilirisasi kita harus diekspor ke luar negeri (China)dan kita harus puas dengan model nilai tambah yang diuraikan oleh mas Seto di atas?
Sebenarnya, industri manufaktur produk-produk dari logam seperti industri pompa, boiler, compressor yang digunakan oleh berbagai industri dalam negeri, masih terus mengimpor berbagai bahan baku material khusus dari luar negeri, karena industri logam kita baru mampu menghasilkan baja biasa serta aluminium biasa.
Bahan-bahan seperti stainless steel, carbon steel, duplex, dll, yang membutuhkan material seperti nikel, chrom, tembaga, mangan, dll, masih harus diimpor. Industri-industri pengecoran logam kita justru masih mengimpor NPI tersebut, yang jika dicor bersama material-material lain dengan komposisi tertentu, akan menghasilkan logam-logam khusus. Berapa besar kebutuhnnya, mestinya bisa dicheck.
Sehingga pertanyaan Penulis yang utama adalah; apakah tidak dimungkinkan, minimal sebagian dari produk hilirisasi itu digunakan dalam negeri untuk berbagai industri yang membutuhkannya daripada hampir seluruhnya diekspor ke China. Kesan bahwa hilirisasi kita difungsikan untuk melayani industri China, sangat kuat dan beralasan.
Kedua, yang semestinya juga menjadi aspek yang harus menjadi perhatian namun belum diangkat Faisal Basri karenanya tidak ada dalam respon Presiden maupun Seto, yakni aspek impak ekonomi bagi masyarakat lokal. Isu ini adalah kenyataan dan mencuat lewat beberapa pernyataan berikut ini:
1. Pengumuman dari Kepala Bapenas tentang Provinsi miskin pada tanggal 5 Juni 2023 dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI, yang menunjukkan bahwa 4 provinsi penghasil nikel: Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat, masih tergolong provinsi miskin di negeri kita.
2. Gubernur Provinsi Maluku Utara pernah mengeluarkan statement bahwa Nikel yang dihasilkan dari daerahnya tidak memberikan impak positif pada ekonomi masyarakat lokal di Maluku Utara, walaupun pemerintah pusat mengumumkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Maluku Utara tertinggi di dunia.
3. HIlirisasi ini terkait langsung dengan kehadiran tambang mineral di daerah terkait, yang sudah lama menimbulkan pro dan kontra soal lingkungan, konflik socsal dan menimbulkan kemiskinan. Ini telah memicu reaksi dari beberapa figur senior Indonesia Timur yang menyerukan penolakan eksploitasi SDA di kawasan timur karena hanya merusak lingkungan dan terjadi pemiskinan masyarakat lokal.
Seharusnya impak ekonomi bagi masyarakat lokal dari kehadiran tambang ataupun smelter sebagai bagian dari hilirisasi sebenarnya dapat diperoleh dari:
(a). Kepemilikan saham minoritas dari masyarakat lingkar tambang atau bahkan pemerintah daerahnya.
(b). Penyerapan tenaga kerja lokal dari industri tambang maupun industri smelter yang dibangun.
(c). Pengintegrasian unit-unit bisnis lokal menjadi supplier lokal dari beberapa bahan habis pakai yang dibutuhkan oleh industri tambang maupun industri smelter.
(d). Program pemberdayaan masyarakat yang lebih fokus pada penguatan potensi ekonomi masyarakat lokal.
(e). Pemasukan ke kas daerah dari pajak serta royalti tambang.
Selama ini, aspek (a) hampir tidak pernah dilakukan. Lewat media, diinfokan bahwa ada porsi saham Freeport yang dimikili oleh pemda Papua dan ada rencana bahwa jika proyek Migas Masela dilaksanakan maka ada porsi saham yang diberikan kepada pemda Maluku dan NTT. Pihak Swasta di Indonesia sama sekali tidak melakukan hal tersebut.
Sementara itu, aspek (b) hingga (e) di atas dilakukan oleh korporasi tambang berdasarkan goodwill masing-masing, jadi sangat tergantung pada kesadaran mereka. Akibatnya tidak semua melaksanakannya secara substantial.
Sedangkan aspek (e) tidak pernah dibuka secara transparan ke publik lokal oleh pemerintah daerah masing-masing.
Umumnya, korporasi tidak melaksanakan point 2 hingga point 4 dengan berlindung pada alasan-alasan klasik seperti:
a). Level Pendidikan masyarakat lokal serta keterampilan yang dimiliki tidak memenuhi syarat minimum dari perusahaan.
b). Tidak ada unit bisnis lokal yang mampu menjadi supplier bagi perusahaan.
Korporasi dan Regulasi
Menurut Penulis, berdasarkan sedikit pengalaman sebagai orang eksternal di industri tambang, alasan-alasan klasik di atas tidak bisa diterima karena korporasi harusnya mampu melakukan program peningkatan Pendidikan umum dan vokasi untuk memungkinkan masyarakat lokal diintegrasikan dalam tenaga kerja perusahaan.
Demikian pula peningkatan kompetensi dan kapasitas unit bisnis lokal, seyogyanya juga menjadi tanggung jawab korporasi tersebut. Kedua hal ini bisa menjadi program utama dari CSR yang dijalankan oleh korporasi tersebut.
Oleh karena itu, hemat penulis, perlu dikeluarkan Regulasi khusus yang memaksa Korporasi untuk:
Pertama, Wajib menyerap tenaga kerja lokal dari masyarakat lingkar tambang sebesar 60% dari total tenaga kerja korporasi tersebut.
Korporasi wajib memiliki roadmap selama 5 tahun untuk mencapai angka tersebut, suatu sistem dan fasilitas Pendidikan vokasi harus disiapkan oleh korporasi tersebut untuk masyarakat lokal.
Kedua, Wajib memanfaatkan unit bisnis lokal sebagai supplier lokal untuk bahan-bahan habis pakai, sebanyak yang dimungkinkan dengan minimal sebesar 50% dari kebutuhan bahan-bahan habis pakai.
Suatu sistem pembinaan UMKM perlu diterapkan sehingga terjadi peeningkatan kapasitas dari unit-unit usaha yang dimiliki oleh masyarakat lokal sehingga mampu menjadi supplier lokal bagi korporasi.
Ketiga, Program Pemberdayaan masyarakat adalah kewajiban mutlak dari korporasi yang harus difokuskan pada pemberdayaan ekonomi serta Pendidikan, yang secara langsung berdampak pada integrasi tenaga kerja lokal menjadi tenaga kerja korporasi.
Keempat, Memberikan saham minoritas, misalnya sebesar 5% kepada masyarakat lingkar tambang atau Pemda Kabupaten terkait, tergantung dinamika lokal yang berkembang.
Empat komponen ini jelas akan memberikan impak ekonomi langsung kepada masyarakat lokal yang dapat diukur setiap tahun.
Bagi korporasi, 4 komponen ini juga akan memunculkan hubungan yang harmonis antara industri dengan masyarakat lokal. Ini akan menjamin keberlanjutan dari korporasi sekaligus juga keberlanjutan dari strategi nasional tentang hilirisasi.
Regulasi tersebut bisa dikeluarkan oleh Kementerian yang sekaligus membentuk unit pembinaan dan monitoringnya.
Fungsi inspektor tambang yang selama ini fokus pada persoalan lingkungan dan keselamatan kerja, selayakny dilengkapi dengan inspektor atas aspek-aspek di atas.
Alternatif lain, jika hal ini benar dianggap urgent dan penting, regulasinya bisa dikeluarkan dalam bentuk Keputusan Presiden (Kepres) atau Instruksi Presiden (Inpres) dan tim pembinaan serta monitoringnya diintegrasikan dalam KSP.
Akumulasi nilai dari 4 komponen itu bisa dirumuskan dalam suatu indikator yang bisa disebut BKL, (Bobot Kontribusi Lokal), yang bisa dinilai setiap tahun dan dianugerahi Award oleh Presiden atau oleh Menteri ESDM.
* Penulis adalah Sekjend Archipelago Solidarity Foundation dan Peneliti senior pada Risk Consulting Group.
--- Guche Montero
Komentar