Breaking News

REGIONAL NTT Identik dengan Nusa Tertinggi Trafficking, Gabriel Goa: Rebranding PMI NTT Hanya Retorika Tanpa Aksi Nyata 20 Mar 2023 11:41

Article image
Tim Lobi dan Advokasi Zero Human Trfficking Network (ZHTN), Gabriel Goa. (Foto: Dok.Ist)
"Fakta ini membuktikan bahwa penyediaan layanan dari pemerintah masih sangat minim, termasuk peran Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO yang belum optimal,” sentil Gabriel.

KUPANG, IndonesiaSatu.co-- Salah satu stigma negatif yang terus menyandera Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yakni soal angka (data) kematian para Pekerja Migran non-prosedural (ilegal) yang terus meningkat drastis dari tahun ke tahun.

Bukan tanpa alasan muncul plesetan negatif: NTT sebagai Nusa Tertinggi Trafficking.

Menurut data yang dirilis Balai Pelayanan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) NTT, sejak 2018 hingga Maret 2023, terdapat 657 PMI asal NTT yang "pulang" dalam bentuk peti mati. Mirisnya, mayoritas para pekerja migran yang meninggal di luar negeri itu tercatat sebagai pekerja migran non-prosedural (illegal).

Fakta miris tersebut terus menjadi atensi para pegiat kemanusiaan yang konsen terhadap gerakan Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Anti Human Trafficking.

Tim Lobi dan Advokasi Zero Human Trfficking Network (ZHTN), Gabriel Goa, mengatakan bahwa jika Rebranding PMI dari non-prosedural menjadi PMI Unggul hanya sebatas retorika tanpa aksi nyata, maka NTT akan terus menjadi Nusa Tertinggi Trafficking.

Gabriel menyebut, ada dua langkah yang perlu dilakukan untuk mengatasi persoalan pekerja migran illegal di NTT.

Pertama, Pemerintah Provinsi (Pemprov) para Pejabat Daerah di NTT, harus sungguh-sungguh mengimplementasikan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2001, tentang pembentukan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang, melalui Peraturan Gubernur (Pergub), Peraturan Bupati (Perbub) dan Peraturan Wali Kota (Perwalkot) sebagai acuan Yuridis mencegah dan mengatasi TPPO.

"Gugus Tugas ini harus melibatkan semua pihak yang terlibat, sehingga tidak membuka peluang bagi para mafia (sindikat) human trafficking untuk menjadikan NTT sebagai daerah operasi mereka. Kita harus keras dan tegas terkait ini," kata Gabriel dalam keterangan resmi, Senin (20/3/2023).

Kedua, rebranding PMI NTT dengan perbaikan kompetensi dan kapasitas, sesuai syarat yang ada dalam UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

Menurut Gabriel, upaya tersebut harus didukung dengan dua aspek penting, yakni penyediaan Balai Latihan Kerja (BLK) dan pembukaan Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) di setiap Kabupaten/Kota di NTT.

Pasalnya, terang Gabriel, saat ini di NTT hanya terdapat empat BLK; di mana satu milik pemerintah dan tiga milik perusahaan pengerah pekerja migran Indonesia, dan semua berada di Kupang.

Sedangkan di pulau Flores, Lembata, Alor, Sabu Raijua, Rote Ndao dan Sumba belum memiliki BLK.

Sementara itu, LTSA hanya ada di Maumere, Kota Kupang, Kabupaten Kupang dan Tambolaka.

"Fakta ini membuktikan bahwa penyediaan layanan dari pemerintah masih sangat minim, termasuk peran Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO yang belum optimal,” sentil Gabriel.

Menyinggung Surat Gembala Prapaskah 2023 oleh Kardinal Suharyo yang menegaskan bahwa Perdagangan Manusia sebagai Kejahatab Luar Biasa dan Dosa Berat, Gabriel mengaku butuh kerjasama dan kolaborasi lintas elemen untuk memberantas sindikat human trafficking.

"Butuh Kolaborasi san sinergitas antara Pemerintah, Masyarakat, Akademisi, Swasta, dan Pers (Pentahelix) guna mencegah dan mengatasi kejahatan kemanusiaan berlabel perdagangan manusia. Stop Bajual Orang NTT," seru Gabriel.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

--- Guche Montero

Komentar