HUKUM Pasca Vonis 19 Tahun Eks Mantan Kapolres Ngada, APPA NTT: Belum Menyentuh Keadilan bagi Korban Anak 27 Oct 2025 11:23
"Kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah kejahatan terhadap masa depan. Negara tidak boleh kalah oleh pelaku, siapa pun dia," tandas Asti.
KUPANG, IndonesiaSatu.co-- Koordinator Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak (APPA) NTT, Mindriyanti Astiningsih Laka Lena, memberi penilaian kritis terhadap putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kupang yang menjatuhkan vonis 19 tahun penjara kepada mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja, pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
Menurut Asti, vonis tersebut belum mencerminkan rasa keadilan bagi korban anak.
"Vonis 19 tahun bagi pelaku yang merupakan aparat penegak hukum terhadap anak yang harusnya dilindungi, belum mencerminkan keadilan maksimal. Kejahatan ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi pengkhianatan terhadap amanah publik,” tegas Asti, Kamis (23/10/2025).
Dalam perkara tersebut, majelis hakim menjatuhkan hukuman 19 tahun penjara kepada AKBP Fajar atas kasus kekerasan seksual dan eksploitasi terhadap tiga anak, disertai restitusi sebesar Rp 359.162.000 dan denda Rp 5 miliar.
Sementara salah satu korban yang juga menjadi terdakwa dalam perkara terpisah, S.H.D.R. alias Fani, dijatuhi vonis 11 tahun penjara.
Asti yang juga Ketua Tim Penggerak (TP) PKK NTT, menilai putusan tersebut belum sepenuhnya berpihak kepada korban.
Menurutnya, majelis hakim seharusnya memberikan hukuman maksimal sesuai tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yakni 20 tahun penjara, bahkan dapat menggunakan prinsip "ultra petita" untuk memutus lebih berat demi efek jera dan rasa keadilan publik.
“Hakim seharusnya berani memutus lebih dari tuntutan jaksa demi membela korban dan melindungi masa depan anak-anak NTT,” tegasnya.
Lebih lanjut, Asti menyebut kasus ini menjadi tamparan keras bagi institusi kepolisian dan mendesak agar Kapolri melakukan evaluasi menyeluruh terhadap perilaku dan integritas anggotanya.
“Kasus ini membuktikan bahwa pelaku bisa datang dari siapa saja, bahkan dari aparat penegak hukum. Institusi kepolisian harus melakukan pembersihan internal dan menjamin tidak ada impunitas,” katanya.
Pulihkan Kepercayaan Publik
Asti juga mengingatkan bahwa kekerasan terhadap perempuan dan anak di NTT telah mencapai titik yang mengkhawatirkan.
Karena itu, Asti menegaskan bahwa putusan hukum seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat perlindungan hukum dan memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum.
Meski mengapresiasi langkah majelis hakim yang menetapkan restitusi bagi korban, Asti menekankan pentingnya memastikan seluruh kewajiban finansial (restitusi, red) tersebut benar-benar dipenuhi.
“Kami mengapresiasi penetapan restitusi, namun pelaku harus benar-benar membayar denda dan restitusi tersebut. Ini bukan sekadar angka, tetapi bagian dari pemulihan hak-hak korban,” tegasnya.
Asti menutup pernyataannya dengan seruan moral agar seluruh lembaga negara, terutama aparat penegak hukum, menjadikan kasus ini sebagai cermin koreksi diri.
“Keadilan bagi anak bukan hanya soal vonis, tetapi keberanian untuk berpihak sepenuhnya kepada korban dan memulihkan martabat mereka. Kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah kejahatan terhadap masa depan. Negara tidak boleh kalah oleh pelaku, siapa pun dia," tandasnya.
--- Guche Montero
Komentar