Breaking News

LINGKUNGAN HIDUP Raja Juli: Kita Butuhkan Prinsip Etis dan Spiritualitas Keadilan Ekologis 09 Aug 2025 21:30

Article image
Seminar Nasional bertajuk ”Iman, Kebijakan Publik, dan Keadilan Ekologis: Refleksi Kebangsaan 80 Tahun Kemerdekaan” di Jakarta, Sabtu (9/8/2025). (Foto: Ist)
Raja Juli mengatakan, melalui kekayaan iman dan spiritualnya, Gereja terus berkarya demi tercapainya bonum commune, termasuk dalam isu-isu yang berhubungan dengan lingkungan hidup.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co - Keadilan sosio-ekologis dalam tata kelola kebijakan pemerintah di sektor kehutanan merupakan isu yang sangat relevan mengingat kondisi krisis ekologi yang dihadapi saat ini. Krisis tersebut bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga masalah politik, sosial, budaya, dan spiritual.

Di tengah tantangan tersebut, Kementerian Kehutanan telah melakukan berbagai upaya nyata. ”Visi kami adalah memastikan tata kelola kehutanan yang menyeimbangkan tiga komponen utama yaitu, pelestarian hutan, pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat,” ujar Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni dalam Keynote Speech Seminar Nasional bertajuk ”Iman, Kebijakan Publik, dan Keadilan Ekologis: Refleksi Kebangsaan 80 Tahun Kemerdekaan” di  Jakarta, Sabtu (9/8/2025).

Seminar ini digelar oleh Persaudaraan Ordo Fratrum Minorum (OFM) Provinsi Santo Michael Malaikat Agung Indonesia dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80, serta 800 tahun Kidung Saudara Matahari dan 10 tahun Ensiklik Laudato Si'.

Raja Juli mengatakan, tiga komponen di atas tidak boleh saling bertentangan tapi diharapkan dapat saling menguatkan, sehingga terwujud pembangunan yang tidak menghancurkan hutan tetapi bertumbuh bersama hutan.

Untuk itu, katanya, Kementerian Kehutanan telah menyusun lima program prioritas strategis yang berpijak pada prinsip transparansi, keadilan dan keberlanjutan.

Pertama, digitalisasi layanan kehutanan. Program ini adalah bentuk modernisasi tata kelola hutan agar masyarakat dapat mengakses data dan perizinan dengan efisien, efektif, transparan dan akuntabel.

Kedua, penguasaan hutan yang berkeadilan. Kementerian Kehutanan, kata Menhut, membuka ruang bagi masyarakat hukum adat dan masyarakat lokal yang tinggal di sekitar hutan agar mendapat akses legal dan perlindungan hukum atas hutan yang secara historis menjadi bagian dari identitas dan penghidupan mereka. Hal ini dilakukan dengan percepatan penetapan hutan adat dan skema perhutanan sosial lainnya.

Ketiga, pemanfaatan hutan untuk swasembada pangan. Hal itu dilakukan melalui skema agroforestry, yaitu tanaman pangan yang ditanam di sela-sela tanaman hutan. Karena itu, kawasan hutan dapat dikelola untuk menghasilkan pangan secara lestari.

”Tanaman seperti kopi dan kakao ditanam bersamaan dengan aren dan tanaman hutan lainnya sehingga dapat menjadi sumber pangan dan ekonomi masyarakat,” katanya.

Keempat, melindungi hutan sebagai paru paru dunia,  perlindungan keanekaragaman hayati, restorasi lahan kritis, serta pengendalian deforestasi. Hal itu akan menjadi bagian dari komitmen pemerintah dalam usaha menurunkan emisi karbon dan mengatasi krisis iklim.

Raja Juli mencontohkan yang dilakukan di Taman Nasional Tesso Nilo, bersama Satgas Penertiban Kawasan Hutan, Kemenhut merebut kembali habitat Gajah Sumatera yang dirambah kebun sawit.

”Dengan kolaborasi lintas Kementerian/ Lembaga kami yakin kita sebagai bangsa Indonesia dapat mengembalikan ekosistem Taman Nasional Tesso Nilo seperti sediakala,” katanya.

Kelima, menginstruksikan kebijakan satu peta. Kementerian Kehutanan menyediakan data dasar dalam pengambilan kebijakan dan menghindari tumpang tindih yang berujung pada konflik tenurial di lapangan.

Kelima program tersebut, kata Raj Juli, adalah tahap awal dari kerja panjang dalam perbaikan tata kelola sektor kehutanan.

”Saya sadar pemerintah tidak bisa sendirian, bagi saya semua elemen bangsa punya peran dalam menjaga hutan tetap lestari dan produktif,” ujarnya.

 

Iman Sebagai Roh dalam Kebijakan Publik

Untuk mengatasi berbagai persoalan di atas, Kemenhut mendorong kolaborasi lintas sektor dan partisipasi multi pihak sebagai kunci keberhasilan.

”Hal ini saya wujudkan melalui skema kerja sama dan pembentukan satgas-satgas dengan tujuan khusus yang melibatkan multi pihak, termasuk akademisi dan lembaga swadaya masyarakat,” imbuhnya.

Yang juga tidak kalah penting, kata Raja Juli, adalah adanya asas spiritual atau iman, yang diharapkan menjadi roh dalam kebijakan publik yang baik di Indonesia.

Menhut mengatakan, Gereja Katolik sebagai bagian integral dari bangsa senantiasa hadir dan menemani perjalanan bangsa ini selama 80 tahun.

Raja Juli mengatakan, melalui kekayaan iman dan spiritualnya, Gereja terus berkarya demi tercapainya bonum commune, termasuk dalam isu-isu yang berhubungan dengan lingkungan hidup.

”Kita perlu menginternalisasi ajaran Paus Fransiskus dalam Laudato Si' yang menegaskan bahwa masalah lingkungan dan sosial tidak bisa dipisahkan. Kita membutuhkan prinsip-prinsip etis dan spiritualitas keadilan ekologis, yaitu model keadilan yang juga memperhitungkan relasi manusia dengan seluruh ciptaan,” ujar Raja Juli.

Pada akhir pemaparannya, Raja Juli meminta semua pihak untuk menjadikan momentum tersebut untuk menegaskan kembali komitmen bersama dalam merawat bumi sebagai rumah kita bersama.

”Kita harus membangun kesadaran kolektif mengenai mendesaknya keberpihakan terhadap lingkungan hidup dan kaum marginal yang menjadi korban. Dengan mempertemukan iman, kebijakan, dan perjuangan bersama, saya berharap seminar ini dapat menjadi ruang kontemplatif untuk menemukan arah baru bagi tata kelola bumi Indonesia yang lebih adil dan berkelanjutan,” pungkasnya. *

--- F. Hardiman

Komentar