Breaking News

LINGKUNGAN HIDUP Revisi UU Kehutanan Harus Pertimbangkan Kebutuhan Ekologis Bukan Ekonomi Berbasis Korporasi 01 Dec 2025 10:10

Article image
Forum Dialog Konservasi Indonesia (FDKI) dalam Diskusi Publik bertema “Menagih Komitmen Nasional atas Keadilan Ekologis dalam RUU Kehutanan” di Jakarta, Kamis (17/11). (Foto: Ist)
Banjir besar di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menjadi bukti kerusakan ekosistem hutan yang terus dibiarkan.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co  - Penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kehutanan harus mempertimbangkan kegentingan ekologis yang kini terjadi di berbagai wilayah Indonesia.

Banjir besar di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menjadi bukti kerusakan ekosistem hutan yang terus dibiarkan.

“Deforestasi, degradasi, alih fungsi hutan yang longgar, serta minimnya pengawasan adalah penyebab nyata rangkaian banjir dan longsor hari ini. Daya dukung hutan kita sudah rusak oleh tata kelola yang buruk,” ujar Muhamad Burhanudin dari Yayasan KEHATI sekaligus perwakilan Forum Dialog Konservasi Indonesia (FDKI) dalam Diskusi Publik bertema “Menagih Komitmen Nasional atas Keadilan Ekologis dalam RUU Kehutanan” di Jakarta, Kamis (17/11).

Diskusi yang diselenggarakan FDKI bersama KEHATI ini menghadirkan Daniel Johan (Fraksi PKB), Riyono Caping (Fraksi PKS), Kiagus M. Iqbal (Sajogyo Institute/FDKI), Adhyta F. Utami (Think Policy), Dr. Danang Anggoro (UGM), dan Viky Arthiando (CELIOS).

Ayut Enggeliah dari FDKI dan Sawit Watch menegaskan bahwa tren bencana hidrometeorologi terus meningkat. Hingga November 2025 BNPB mencatat 2.590 bencana, naik dari 2.284 pada 2024, didominasi banjir dan longsor. “Pada titik ini, revisi UU Kehutanan harus menjawab kegentingan ekologis. Ini bukan agenda teknokratis, tetapi keharusan ekologis, moral, dan politik,” kata Ayut.

Respati Bayu Kusuma dari FDKI dan Forest Watch Indonesia turut menambahkan bahwa pada konteks Sumatera, hutan semakin tertekan dengan berbagai perizinan.

“Menurut hasil analisis yang dilakukan oleh teman-teman Forest Watch Indonesia, secara keseluruhan, terdapat sekitar 91 ribu ha wilayah tambang, 66 ribu ha hutan tanaman industri, 46 ribu ha HPH, 31 ribu ha sawit, dan 22 ribu ha tumpang tindih izin di Sumatera Utara. Selain itu, tutupan hutan seluas puluhan ribu hektare telah hilang, tepatnya pada Tapanuli Raya (Tapanuli Selatan, Tengah, dan Utara). Tapanuli Selatan mencatat kehilangan terbesar dengan sekitar 24.699 ha, disusul Tapanuli Tengah (±9.457 ha) dan Tapanuli Utara (±4.536 ha),” ujar Respati.

Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Aceh dan Sumatera Barat yang telah kehilangan ratusan ribu tutupan pohon, “Berdasarkan data Global Forest Watch, Aceh telah kehilangan ±860 ribu ha tutupan pohon, sementara Sumatera Barat sekitar ± 740 ribu ha tutupan pohon sejak tahun 2001-2024”, katanya.

 

Belum Akomodasi Masukan Masyarakat Sipil

Menurut Kiagus M. Iqbal, draf awal RUU masih mengakomodasi kepentingan ekstraktif dan belum memasukkan masukan masyarakat sipil, termasuk hasil RDPU 15 Juli 2025 bersama FDKI dan elemen masyarakat sipil lainnya. “Regulasi yang baik harus berpijak pada realitas di lapangan dan menangkap suara publik,” kata dia.

Dalam forum tersebut, FDKI menyerahkan dokumen masukan terbaru kepada DPR yang memuat enam prinsip penting: perubahan paradigma penguasaan dan status hutan; perbaikan tata kelola dan perizinan yang selama ini sentralistik dan tertutup; ruang partisipasi bermakna; penghentian pelepasan kawasan hutan untuk fungsi nonkehutanan; pengukuhan kawasan yang lebih adil; harmonisasi regulasi kehutanan dan putusan MK.

Daniel Johan menyatakan Komisi IV DPR masih membuka ruang masukan untuk penyusunan Naskah Akademik dan draf RUU, termasuk penyesuaian terhadap Putusan MK 34, 35, 45, dan 95 serta harmonisasi dengan UU Cipta Kerja. “Prinsip kami, UU baru harus berpihak pada ekologis. Izin pemanfaatan hutan harus diperketat. Status hutan adat harus dilepaskan dari hutan negara,” ungkap dia.

Riyono Caping menambahkan bahwa DPR mengusung enam prinsip perubahan: sinkronisasi regulasi, klasifikasi status hutan, reformasi perizinan, pengawasan berbasis teknologi, dan penyempurnaan sanksi. Ini diperkuat oleh rencana perluasan perhutanan sosial, skema benefit sharing adil, pengakuan masyarakat adat, penguatan kelembagaan desa, serta akses legal yang lebih sederhana.

“Kami juga mengusulkan penguatan KPH, prinsip kehati-hatian, standar keberlanjutan hutan, restorasi lanskap prioritas, dan integrasi ekonomi hijau,” kata dia.

 

Jangan Normalisasi Alih Fungsi Hutan

Dr. Danang Anggoro menekankan perlunya perubahan pasal-pasal pemanfaatan hutan, terutama Pasal 38 yang membuka ruang pemanfaatan kawasan lindung untuk pertambangan, serta pasal dalam UU Cipta Kerja yang memperlonggar pemanfaatan hutan lindung dan konservasi.

“Jangan menormalisasi alih fungsi hutan dengan dalih ‘strategi pembangunan’. Semua kegiatan harus menjaga fungsi ekologis dan sosial hutan,” ujarnya.

Adhyta F. Utami menyatakan revisi UU Kehutanan harus menjadi agenda bersama agar dorongan perubahan lebih kuat. Namun isu ini belum menjadi perhatian publik. “Ke depan, kampanye revisi UU Kehutanan perlu dikaitkan dengan isu yang lebih dekat dengan masyarakat, seperti dampak ekonomi, korupsi, dan bencana,” ujarnya.

Viky Arthiando menegaskan kegagalan paradigma ekonomi dalam regulasi kehutanan saat ini. Riset CELIOS menunjukkan moratorium sawit di kawasan hutan justru meningkatkan serapan tenaga kerja (716.000 orang) dibanding skenario nonmoratorium (268.000). Kebijakan energi berbasis PLTU bahkan menyebabkan dampak ekonomi dan kesehatan hingga Rp1.813 triliun.

“Inilah pentingnya revisi UU Kehutanan untuk lebih mempertimbangkan ekologis, bukan ekonomi berbasis korporasi,” tandas dia.

Forum Dialog Konservasi Indonesia (FDKI) merupakan forum bersama organisasi masyarakat sipil (OMS) yang berfokus pada advokasi isu-isu lingkungan hidup di Indonesia. Forum ini beranggotakan 11 organisasi, antara lain Sawit Watch, Yayasan Penabulu-Oxfam, Yayasan KEHATI, Forest Watch Indonesia, Yayasan HuMA, Indonesia Ocean Justice Initiatives (IOJI), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Indonesia Parliementary Centre (IPC), Yayasan PILI, Garda animalia, dan Sajogjo Institute. *

--- F. Hardiman

Komentar