Breaking News

INDUSTRI Potensial Sebagai Mesin Pertumbuhan Ekonomi Syariah, Danantara Butuh Kebijakan dan Tata Kelola Institusi 01 Dec 2025 10:59

Article image
Center for Sharia Economic Development (CSED) INDEF menggelar diskusi publik bertajuk “Menakar Potensi Danantara sebagai Katalis Pertumbuhan Ekonomi Syariah Indonesia” di Jakarta, Minggu (30/11/2025). (Foto: Ist)
Kepala CSED INDEF, Nur Hidayah, menegaskan bahwa Danantara saat ini merupakan salah satu entitas investasi terbesar di kawasan.

JAKARTA, IndonesiaSatu.co  - Center for Sharia Economic Development (CSED) INDEF menggelar diskusi publik bertajuk “Menakar Potensi Danantara sebagai Katalis Pertumbuhan Ekonomi Syariah Indonesia” di Jakarta, Minggu (30/11/2025).

Diskusi ini bertujuan memberikan pandangan mendalam tentang peluang, tantangan, dan risiko pembentukan Danantara, superholding investasi negara yang dibentuk Presiden Prabowo pada awal 2025.

Para narasumber sepakat bahwa Danantara berpotensi menjadi mesin baru pertumbuhan ekonomi syariah dan reindustrialisasi. Namun, dampak positif tersebut sangat bergantung pada arah kebijakan dan kekuatan tata kelola institusi.

Kepala CSED INDEF, Nur Hidayah, menegaskan bahwa Danantara saat ini merupakan salah satu entitas investasi terbesar di kawasan. Tetapi, porsi instrumen syariah dalam portofolionya masih di bawah lima persen. Padahal, Indonesia memiliki ekosistem ekonomi syariah yang tumbuh pesat, mulai dari industri halal hingga perbankan syariah.

Ia menekankan perlunya Danantara memainkan peran katalitik untuk memperkuat permodalan lembaga keuangan syariah, membiayai industri halal, dan mendorong pembiayaan sektor prioritas seperti pangan, energi hijau, serta UMKM.

“Kita tidak sedang menagih retorika syariah, yang kita minta adalah alokasi, kuota, mandat, eksekusi. Kalau Danantara berani menempatkan syariah sebagai pusat strategi, maka ia bukan hanya superholding, tetapi akselerator kemakmuran umat,” ujar Nur Hidayah.

Menurutnya, tantangan terbesar justru pada tata kelola, yaitu minimnya mekanisme audit dan pengawasan formal sehingga berpotensi menciptakan ruang risiko yang besar.

“Danantara memiliki positioning strategis untuk menjadi katalis utama transformasi ekonomi syariah Indonesia. Dengan skala aset yang besar dan mandat yang jelas, Danantara dapat menggerakkan pembiayaan yang lebih berkeadilan, memperluas inklusi ekonomi, dan meningkatkan daya saing nasional asalkan tiga fondasi utama yaitu governance yang kuat dan transparan, instrumen syariah yang tepat dan berdampak, dan kolaborasi lintas stakeholder dijalankan dengan konsisten,” tegasnya.

Peneliti CSED INDEF, Abdul Hakam Naja menekankan konteks besar reindustrialisasi Indonesia. Kontribusi manufaktur anjlok lebih dari 30 persen PDB pada awal 2000-an menjadi sekitar 19 persen pada 2025.

Menurutnya, Danantara tidak boleh diposisikan hanya sebagai superholding finansial, tetapi sebagai “dirigen reindustrialisasi nasional” yang mampu mengorkestrasi hilirisasi, pemanfaatan sumber daya mineral kritis, penguatan riset dan inovasi, serta transisi energi hijau.

“Kalau Danantara hanya mencari imbal hasil cepat, kita akan mengulang kesalahan masa lalu. Ia harus menjadi institusi yang membangun  struktur  ekonomi,  bukan  sekadar  mengejar  divide,” ujarnya.

Lebih  lanjut,  ia mengingatkan bahwa industrialisasi Indonesia harus selaras dengan prinsip keberlanjutan. “Kita tidak bisa bicara industri tanpa bicara lingkungan. Industri halal, industri hijau, dan mineral strategis harus menjadi satu ekosistem, bukan tiga agenda yang terpisah,” jelasnya.

 

Ubah Indonesia dari Konsumen Besar Jadi Produsen Utama Halal Dunia

Sementara itu, Handi Risza Idris, Peneliti CSED INDEF memaparkan dinamika industri halal global dan posisi Indonesia yang masih menjadi importir besar di banyak kategori halal. Padahal, kontribusi usaha dan pembiayaan syariah Indonesia telah mencapai 46,72 persen terhadap PDB pada 2024.

Sementara itu, konsumsi halal global tumbuh hingga US$1,4 triliun. Handi menilai Danantara dapat menjadi “pemain kunci” dalam mengubah Indonesia dari konsumen besar menjadi produsen utama halal dunia.

“Ekosistem halal kita besar, tapi belum terhubung oleh pembiayaan jangka panjang. Jika Danantara masuk dengan mandat jelas, ia dapat menciptakan lompatan kapasitas produksi nasional,” katanya.

Ia menambahkan bahwa pembiayaan Danantara dapat diarahkan ke kawasan industri halal, industri pangan, logistik halal, dan harmonisasi standar halal internasional. “Jika kita tidak memperkuat sisi produksi, kita akan tetap menjadi pasar, bukan pemain global,” ujarnya.

Dari rangkaian diskusi, para narasumber menyimpulkan bahwa Danantara memiliki potensi besar untuk menyatukan agenda ekonomi syariah, reindustrialisasi, dan transformasi energi.

Namun, seluruh potensi itu tidak akan terealisasi tanpa tata kelola yang kuat, mandat pembangunan yang jelas, dan prioritas alokasi yang berpihak pada sektor produktif.

Diskusi juga menegaskan bahwa integrasi lintas lembaga antara Kemenkeu, BUMN, BI, OJK, dan KNEKS menjadi syarat utama agar ekosistem ekonomi syariah tidak lagi terfragmentasi.

Dengan desain kebijakan yang tepat, Danantara dapat menjadi tulang punggung pembiayaan jangka panjang dan mendorong Indonesia menjadi pusat ekonomi syariah dan industri halal global, sekaligus memperkuat struktur ekonomi nasional melalui reindustrialisasi dan inovasi berkelanjutan. *

--- F. Hardiman

Komentar